Beda Sikap Indonesia-Korsel Tanggapi Konflik Israel-Hamas di Gaza

Padahal RI-Korsel punya peran strategis di panggung global

Jakarta, IDN Times – Korea Selatan (Korsel), sebagai salah satu kekuatan baru di dunia, dinilai tidak vokal menyuarakan perdamaian Israel-Hamas di Jalur Gaza. Hal itu terjadi karena Seoul “tersandera” oleh kedekatannya dengan Amerika Serikat (AS) serta ketergantungannya terhadap negara-negara Timur Tengah.

Korsel, bersama Jepang dan Taiwan, merupakan sekutu dekat AS di Asia Timur. Buntut dari relasi itu adalah Korsel tidak bisa mengecam tindakan Israel terhadap warga Palestina, karena Washington merupakan pendukung Tel Aviv.

“Menurut saya, strategi yang dijalankan Korsel saat ini sangat berhati-hati,” kata asisten profesor jurusan Lintas Budaya dan Kawasan di University of Copenhegen, Jin Sangpil, dalam diskusi yang digelar oleh Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Jumat (8/12/2023).

1. Korsel bergantung dengan pasokan minyak dan gas dari Timur Tengah

Beda Sikap Indonesia-Korsel Tanggapi Konflik Israel-Hamas di GazaIlustrasi kilang minyak (IDN Times/Arief Rahmat)

Di sisi lain, Korsel juga tidak bisa memberikan dukungannya kepada Israel kendati memiliki hubungan baik dengan AS. Sebabnya, Negeri Ginseng ini memiliki ketergantungan terhadap pasokan minyak dan gas dari negara-negara Timur Tengah.

“Jika Korsel tegas membela AS atau Israel, Korsel akan mendapatkan citra negatif dari negara-negara lainnya, termasuk negara Timur Tengah,”ujar Jin Sangpil.

Baca Juga: Korsel Masuk 5 Besar Negara dengan Minat Investasi Terbesar di IKN

2. Sesama middle power tidak harus punya kepentingan serupa

Beda Sikap Indonesia-Korsel Tanggapi Konflik Israel-Hamas di GazaDosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra (IDN Times/Vanny El Rahman)

Sikap Korsel terhadap Israel-hamas berbanding terbalik dengan Indonesia, sekalipun keduanya tergolong sebagai negara dengan kekuatan menengah (middle power). Padahal, negara middle power dikenal sebagai aktor yang aktif memainkan peran sebagai mediator perdamaian dan kerap menyuarakan kepentingan global south.  

Middle power, seperti Indonesia dan Korsel, biasanya menjadi pemimpin regional, mengadvokasi demokrasi, menyuarakan kepentingan negara berkembang, dan berperan sebagai bridge builder (mediator perdamaian),” kata dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra.

Dalam berbagai kesempatan, Indonesia dengan tegas menyatakan apa yang dilakukan oleh Israel adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan. Dukungan Indonesia kepada Palestina juga bukan hal baru dan komitmen terhadap perdamaian diabadikan dalam konstitusi.

Middle power tidak harus punya posisi yang sama di banyak isu. Tentu yang paling penting adalah kepentingan nasional. Kita bisa lihat perbedaan Indonesia-Korsel di isu Gaza. Posisi Indonesia selalu mendukung Palestina,” tutur Radityo.

3

Beda Sikap Indonesia-Korsel Tanggapi Konflik Israel-Hamas di GazaLambang PBB di Markas Besar PBB, New York. (Instagram.com/unitednations)

Menurut Radityo, karakter lain dari negara kekuatan menengah adalah keterbatasan kapasitasnya untuk menghadirkan perubahan secara langsung. Oleh sebab itu, middle power biasanya memanfaatkan multilateralisme atau mengonsolidasikan kekuatan dengan negara kekuatan menengah lainnya.  

Keterangan di atas merefleksikan upaya Indonesia mewujudkan perdamaian di Jalur Gaza, yang memanfaatkan berbagai forum internasional, mulai dari PBB, Liga Arab, hingga Organisasi Kerja Sama Islam.

Middle power tidak seperti great power yang punya kapasitas, misalnya untuk mengutuk seperti apa yang dimiliki AS di Dewan Keamanan PBB. Karena itu, strategi yang mereka (middle power) pakai adalah menggunakan aliansi di forum-forum multilateralisme,” kata Radityo.

Dia menambahkan, “ketika middle power berkumpul, mereka tidak akan dilihat sebagai ancaman. Tidak seperti AS atau Rusia, yang mereka sendiri saja sudah terlihat mengancam. Dan middle power biasanya memanfaatkan jalur yang lebih fleksibel atau informal, karena forum global yang formal mereka anggap tidak efektif.”

Baca Juga: Hubungan Indonesia dan Korsel Makin Mesra di Usia 50 Tahun 

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya