Myanmar memiliki jumlah penduduk lebih dari 50 juta orang. Selama puluhan tahun, ada puluhan kelompok pemberontak yang berbasis etnis berdiri untuk melawan pemerintahan. Setidaknya ada 64 kelompok pemberontak yang diketahui. Kini ketika kudeta dilakukan oleh junta militer, banyak dari kelompok pemberontak itu yang menawarkan bantuan kepada masyarakat anti-kudeta.
Kelompok-kelompok pemberontak tersebut dapat berusaha mengeksploitasi kudeta demi keuntungan teritorial mereka sendiri. Hal ini akan semakin memperumit krisis.
Melansir dari laman The Guardian, menurut Richard Horsey, penasihat senior Myanmar untuk Crisis Group bahkan mengkhawatirkan ada tren baru di Myanmar. Tren tersebut adalah memburu rakyat sipil yang dicurigai menjadi informan junta militer, lalu menyerangnya. "Akan sulit untuk menahan begitu kekerasan semacam ini menjadi norma. Sulit untuk menutup dinamika ini lagi nanti," katanya.
Di sisi lain, pasukan pertahanan rakyat Karenni yang eksis di negara bagian Kayah di sebelah tenggara Myanmar, masih terus melancarkan serangan kepada junta militer.
Pada hari Senin (31/5) mereka terlibat bentrokan di kota Demoso. Melansir dari laman Myanmar Now, Karenni People’s Defence Force (KPDF) mengatakan setidaknya 106 personel junta militer tewas dalam bentrokan di Demoso dan kota lain di negara bagian Kayah sejak 21 Mei lalu. Masyarakat sipil dan personel KPDF yang meninggal dilaporkan ada 26 orang.
Dalam bentrokan terbaru pada hari Senin, junta militer mengerahkan artileri berat dan serangan udara. Menurut salah satu anggota KPDF, "kami menyerang dengan senjata ringan tapi mereka membalas dengan peluru artileri. Mereka masih menembak sekarang dan kami belum bisa keluar," jelasnya pada Senin malam.
Puluhan ribu penduduk di negara bagian Kayah telah meninggalkan rumah sejak pertempuran semakin memanas. Mereka saat ini membutuhkan bantuan makanan dan akses medis.