Pengungsi Suriah di Belarusia: Berikan Bantuan atau Saya Segera Mati

Krisis pengungsi di Uni Eropa semakin buruk

Jakarta, IDN Times – Nidal Ibrahim merupakan salah satu dari sekian ribu pengungsi yang kini terdampar di perbatasan Polandia-Belarusia. Lelaki berusia 37 tahun itu bercerita, betapa suhu membeku -5 hingga -7 derajat derajat celcisu hampir membunuh dirinya.

Jika bukan karena istri dan tiga anaknya, Nidal merasa tidak lagi memiliki alasan untuk hidup. Sekarang, dia harus berjuang untuk mencapai Eropa di tengah segala keterbatasan.

“Kami terjebak di hutan tanpa air, minum dari rawa-rawa, tanpa makanan. Saya hanya hidup karena memiliki tiga anak dan istri di Turki. Demi mereka, aku harus bertahan. Aku mencintai mereka dan sangat merindukan mereka,” kata Nidal, dilansir dari Al Jazeera.

Baca Juga: Krisis Migran, Uni Eropa Jatuhkan Sanksi Kelima untuk Belarusia

1. Awal keputusan untuk hijrah ke Eropa

Pengungsi Suriah di Belarusia: Berikan Bantuan atau Saya Segera MatiPara migran yang berkumpul di sekitar perbatasan Polandia-Belarusia. (Twitter.com/BBCWillVernon)

Nidal berasa dari Aleppo, Suriah. Sebelum perang saudara berkecamuk, dia bekerja sebagai guru dan kepala sekolah. Keputusan hijrah diambil setelah perang menghancurkan semua mimpi-mimpinya, termasuk istrinya yang tidak mampu menuntaskan kuliah hukum.

Demi kehidupan yang lebih baik, Nidal melintasi perbatasan untuk menuju Turki. Dia juga harus tinggal selama 24 hari di perbatasan.

“Pada 9 Oktober 2014, kami akhirnya memasuki Turki. Kami tinggal di Turki untuk waktu yang lama, tapi situasi keuangan memburuk setelah mereka memecat saya dari pekerjaan,” terang dia.

Nidal sempat bekerja di bidang pertanian, tapi gaji yang diterima belum dirasa cukup untuk menghidupi seluruh keluarganya. Musim hujan dan cuaca buruk kian mencekik kehidupannya. Kondisi itulah yang mendorong Nidal untuk mempertaruhkan hidupnya lagi dengan hijrah ke Eropa.  

“Jadi saya memutuskan pergi ke Libya dan melintasi laut ke Eropa. Tetapi saya tidak dapat menyeberang karena kelompok bersenjata di Libya,” ucapnya.

Baca Juga: Hampir Tak Pernah Terdengar Namanya, Ini 5 Fakta Unik Negara Belarus

2. Diiming-imingi bisa masuk Eropa

Pengungsi Suriah di Belarusia: Berikan Bantuan atau Saya Segera MatiPara migran yang berdatangan dari Belarusia menyerbu pembatas di perbatasan Polandia pada Senin, 8 November 2021, waktu setempat. (Twitter.com/infekcik)

Nidal mendapati kabar bahwa dia bisa mencapai Eropa melalui Belarusia. Dia yakin bisa membawa anak dan istrinya kelak, untuk menjalani kehidupan yang lebih aman dan bermartabat.

Dia akhirnya membeli visa dan tiket pesawat secara daring seharga 800 dolar Amerika Serikat (sekitar Rp11,4 juta). Nidal juga diiming-imingi bisa melintasi Polandia dengan membayar 500 dolar AS (sekitar Rp7,1 juta).

“Begitu saya tiba di perbatasan Polandia dengan mobil, tragedi untuk kehidupan saya baru dimulai. Saya tiba pada 5 Oktober. Di perbatasan, saya melihat orang mati kelaparan, kehausan, kedinginan, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sekarang sedang berusaha melarikan diri dari kematian,” ungkap Nidal.

“Saat ini, kami tidur di tanah di antara pepohonan, tetapi cuacanya sangat dingin. Terkadang kami bisa menyalakan api, tapi sering juga tidak karena hujan. Kami tidak bisa tidur. Sekalinya tidur, saya selalu memimpikan istri dan anakn-anak saya. Saya bermimpi bagaimana kami bisa hidup bersama dan anak-anak saya pergi ke sekolah,” sambung dia.

Baca Juga: Alexander Lukashenko, Presiden Belarusia Diktator Terakhir Eropa

3. Meminta bantuan atau mati kelaparan dan kedinginan

Pengungsi Suriah di Belarusia: Berikan Bantuan atau Saya Segera MatiPolandia meningkatkan pasukan di sepanjang perbatasan dengan Belarusia untuk menghentikan migran yang ingin memasuki negara Uni Eropa (23/8/2021). (Twitter.com/MON_GOV_PL)

Nidal menceritakan bagaimana kondisinya terkini. Hidupnya serasa dibuang karena diabaikan oleh otoritas Polandia atau pun Belarusia.

“Tidak ada tempat yang bisa kita tuju dari sini sekarang. Kaki saya terluka dan saya kesakitan. Kita (para pengungsi) tidak pernah bisa beristirahat,” katanya.

Hari ini, di tengah suhu membeku, Nidal bisa sedikit bernapas lega karena menemukan tas berisikan roti dan susu.

“Terima kasih, Tuhan!” ucap dia.

Satu-satunya penyesalan Nidal adalah dia tidak sempat berpamitan dengan layak kepada keluarganya di Turki. Sebab, dia tidak tahu apakah kantong mayat akan menjadi tempat peristirahatan terakhirnya di Belarusia.

“Saya seharusnya mengucapkan selamat tinggal ketika meninggalkan Turki. Mungkin itu terakhir kalinya melihat mereka. Tolong, bantu aku hidup. Seseorang, tolong selamatkan kami,” harapnya.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya