TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

RUU EBET dan Kaitannya dalam Optimalisasi Energi Surya

Menuju Indonesia zero carbon emission pada 2060 atau lebih cepat

ilustrasi panel surya (unsplash.com/American Public Power Association)

Penggunaan energi tak terbarukan seperti bahan bakar fosil diketahui menyumbang sejumlah dampak jangka panjang yang destruktif. Antara lain emisi gas rumah kaca (GRK), polutan udara yang berakibat fatal terhadap kesehatan penghirupnya, serta pencemaran air dan tanah akibat proses ekstraksi dan transportasi bahan bakar fosil tersebut.

Di samping dampaknya yang mengkhawatirkan, cadangan minyak saat ini pun sudah mulai menipis. Hal tersebut tentu mendesak pemerintah untuk segera mencari energi alternatif demi kelangsungan hidup negara.

Sebagai negara tropis dengan sinar matahari yang bersinar di sepanjang tahun, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam optimalisasi energi surya sebagai sumber energi terbarukan. Hal ini mendorong pemerintah untuk menetapkan target bauran energi terbarukan (EBT) sebanyak 23 persen pada 2025, dan menuju Indonesia zero carbon emission (netral karbon) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Demi mencapai target di atas, komisi VII DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU EBT), yang kemudian berubah nama menjadi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dan sudah memasuki tahap harmonisasi.

Dilansir keterangan kementerian ESDM pada rapat pleno 17 Maret 2022, energi baru yang disematkan dalam RUU tersebut mencakup energi nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batu bara tercairkan (coal liquefaction), batu bara tergaskan (coal gasification), dan Sumber Energi Baru lainnya. 

Hal-hal yang perlu disorot dalam RUU EBET

Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu energi baru yang dicakupkan dalam RUU adalah batu bara tergaskan (coal gasification). Padahal, menurut studi yang dilakukan oleh National Renewable Energy Laboratory (NREL), emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara pada energi baru jauh lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan.

Seharusnya, dalam RUU EBET ini, kerangka regulasinya harus lebih fokus dalam memprioritaskan akselerasi energi terbarukan, dan tidak mencampuradukkan RUU EBET dengan energi fosil yang disisipkan dalam kategori energi baru. 

Kemudian, terkait energi nuklir yang ikut disematkan dalam RUU EBET dalam definisi energi baru. Hal ini dirasa kurang tepat,  dan akan lebih efisien untuk urusan energi nuklir ini, jika pemerintah lebih fokus pada revisi UU 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

Lagi pula, pembangunan PLTN berdasarkan roadmap pemerintah, masih lama (mulai setelah 2025, menurut Kementrian ESDM), sehingga pemerintah punya waktu yang cukup banyak untuk merevisi UU 10 tahun 1997. Tidak ada urgensi untuk memasukkan energi nuklir dalam RUU ini.

Selain itu, PLTN membutuhkan zona eksklusif yang luas ditambah limbah radioaktifnya yang berbahaya juga harus dipikirkan matang-matang. Belum lagi faktor risiko kecelakaan reaktor nuklir yang tentu tidak main-main dampaknya.

Tentu hal-hal ini akan memperlambat upaya mencapai target bauran energi terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025, sebab fokus pemerintah akan tercerai berai. Apalagi RUU ini ditargetkan untuk selesai sebelum pelaksanaan KTT G-20 di Bali pada November mendatang.

Dalam upaya dekarbonisasi menuju Indonesia netral karbon, RUU EBET sebagai dasar hukum dirasa harus lebih fokus terhadap energi terbarukan sehingga dapat memaksimalkan investasi dalam optimalisasi energi terbarukan. Kemudian, regulasi pemberian insentif kepada para pengguna energi terbarukan juga harus diatur demi merangsang minat warga perseorangan maupun badan usaha untuk turut beralih energi.

Selain itu, untuk menunjang efektifitas dan efisiensi RUU EBET, komisi VII DPR RI selaku perumus UU harus turut mempertimbangkan saran ilmiah dan teknis dari para ahli sekaligus menampung aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan demi menunjang keadilan ekonomi dan sosial. 

Indonesia sebagai presidensi KTT G-20, harus sudah memiliki UU EBET yang praktis dan efisien dalam implementasinya dan dapat dibanggakan dari sisi substansinya. 

Baca Juga: G20 Indonesia Siap Hasilkan Platform Pendanaan Transisi Energi 

Verified Writer

Tamara Puspita Ayu

I write what i know & know what i write

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya