Restorative Justice: Keadilan bagi Korban dan Pelaku Pidana

Pendekatan Keadilan yang Sesuai dengan Nilai Pancasila

Dewasa ini istilah Restorative Justice sering ditemui dalam berbagai pemberitaan dan artikel. Isu Restorative Justice kembali muncul dalam pemberitaan dan pembahasan terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Kejaksaan, Surat Edaran Kapolri, janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, UU ITE, hingga contoh kasus Restorative Justice dalam pernyataan Prof. Mahfud MD pada bulan Februari 2021 yang sempat menuai kritik. Apabila ditinjau lebih jauh, Restorative Justice sebenarnya bukan merupakan suatu isu baru dalam perkembangan dan penegakan hukum di Indonesia. Terlepas dari istilah yang digunakan, prinsip-prinsip dan semangat Restorative Justice sebenarnya telah terkandung dalam nilai-nilai bangsa Indonesia. Hanya saja, hukum positif Indonesia belum secara terintegrasi mengakomodasi prinsip tersebut.

Secara sederhana, Restorative Justice atau Keadilan Restoratif dalam hukum pidana dapat diartikan sebagai suatu pendekatan untuk mencapai keadilan dengan pemulihan keadaan atas suatu peristiwa pidana yang terjadi. Berbeda dengan pendekatan pada penegakan hukum pidana konvensional (Retributive Justice) yang menitikberatkan pada penghukuman bagi pelaku, pendekatan dengan Restorative Justice menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban, dan masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya dalam suatu proses musyawarah guna mencari dan mencapai suatu solusi (mufakat).

Apabila pertanyaan dalam Retributive Justice menitikberatkan pada “hukum apa yang dilanggar, siapa yang melanggar, dan bagaimana hukumannya”, pertanyaan dalam pendekatan Restorative Justice lebih menitikberatkan pada “siapa yang dirugikan, apa kerugiannya, dan siapa yang diwajibkan memulihkan kerugian tersebut”. Pendekatan Restorative Justice, apabila dilakukan dengan benar, dipercaya dapat merehabilitasi perilaku pelaku, meningkatkan pencegahan (deterrence) tindak pidana, menyadarkan para pihak akan pentingnya norma yang dilanggar (reinforcement of norm), dan memungkinkan pemulihan kerugian korban melalui pemberian ganti rugi atau restitusi.

Pendekatan Restorative Justice tidak hanya berbicara mengenai proses, tetapi juga mengenai nilai (values). Beberapa literatur bahkan menggarisbawahi bahwa pendekatan tersebut tidak sekedar bertujuan untuk mengubah cara menyelesaikan suatu perkara pidana melalui musyawarah, tetapi juga untuk mencapai suatu masyarakat yang adil (achieving a just society) dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait. Tentunya dapat kita pahami bahwa tujuan pendekatan tersebut sebenarnya sangat erat dengan nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila sebagai dasar negara. Artinya, sudah sepatutnya pendekatan Restorative Justice mendapatkan perhatian lebih dalam penyelesaian suatu permasalahan hukum yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Dalam praktiknya, Restorative Justice sudah sejak dulu diterapkan dalam masyarakat melalui jalur ‘non-hukum’. Tidak jarang perkara-perkara tindak pidana ringan seperti pencurian ringan, penganiayaan ringan, penghinaan ringan, pengrusakan, dan sejenisnya dapat diselesaikan melalui tetua adat, perangkat desa, atau tokoh masyarakat. Padahal, menurut hukum acara pada peraturan perundang-undangan, tindak pidana tersebut harus diselesaikan melalui jalur hukum dan bukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini juga menjadi bukti tambahan bahwa sebenarnya prinsip dan nilai-nilai Restorative Justice telah hidup dalam masyarakat. Permasalahannya adalah, apabila tidak ada hukum positif yang mengatur, tentu sangat berpotensi terjadi disparitas dalam penerapannya yang justru dapat mencederai nilai-nilai keadilan.

Meski dapat kita akui bahwa tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan dengan pendekatan Restorative Justice, setidaknya peluang atau opsi penyelesaian perkara pidana melalui Restorative Justice dalam hukum positif harus tetap terbuka demi terpenuhinya rasa keadilan baik bagi korban maupun pelaku. Korban tindak pidana harus diberikan kesempatan untuk memilih apakah kerugian (damage/harm) yang dideritanya dari suatu tindak pidana dapat dipulihkan melalui pendekatan Restorative Justice. Di samping itu, pelaku tindak pidana juga harus diberikan kesempatan untuk memperbaiki dan memulihkan kerugian yang disebabkannya dalam suatu tindak pidana di luar pengadilan, mengingat pemidanaan badan (hukuman penjara) pada prinsipnya adalah suatu jalan terakhir (ultimum remedium) apabila cara-cara lain sudah tidak dapat digunakan.

Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan Restorative Justice adalah minimnya hukum positif Indonesia yang saat ini mengakomodasi penyelesaian perkara tindak pidana dengan pendekatan tersebut. Tentunya sangat dapat dimaklumi bahwa merumuskan suatu peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi payung hukum bagi penerapan pendekatan Restorative Justice tidak semudah membalik telapak tangan. Pemerintah bersama-sama dengan DPR harus bekerja sama dan berkomitmen untuk menjadikan perumusan payung hukum yang mengatur mengenai Restorative Justice sebagai salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sehingga dapat diundangkan.

Saat ini, salah satu sistim hukum yang telah menerapkan Restorative Justice di Indonesia dan patut diacungi jempol adalah Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA – UU No. 11/2012), di mana dimungkinkannya penyelesaian tindak pidana tertentu yang dilakukan oleh anak melalui proses diversi yang melibatkan pelaku dan korban atau keluarganya. Pendekatan dalam SPPA tersebut tidak hanya memperhatikan kepentingan korban tetapi juga kepentingan pelaku yang merupakan anak di bawah umur. Sangat disayangkan, mayoritas penerapan hukum pidana lainnya di Indonesia masih sangat kental dengan prinsip Retributive Justice, di mana penyelesaian atas suatu tindak pidana adalah dengan penghukuman (punishment) bagi pelaku tanpa terlalu memperhatikan pemulihan kerugian dan keadilan bagi korban, dan dengan tidak memperhatikan besar atau kecilnya akibat dari tindak pidana tersebut. Dengan semangat menciptakan nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, semoga semakin banyak peluang diselesaikannya suatu perkara pidana melalui Restorative Justice yang diakomodasi oleh hukum positif, baik yang akan diwujudkan di masa mendatang melalui RUU KUHP, RUU KUHAP, RUU Kejaksaan, atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Baca Juga: [OPINI] Apakah Intoleransi Suatu Hal yang Wajar?

Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., Adv. Photo Writer Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., Adv.

Praktisi, Advokat dan Konsultan Hukum. Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Grand Slipi Tower dan Perhimpunan Manajemen Sumber Daya Manusia (PMSM) Indonesia. Selain kompetensi di bidang hukum juga memiliki sertifikasi Brevet Pajak dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Email: aldi.integra@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya