UU Antisanksi Asing: Tiongkok Bisa Usir Pebisnis yang Tak Patuh Hukum

Perusahaan multinasional harus patuh sama Tiongkok

Jakarta, IDN Times - Undang-Undang (UU) Antisanksi Asing telah dirancang dan disahkan oleh Tiongkok untuk meningkatkan kekuatan Beijing menghadapi tekanan internasional. Tetapi, regulasi itu juga memicu dilema karena berdampak terhadap aktivitas ekonomi di negara ekonomi terbesar kedua dunia itu.

UU itu diterbitkan beberapa minggu setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memperluas daftar hitam perusahaan Tiongkok, yang mana pebisnis Amerika tidak diizinkan untuk berinvestasi.

Lantas, apa dampak dari UU tersebut terhadap operasional bisnis di Negeri Tirai Bambu?

Baca Juga: Tiongkok Terbitkan UU Antisanksi Asing untuk Lawan AS dan Eropa

1. Bisa mengusir siapa saja yang mendukung sanksi asing

UU Antisanksi Asing: Tiongkok Bisa Usir Pebisnis yang Tak Patuh HukumKantor pusat Tik Tok di Beijing (IDN Times/Uni Lubis)

Ketika menghadapi sanksi asing, UU ini mengizinkan untuk penolakan visa, deportasi, dan penyitaan aset terhadap siapa saja yang memformulasikan atau mendukung sanksi tersebut.

UU ini memberi kekuasaan terhadap pemerintah, tidak hanya menargetkan individu atau pelaku bisnis langsung, tapi juga sekelompok orang yang terikat, seperti anggota keluarga.

“Cakupan luas dari kerangka kerja ini berarti bahwa banyak orang, seperti sarjana, pakar, think tank, dapat dikenai sanksi karena mendukung sanksi terhadap China,” kata Julian Ku, pakar hukum internasional di Universitas Hofstra, seperti dilansir Channel News Asia.

“UU itu secara signfikan meningkatkan kekuatan hukuman dari tindakan antisanksi China", tambah Angela Zhang, pengajar di Universitas Hong Kong.

2. Memaksa perusahaan multinasional di Tiongkok untuk patuh

UU Antisanksi Asing: Tiongkok Bisa Usir Pebisnis yang Tak Patuh HukumANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter

Undang-undang tersebut juga memaksa perusahaan multinasional untuk patuh dengan Tiongkok, seperti melarang mereka untuk mengikuti sanksi yang dijatuhkan asing. Dengan kata lain, perusahaan multinasional asal AS dilarang untuk mematuhi kebijakan atau sanksi yang dijatuhkan Biden terhadap Beijing.

"Bisnis yang terdampak dapat kehilangan seluruh akses ke pasar China. Warga serta institusi China juga harus memutuskan hubungan dengan LSM dan lembaga yang terkena dampak (yang mendukung sanksi)," tutur Zhang.

3. Tiongkok tidak akan gegabah menggunakan UU ini

UU Antisanksi Asing: Tiongkok Bisa Usir Pebisnis yang Tak Patuh HukumPresiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden (www.china-embassy.org)

Terkait muatan undang-undang yang pada sebagian aspek dinilai tidak masuk akal, Julian Ku meyakini bila Tiongkok tidak akan serampangan menggunakan beleid ini. Sebab, regulasi tersebut berpotensi menjadi bumerang yang justru merugikan ekonomi Tiongkok.

Menurut Julian Ku, Presiden Xi Jinping akan menghukum siapapun dengan UU ini jika barat semakin agresif mengisolasi Tiongkok dengan beragam sanksinya.

"Jika pemerintah asing terus menekan dengan sanksi, maka saya yakin China akan mulai menerapkan undang-undang anti-sanksi itu untuk menunjukkan kekuatan koersif mereka," ujar dia.

Baca Juga: Tiongkok Tegaskan Dukung Junta Militer Myanmar Cari Solusinya Sendiri

4. Dibahas tanpa transparansi

UU Antisanksi Asing: Tiongkok Bisa Usir Pebisnis yang Tak Patuh HukumIlustrasi rapat The National People's Congress (http://www.npc.gov.cn)

UU Antisanksi Asing menuai polemik karena dibahas secara serampangan dan tidak transparan. The National People’s Congress (NPC) memulai pembacaan pertama secara rahasia pada April. Kemudian, RUU disahkan dua hari setelah NPC mengumumkan bahwa mereka memulai pembacaan kedua. Umumnya, NPC melakukan pembacaan sebanyak tiga kali.

Selain itu, pengesahan RUU ini juga menerabas proses konsultasi publik. Para pengamat mengatakan, pengesahan yang cepat merupakan puncak dari pernyataan Xi, yang disampaikan pada November, mengenai perbaikan kerangka hukum Tiongkok demi menjaga kedaulatan, keamanan, dan kepentingan dalam berurusan dengan pihak asing.

“China sebelumnya tidak memiliki kekuatan ekonomi maupun kemauan politik untuk menggunakan cara hukum untuk membalas sanksi AS. Sekarang memiliki keduanya,” kata Wang Jiangyu, profesor hukum di University of Hong Kong, seperti dikutip dari Al Jazeera.

Beijing telah lama mengeluhkan sanksi AS dan negara-negara Eropa terkait pembatasan perdagangan yang mempengaruhi perusahaan Tiongkok. Dalam beberapa bulan terakhir, Biden dan Uni Eropa telah meningkatkan sanksi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong dan diskriminasi rasial di Xinjiang.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya