Rivalitas China-AS, Uni Lubis: China Lebih Serius Dekati Indonesia

Uni Lubis jadi pembicara di The 2023 Asian Journalism Forum

Jakarta, IDN Times – Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, menjadi salah satu narasumber dalam The 2023 Asian Journalism Forum di Law School of National Taiwan University, Taipei pada Sabtu-Minggu (10-11/6/2023). Secara spesifik, Uni berbicara untuk tema Journalism Under the US-China Confrontation.

Pada kegiatan tersebut, Uni menyoroti bahwa IDN Times telah menerbitkan lebih dari seribu artikel dengan kata kunci “Amerika Serikat”, “China”, dan “Perang” sejak Juni 2022.

“Artinya setiap hari hampir tiga artikel diproduksi. Ini cukup banyak dalam kanal berita dunia untuk ukuran media di Indonesia. Hampir 50 persen dari artikel terkait dengan konflik atau perang Amerika Serikat (AS)-China. Sedih memang, tapi itulah faktanya,” kata Uni.

Acara yang dihadiri lebih dari 100 peserta selama akhir pekan ini dihelat oleh Foundation for Excellence in Journalism Award (FEJA).

Baca Juga: Hadapi Ancaman China, Taiwan Aktifkan Sistem Pertahanan

1. Rivalitas China-AS dominasi pemberitaan di media Indonesia

Rivalitas China-AS, Uni Lubis: China Lebih Serius Dekati IndonesiaXi Jinping dan Joe Biden (Instagram.com/chinaxinhuanews/facebook.com/Joe Biden)

Uni juga tidak menampik fakta bahwa rivalitas Beijing-Washington menjadi warna dominan di banyak outlet pemberitaan Indonesia. Fakta lainnya adalah kata kunci “China-AS” sering bersanding dengan kata kunci “Taiwan”

Di samping itu, banyak juga media yang menyoroti bagaimana persaingan antara dua negara adidaya berdampak pada Indonesia dan Asia Tenggara.  

“Terkait Indonesia temanya beragam, seperti dampak ekonomi, keamanan kawasan, pengaruh politik, persaingan teknologi, hingga keterlibatan multilateral,” tutur Uni.

Dia juga menyinggung bagaimana pertukaran jurnalis antarnegara menjadi pintu masuk yang bisa mengubah tone pemberitaan.

“Dalam enam bulan terakhir, salah satu jurnalis IDN Times mendapat beasiswa untuk belajar bahasa Mandarin di National Taiwan Normal University (NTNU). Kemudian, dia banyak menulis tentang budaya, kuliner, tempat-tempat yang menarik, dan kegiatan anak muda. Bukan tentang perang,” papar Uni.

Baca Juga: Hubungan Memanas, Kapal Induk China Lintasi Selat Taiwan

2. Indonesia berusaha netral, tapi condong ke China

Rivalitas China-AS, Uni Lubis: China Lebih Serius Dekati IndonesiaPresiden Jokowi bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping di Beijing (dok. Sekretariat Presiden)

Pada kesempatan tersebut, Uni juga menjelaskan bagaimana pemerintah Indonesia berusaha menjaga netralitasnya di tengah persaingan China-AS. Sikap tersebut tidak lepas dari politik luar negeri Indonesia yang menganut prinsip Bebas-Aktif.

Kendati begitu, sambung Uni, agenda ekonomi dan politik pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo menjadikan Indonesia cenderung lebih dekat dengan China.

“Contohnya adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sejauh 143 kilometer yang didanai China sebesar 6 miliar dolar AS,” kata Uni.

“Saya juga pernah menulis artikel tentang bagaimana Jokowi menganggap Presiden Xi sebagai mentornya sejak awal masa kepresidenannya. Jokowi dan ibu Iriana bersama Xi Jinping dan istrinya juga pernah makan malam bersama di Bali saat KTT G20 di Bali,” sambung Uni, menyoroti kedekatan personal kedua pemimpin.

Namun, Uni tidak menganggap kecenderungan itu sebagai hal yang aneh, mengingat begitulah cara suatu negara untuk mencapai kepentingannya.

“Tapi, karena pemerintah Indonesia mati-matian mencari investasi asing dan mitra dagang, mengutamakan pembangunan ekonomi, ada kemungkinan, secara informal, mereka tidak begitu netral. Siapa yang memberi mereka lebih banyak uang, bisa lebih dekat,” kata Uni.

Baca Juga: Hubungan dengan China Menegang, Presiden Taiwan: Perang Bukan Pilihan!

3. China lebih serius dekati Indonesia

Rivalitas China-AS, Uni Lubis: China Lebih Serius Dekati IndonesiaPemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis jadi pembicara di The 2023 Asian Journalism Forum (Dok. IDN Times/Istimewa)

Menanggapi pemaparan Uni, Wakil Direktur Pusat Berita Internasional dan Lintas Selat Central News Agency, Zhou Yongjie, mengatakan bahwa subsidi konstruksi China ke Indonesia tidak gratis. Indonesia harus membayar utang dan bunganya kepada China.

Uni kemudian mengatakan bahwa sangat mudah untuk menjalin kerja sama atau berurusan dengan China. Tapi, tidak jarang serentetan masalah akan datang di kemudian hari, merujuk pada jebakan utang (debt trap) yang sudah banyak menjerat negara-negara berkembang.

Di sisi lain, sambung Uni, kedekatan Indonesia dengan China tidak lepas dari sikap AS yang lambat dalam memberikan bantuan ke Indonesia. Mantan Presiden AS Donald Trump pernah berjanji untuk menyuntikkan dana sebesar 2 miliar dolar AS, tapi janji itu tidak terwujud. Sementara, Presiden Joe Biden sampai saat ini belum memberikan bantuan apapun untuk Ibu Kota Negara, salah satu sektor investasi paling besar di Indonesia.

“Ini menunjukkan bahwa AS tidak seserius Cina dalam berusaha memenangkan Indonesia. Pada akhirnya, ini tentang uang,” kata Uni.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya