[WANSUS] Penasihat WHO Bicara soal Omicron dan Penanganan COVID-19 RI

Penasihat WHO kritik pembatalan PPKM Level 3 di Indonesia

Jakarta, IDN Times - Varian COVID-19 Omicron menjadi tantangan penanganan pandemik jelang tutup 2021. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai banyak negara yang salah menanggapi kebijakan tersebut, mulai dari menutup perbatasan dari negara-negara Afrika, menggalakkan vaksinasi dosis booster, hingga mewajibkan vaksin. 

Penasihat Direktur Jenderal (Dirjen) WHO untuk Gender dan Pemuda, Diah Satyani Saminarsih, mengatakan hingga saat ini belum ada data definitif soal varian Omicron. Menurut Diah, tidak sepatutnya negara-negara menyikapi varian yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan (Afsel) itu secara reaktif. 

"Sejauh ini kita ketahui Omicron menular lebih cepat. Apakah lebih parah atau tidak dibanding Delta? Masih belum ada definitif," kata Diah dalam wawancara khusus bersama IDN Times, Kamis (9/12/2021). 

Selain itu, Diah juga menyayangkan karena banyak negara maju yang menjadikan vaksinasi dosis booster sebagai cara menangani varian Omicron. Padahal, masih banyak negara yang warganya belum disuntik dosis pertama. 

"Sama ironisnya seperti vaksin yang kedaluwarsa. Kita bicara vaksin ketiga, ternyata ada yang tidak terpakai dan ada yang belum tahu kapan menerima suntikan pertama," ujar dia. 

Untuk mengetahui lebih jauh soal tantangan pandemik saat ini, berikut hasil wawancara khusus IDN Times dengan Diah Satyani Saminarsih. 

Baca Juga: Epidemiolog: Penyebaran Omicron di Indonesia Hanya Masalah Waktu

Bagaimana asesmen WHO terhadap varian Omicron?

[WANSUS] Penasihat WHO Bicara soal Omicron dan Penanganan COVID-19 RIDiah Saminarnih, Penasihat Dirjen WHO soal Gender dan Pemuda (IDN Times/Reynaldy Wiranata)

Memang perkembangan varian Omicron masih cukup dini. Data yang cukup matang WHO terima dari Afrika Selatan, yang berarti 26 November atau waktu (pertama kali) dilaporkan ke WHO hingga saat ini sekitar dua minggu. Kenapa butuh waktu begitu lama? Karena untuk melihat satu durasi siklus virus, bagaimana efeknya ke manusia yang tertular.

Sejauh ini kita ketahui adalah Omicron menular lebih cepat. Apakah lebih parah atau tidak dibanding Delta? Itu masih belum ada data definitif. Memang data yang masuk dari Afsel memperlihatkan gejala ringan, tapi kita harus lihat dari negara lain, apakah sama atau tidak (efeknya), dan pada kelompok populasi.

Karena biasanya ada orang yang belum divaksin, ada yang dengan komorbid, ada yang baru divaksin satu kali. Itu yang masih kita tunggu, laporan dari berbagai negara. Saat ini sudah ada 38 negara yang melaporkan varian Omicron dan masih kami tunggu laporan yang lebih spesifik, apakah ada penurunan dalam efikasi vaksin.

Umumnya butuh waktu berapa lama untuk melengkapi data tersebut?

Saat ini baru Afsel yang matang datanya setelah 14 hari. Kita menunggu data dari tempat lain, mudah-mudahan tidak terlalu lama, dalam beberapa hari ke depan. Yang bisa ditambahkan adalah saat ini ada dua varian, Delta masih dominan dan Omicon mulai masuk.

Jadi bagaimana kondisi dunia saat ini? Masih Delta varian dominan, tapi di banyak negara Omicron adalah varian yang tidak bisa kita abaikan. Misalnya di Afsel, dalam waktu enam hari, dari ratusan (kasus) dan belasan ribu, apakah itu karena Omicron atau Delta, itu juga yang harus diselidiki, masih belum ada kesimpulan definitif.

Varian Omicron muncul karena ketimpangan vaksinasi global. Dengan segala perangkat yang ada, kenapa pemerataan vaksin sangat sulit tercapai?

[WANSUS] Penasihat WHO Bicara soal Omicron dan Penanganan COVID-19 RIIlustrasi Virus Corona. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dari sejak awal, bahkan sebelum program vaksinasi dunia dimulai, WHO telah memperingatkan kalau kita hanya memikirkan negara kita sendiri, maka akan terjadi ketimpangan dalam distribusi vaksin. Makanya sejak awal WHO telah menyuarakan vaksin equity. Kenapa (ketimpangan) itu terjadi? Karena awalnya suplai vaksin yang masih sangat sedikit untuk memenuhi kebutuhan vaksin di seluruh dunia.

Tapi kemudian, ada negara-negara yang lebih punya kemampuan untuk mengakses vaksin dan mengadakan perjanjian bilateral atau membeli, dan itu membuat negara-negara seperti di Afrika yang miskin dan tidak punya sumber daya, menjadi tidak bisa mendapatkan vaksin.

Makanya WHO mendirikan COVAX (aliansi global untuk akses setara dalam vaksin Covid-19), dengan tujuan agar negara-negara mampu memikirkan dan membantu distribusi vaksin ke negara yang tidak mampu.

Namun, aspirasi COVAX nampaknya sulit untuk bisa secara lancar berlangsung, karena ada kondisi di mana negara-negara lebih mementingkan (kebutuhan) ke dalam (negerinya), baru kalau ada sisa diberikan ke negara lain.

Ini yang salah dan membuat mutasi virus terus berkembang. Saya ingat beberapa bulan lalu Dirjen WHO sudah mengingatkan, kalau ketimpangan vaksin terus dibiarkan, maka varian itu akan bermutasi dengan bebas dan kompleks, akhirnya semakin sulit ditanggulangi.

Baca Juga: Studi: Varian Omicron Turunkan Efektivitas Vaksin 40 Kali Lipat

Apa strategi WHO untuk pemerataan vaksin pada 2022?

Pertama, dari kuartal akhir 2021, WHO sudah meminta negara-negara yang sudah punya vaksin untuk bersedia nomor antreannya diberikan kepada negara yang lebih belakangan, supaya bisa diberikan dahulu.

Kedua, WHO minta produsen vaksin agar bersedia memberikan izin supaya vaksinnya bisa diproduksi di negara atau kontinen lain, dan hasilnya dipakai di negara atau kontinen tersebut. Jadi salah satu yang duluan meminta hal tersebut dan bersedia adalah Afsel, jadi diproduksi di sana dan digunakan untuk di kawasan itu.

Termasuk penghapusan hak cipta, yang saya rasa semua pihak mendukung, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) juga, negara produsen juga. Presiden Joe Biden menyatakan dukungannya dalam pertemuan tahunan WTO. Semoga bisa segera terjadi.

Banyak negara yang mulai mewajibkan vaksinasi dosis booster, bagaimana tanggapan WHO atas kebijakan ini?

[WANSUS] Penasihat WHO Bicara soal Omicron dan Penanganan COVID-19 RIDiah Saminarnih, Penasihat Dirjen WHO soal Gender dan Pemuda saat di kantor IDN Media HQ pada Kamis (9/12/2021). (IDN Times/Uni Lubis)

Ini ironis ya, pada saat negara-negara maju berbicara vaksin ketiga, masih ada teman-teman kita yang satu vaksin saja belum ketahuan kapan didapatnya. Posisi WHO tetap pada vaksin pertama atau kedua (yang jadi prioritas). Ketika seluruh dunia sudah mendapat dua suntikan, baru kita bicara booster. WHO tetap pada posisi itu.

Sama ironinya seperti vaksin yang kedaluwarsa, sedih ya. Kita bicara vaksin ketiga, ternyata ada vaksin yang tidak terpakai. Imbauan WHO adalah memberikan resources kepada negara yang membutuhkan dan bisa mendistribusikannya dengan baik, agar negara bisa dapat satu atau dua vaksin. Jadi tidak ada yang terbuang.

Bagaimana dengan kebijakan vaksinasi anak-anak, karena tren pandemik saat ini semakin banyak anak-anak yang tertular?

Anak-anak dan perempuan sayangnya selalu berada di dalam situasi rentan. Jadi perempuan tidak punya akses ke layanan kesehatan, begitu pula dengan anak-anak karena bergantung dengan orang tua. Kondisi ini, dua kelompok ini, selalu dalam kerentanan tinggi, dalam situasi COVID-19 tidak berbeda. Apakah dia lebih rentan kena virus atau gak punya akses kesehatan.

Kebijakan di sisi WHO ada yang bisa direkomendasikan ke negara anggota, ada yang sepenuhnya dari kebijakan nasional. Di sini, kita lihat rekomendasi WHO adalah kalau orang dewasanya sudah divaksin dua kali, maka itu akan memberikan kekebalan kepada anaknya. Sebenarnya anaknya ikut dalam kekebalan itu.

Tapi, di sisi lain, negara juga punya kedaulatan nasional. Akhirnya negara tersebut memutuskan, 'oke saya mau vaksin ketiga', 'saya mau vaksin untuk anak'. Ini yang WHO ingatkan dan imbau, agar ingat ada orang di negara lain yang tidak punya akses ke vaksin pertama dan kedua.

Jadi prinsipnya dampak vaksinasi orang dewasa akan dirasakan ke anak-anak. Tadinya begitu. Tapi, karena ada perpecahan nasional, ada kedaulatan nasional, WHO akhirnya hanya bisa memberikan rekomendasi terkait.

WHO Eropa memperingatkan supaya negara-negara tidak mewajibkan vaksinasi. Kenapa justru WHO tidak mendukung kebijakan tersebut?

[WANSUS] Penasihat WHO Bicara soal Omicron dan Penanganan COVID-19 RIilustrasi vaksinasi (IDN Times/Herka Yanis).

Intinya, setiap orang punya hak asasi dan itu tidak bisa dilanggar. Wajib atau tidak wajib, negara diharapkan bisa membuat kebijakan yang membuat orang mau (divaksinasi). Jadi tidak boleh ada pemaksaan.

Bahwa orang itu punya hak bebas dan punya otonomi untuk memutuskan, itu adalah prinsip dari kebijakan kesehatan, ini yang gak bisa dilanggar dan tidak boleh dia merasa terpaksa, atau ada hak lain sebagai warga negara yang terhalang karena dia gak mau vaksin.

Ada urusan human rights di situ. Walaupun pembuat kebijakan merasa itu penting, dan ada rekomendasi dari WHO, tapi kalau mereka bilang tidak mau, tidak boleh ada pemaksaan dalam akses terhadap vaksin.

Baca Juga: Omicron Mengganas, WHO: Negara Eropa Jangan Asal Wajibkan Vaksin COVID

Negara-negara Afrika menentang kebijakan penutupan perbatasan. Mereka merasa tidak adil karena transparansi data. Apa tanggapan WHO?

WHO tentunya berpihak ada evidence yang kuat dan itu pertama kali diberikan Afsel. Jadi WHO kembali lagi mengingatkan bahwa penutupan perbatasan atau perjalanan harus dilakukan berdasarkan asesmen berbasis risiko. Tidak bisa dilakukan reaktif seperti yang terjadi saat ini, makanya banyak negara yang mengembalikan keputusannya, dari karantina dan membatasi perjalanan dari Afrika.

Salah satunya Swiss, setelah memberlakukan karantina, begitu ketemu kasus Omicron, beberapa hari kemudian dia mencabut aturan karantina dan menggantinya dengan surveillance kesehatan yang ekstra ketat, tracing, dan penggunaan sertifikat vaksin yang ketat di mana-mana.

Kebijakan itu lebih baik karena tidak menekan livelihood, tidak menambah tekanan mental dari orang-orang yang ada di sana (negara tempat Omicron terdeteksi), dan masih ada kemungkinan livelihood yang lebih baik tanpa diskriminasi negara yang melaporkan, karena kita tidak mau sudah melapor tapi malah di-banned.

Sehingga (nantinya dikhawatirkan) ada negara yang menemukan Omicron tapi tidak melapor. Supaya tidak ada diskriminasi dan tidak ada efek kapok, akhirnya banyak yang mengembalikan aturan karantinanya.

Sejauh mana transparansi Afsel kalau dibandingkan dengan penemuan varian Delta di India dan varian Alpha di Inggris?

Tentu WHO tidak bisa membandingkan antara negara seperti itu. Yang bisa kita lakukan adalah terus mendorong agar negara transparan, membuka (data) bila sudah ditemukan satu varian tertentu, agar dilakukan penelitian di lapangan.

Kita tidak pernah berubah narasinya, WHO ingin negara melaporkan atau sequence-nya dimasukkan atau membuka negara yang ditemukan varian baru untuk dilakukan field research.

Tahun kedua pandemik beredar narasi bahwa WHO mulai memperhatikan dampak ekonomi dibanding kesehatan, benar demikian?

[WANSUS] Penasihat WHO Bicara soal Omicron dan Penanganan COVID-19 RIIlustrasi markas WHO di Jenewa, Swiss (www.who.int)

Saya rasa gak sehitam-putih itu ya. Sejak awal memang ada kegawatdaruratan yang harus diselesaikan. Tapi kembali lagi bahwa berbagai macam negara punya kedaulatan nasional, kebijakan nasional yang tidak bisa diatur WHO.

Tidak ada konvensi mana pun yang bisa membuat WHO meng-overrule keputusan atau kedaulatan nasional. Jadi itu kembali ke setiap negara. Sejak awal WHO mengatakan, selesaikan urusan nasional supaya bisa menghidupkan kembali kegiatan ekonomi. Itu sequence yang gak semua negara lakukan.

Kemudian muncul varian baru. Kalau melihat International Health Regulation, disebutkan bahwa penutupan border atau pembatasan perjalanan akan berdampak terhadap livelihood. Nah, livelihood itu gak cuma ekonomi, tapi kesehatan mental populasi, termasuk anak-anak apakah bisa kembali sekolah atau tidak, apakah orang-orang bisa mencari nafkah atau tidak, bisa hidup layak atau tidak.

Jadi bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dikejar, tapi lebih kepada keseimbangan pada semua negara bisa tercapai. 

Ketika banyak negara memperketat kebijakannya menjelang Natal dan Tahun Baru, Indonesia justru membatalkan PPKM Level 3. Apa tanggapan Anda?

Ini contoh klasik betapa diferensiasi dari kebijakan setiap negara punya dampak global dalam kondisi pandemik. Karena di satu sisi ada yang memperketat, ada yang biasa saja, ada yang tetap lockdown. Itu dinamika di antaranya membuat pandemik ini jadi makin sulit selesai.

Tapi saya mengingatkan bahwa hanya ada sekian yang bisa dikerjakan WHO dan WHO selalu memberikan gold standard, rekomendasi terbaik, kepada negara-negara. Tapi kembali lagi, ada kedaulatan nasional dan yang paling paham situasi negara adalah para pembuat kebijakan di negara tersebut.

Ini yang membuat tidak ada overrule, kalau dipandang harus (diterapkan), paling hanya diberi peringatan. Tapi kalau tidak, tetap WHO hanya bisa merekomendasi menuju keputusan terbaik kepada setiap negara.

Jadi WHO tidak bisa memaksa dan tidak punya perangkat sanksi. Dalam banyak situasi WHO kerap disalahkan, terlebih sekarang dalam situasi pandemik. Hanya ada dua international treaty di mana negara punya legal obligation, satu tentang rokok FTCT (WHO Framework Convention on Tobacco Control), satunya lagi International Health Regulation. Di situ ada ranah-ranahnya. Tapi tetap ada batas-batas ranah internasional treaty berakhir dan akhrinya national sovereignity yang akan menentukan.

Baca Juga: Omicron Bukti Ketimpangan Vaksinasi COVID-19 di Dunia

Indonesia ingin membangun hub vaksin untuk Asia Pasifik, bagaimana perkembangannya dan seberapa besar kemungkinan hal itu tercapai?

[WANSUS] Penasihat WHO Bicara soal Omicron dan Penanganan COVID-19 RIilustrasi vaksinasi COVID-19 (IDN Times/Herka Yanis).

Kalau tanya kemungkinan, kemungkinannya cukup besar, karena kita punya Bio Farma dan memang sejak sebelum pandemik Bio Farma punya reputasi global, untuk vaksin polio khususnya. Banyak negara yang mempunyai kapasitas untuk berkeinginan (membangun hub vaksin).

Tapi perlu diingat, sekarang waktunya kerja sama, bukan melihat negara lain di kawasan sebagai saingan, tapi bagaimana kita bisa berkolaborasi dengan negara kawasan Asia Pasifik atau Asia Tenggara, untuk bisa sama-sama menguntungkan kawasan. Jadi siapa pun itu (yang terpilih), apakah Indonesia misalnya, Bio Farma yang main, tapi kita bisa undang keterlibatan dari negara-negara lain. Ini adalah contoh penerapan multilateralisme yang sangat dibutuhkan di tengah kondisi pandemik ini.

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya