Perjanjian Ekstradisi: Kerja Sama Keamanan Antar Negara

Tidak adanya perjanjian akan menyulitkan proses ekstradisi

Negara kita, Indonesia, adalah salah satu negara yang sering mengalami kejadian korupsi. Tak ayal, para maling uang rakyat tersebut sering kali kabur ke luar negeri untuk menghindari penangkapan oleh pihak berwenang.

Mereka yang kabur ke luar negeri akan menyulitkan para penegak hukum untuk melakukan penangkapan. Pasalnya, pihak berwenang negara ini tidak memiliki hak untuk melaksanakan penangkapan di negeri orang lain. Hal tersebut jika dilakukan akan melanggar hukum internasional.

Untuk menangkap mereka, aparat dalam negeri harus bekerjasama dengan pihak keamanan luar negeri suatu negara untuk mengadakan penangkapan di negara tertentu. Namun, hal tersebut harus dilandasi oleh apa yang disebut sebagai Perjanjian Ekstradisi. Lalu apa sebenarnya Perjanjian Ekstradisi itu? Berikut penjelasannya.

1. Pengertian Perjanjian Ekstradisi 

Perjanjian Ekstradisi: Kerja Sama Keamanan Antar NegaraIlustrasi tandatangan perjanjian (pixabay.com/Andreas Breitling)

Melansir Council on Foreign Relations, ekstradisi adalah proses formal suatu negara menyerahkan seseorang kepada negara lain untuk penuntutan atau hukuman atas kejahatan yang dilakukan di Yurisdiksi negara peminta. 

Perjanjian ekstradisi merupakan kesepakatan antar satu negara dengan negara lain dalam melakukan ekstradisi terhadap tersangka. Ekstradisi dapat dilakukan jika negara peminta dan negara diminta telah mempunyai perjanjian ekstradisi. Ini biasanya dimungkinkan dengan adanya perjanjian bilateral atau multilateral. Beberapa negara bisa mengekstradisi tanpa perjanjian, tetapi kasus-kasus semacam ini jarang terjadi.

Perjanjian ekstradisi dimaksudkan untuk menangkap, mengantisipasi, dan mengadili para pelaku kejahatan yang berusaha melarikan diri ke negara lain untuk menghindari hukum yang berlaku pada suatu negara dimana pelaku melakukan kejahatannya.

2. Sejarah Perjanjian Ekstradisi 

Perjanjian Ekstradisi: Kerja Sama Keamanan Antar NegaraIlustrasi raja Ramesses II dari Mesir (worldhistory.org)

Perjanjian ekstradisi yang pertama kali dalam sejarah menurut sejarawan hukum internasional adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM. Kedua pihak saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang ditemukan di dalam wilayah pihak lain. Namun saat itu, perjanjian semacam itu bukanlah perjanjian ekstradisi yang mampu berdiri sendiri seperti yang ada saat ini. Perjanjian ekstradisi saat itu hanyalah sebagian kecil dari bentuk perjanjian damai antar kedua belah pihak.

Kualitas hubungan antar negara saat itu sangat berpengaruh pada perjanjian ekstradisi. Apabila beberapa negara/kerajaan saling berhubungan baik maka akan dengan mudah menyerahkan penjahat pelarian. Begitupun sebaliknya, apabila keduanya bermusuhan maka mereka tak akan segan penjahat dari negara satu akan ditampung di negara lain mengingat keduanya bermusuhan. Saat itu, belum ada kesadaran dan keinginan yang bertujuan untuk bekerjasama dalam memberantas kejahatan bersama.

Berbeda dengan saat ini dimana perjanjian ekstradisi mampu berdiri sendiri tanpa diganggu oleh kepentingan yang lain yang mana tujuannya benar-benar ditujukan untuk memberantas kejahatan bersama. Ini berarti bahwa meski negara tersebut bermusuhan dalam satu hal, misalnya militer, maka ekstradisi penjahat dari negara satu ke negara lainnya masih bisa dilakukan selama terdapat perjanjian antar kedua belah pihak.

Baca Juga: Tanjung Verde Bersedia Ekstradisi Alex Saab ke AS

3. Pengaturan ekstradisi melalui perjanjian internasional 

Perjanjian Ekstradisi: Kerja Sama Keamanan Antar NegaraIlustrasi tandatangan perjanjian (pixabay.com/Narcis Ciocan)

Berdasarkan hukum internasional, suatu negara memiliki kekuasaan tertinggi sendiri. Sehingga suatu negara tidak diperbolehkan untuk turut campur urusan internal negara lain karena hal tersebut bisa menjadi intervensi yang bisa mengganggu kedaulatan, kecuali jika negara tersebut mengizinkan. Izin yang dimaksud adalah perjanjian ekstradisi.

Banyak kasus di mana "negara diminta" sulit melakukan ekstradisi terhadap "negara peminta" karena belum memiliki perjanjian ekstradisi diantara keduanya. Dalam Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional (UN Convention on the law of the treaty) tahun 1969, berdasarkan praktik hubungan internasional, pertama, berdasarkan Pasal 26 prinsip-prinsip umum perjanjian pacta sunt servanda; Pasal 26 suatu negara tidak boleh menolak pelaksanaan suatu perjanjian dengan alasan bertentangan dengan sistem hukum nasional; kedua, Pasal 27 Permintaan ekstradisi wajib dipenuhi, sebagai suatu kewajiban mutlak bagi negara yang dimintakan ekstradisi.

Pada 14 Desember 1990, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang model Treaty on Extradition. Model ini dijadikan acuan oleh negara-negara dalam membuat perjanjian ekstradisi. Setelah dikeluarkannya resolusi tersebut, muncul kekhawatiran negara-negara akan kejahatan terorganisir, sehingga pada tahun 2000 dan mulai berlaku efektif pada 2002 yaitu pasal 16 yang mengatur soal ekstradisi.

4. Praktik Indonesia dalam pelaksanaan ekstradisi

Perjanjian Ekstradisi: Kerja Sama Keamanan Antar NegaraIlustrasi bendera Indonesia (unspalsh.com/Mufid Majnun)

Praktik ekstradisi di Indonesia didasarkan atas UU No. 1 tahun 1979 Tentang Ekstradisi. Dalam ekstradisi, mekanisme permintaan ekstradisi, berdasarkan UU, prosedurnya terbagi menjadi dua yakni: kedudukan Indonesia sebagai negara diminta; dan kedudukan Indonesia sebagai negara peminta.

a. Sebagai negara diminta

Apabila melihat proses pelaksanaan ekstradisi yang diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1979 dalam kapasitas Indonesia sebagai Negara yang dimintai ekstradisi maka proses pelaksanaan ekstradisi pada dasarnya dapat dibagi dalam beberapa tahapan yaitu pra permintaan ekstradisi, permintaan ekstradisi, pemeriksaan ekstradisi, persetujuan ekstradisi, dan penyerahan ekstradisi.

Proses ekstradisi tidak selamanya harus dilakukan melalui perjanjian ekstradisi. Menurut pasal 2 ayat 2 UU No. 1 tahun 1979 bahwa apabila belum memiliki perjanjian ekstradisi maka dapat dilakukan atas dasar hubungan baik, dengan asas resiprositas.

Perjanjian ekstradisi lebih bertumpu pada penerapan sistem hukum. Apabila terjadi perbedaan penafsiran maka diperlukan asas-asas hukum. Asas-asas inilah yang akan menjadi sarana penuntun.

Praktik Indonesia sebagai negara diminta dalam merespon permintaan negara-negara tidak selamanya diterima oleh Indonesia. Terdapat beberapa permintaan yang ditolak karena dalam hukum Indonesia, kejahatan yang dibuat pelaku bukan merupakan tindak pidana di Indonesia.

Permintaan penangkapan dan penahanan (provisional arrest) diatur dalam Pasal 18, 19, dan 37 UU No. 1/1979. Menurut pasal 18 dan 19, bahwa Kapolri dan Jaksa Agung bisa memerintahkan penahanan seorang tersangka berdasarkan permintaan negara lain apabila hal tersebut merupakan hal yang mendesak dan tidak bertentangan dengan hukum negara Republik Indonesia. Permintaan tersebut disampaikan melalui Interpol Indonesia atau melalui saluran diplomatik. Selain itu, negara peminta harus melampirkan dokumen-dokumen identitas pelaku seperti paspor, KTP/SIM, sidik jari, dan pengakuan.

b. Sebagai negara peminta

Secara umum, apabila menyangkut masalah pencarian dan upaya penangkapan pelaku yang melarikan diri ke luar negeri, maka pihak penegak hukum (Polri/Jaksa Agung) dapat meminta bantuan Interpol. Namun ada juga beberapa negara yang permintaannya melalui jalur diplomatik. Baru setelah pelaku ditangkap, Interpol akan menghubungi negara peminta untuk dilakukan ekstradisi.

Menurut UU No. 8/1981, ekstradisi harus dilengkapi dengan surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan sebagai pelengkap dokumen permintaan ekstradisi. Setelah ada surat tersebut, maka selanjutnya adalah menyiapkan persyaratan ekstradisi. Persyaratan ini disiapkan oleh pihak instansi yang menangani kasusnya.

Perlu diketahui bahwa pada setiap negara memiliki persyaratan yang berbeda-beda dan disesuaikan dengan ketentuan hukum nasionalnya. Karena itu, pembuatan persyaratan ini harus mendapat perhatian dan pemahaman.

Surat permintaan tersebut kemudian dikirim ke Menteri Hukum dan HAM, dilampiri dengan persyaratan. Materi tersebut berisikan penjelasan mengenai kasus yang terjadi dan permintaan kepada negara yang diminta untuk mengadakan ekstradisi terhadap sang buron tersebut.

Menkumham kemudian mempelajari dan mencari dasar hukum untuk mengadakan permintaan ekstradisi terhadap pihak negara diminta.  Setelah disetujui oleh Menkumham, selanjutnya pihak Polri/Jaksa Agung meneruskan surat permintaan tersebut kepada Menteri Luar Negeri untuk diteruskan kepada pihak negara diminta melalui saluran diplomatik.

Itulah penjelasan singkat mengenai Perjanjian Ekstradisi. Dengan adanya perjanjian ini maka proses ekstradisi akan jauh lebih mudah untuk dilakukan terhadap sang buron yang melarikan diri ke luar negeri.

Baca Juga: Maria Lumowa 17 Tahun Buron Setelah Membobol BNI, Apa Itu Ekstradisi?

Zidan Patrio Photo Verified Writer Zidan Patrio

patrio.zidan@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya