“Kekuatan-kekuatan asing yang tidak suka Indonesia kuat, tidak suka Indonesia kaya,” ujar Presiden Prabowo Subianto dalam sebuah pidatonya di awal Juni tahun ini, “Ratusan tahun mereka datang, ratusan tahun mereka adu domba kita, sampai sekarang. Dengan uang, mereka membiayai LSM-LSM untuk mengadu domba kita. Mereka katanya penegak demokrasi, HAM, kebebasan pers, padahal itu adalah versi mereka sendiri.”
Tak lama berselang setelah Presiden Prabowo Subianto menuding kekuatan asing yang tidak menyukai kejayaan Indonesia itu, salah satu menteri di dalam kabinetnya pun mengikuti jejaknya. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menuding, polemik tambang nikel yang merusak kekayaan alam Raja Ampat merupakan kampanye gelap pihak asing.
Berhamburannya jargon nasionalisme dari para pejabat kita, mengingatkan kita pada sebuah paham politik fasisme. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, fasisme adalah paham nasionalisme ekstrem yang menganjurkan pemerintahan otoriter. Indonesia pernah memiliki sejarah kelam hidup dalam fasisme Orde Baru. Benarkah, secara politik, kita sedang melangkah menjadi negara fasis?
Timo Duile, seorang peneliti politik dari Jerman, mengungkapkan bahwa fasisme dicirikan dengan upaya membangun musuh imajiner dari luar. Konsekuensinya, militer harus kuat dalam menjaga negara. Menguatnya militer dalam paham fasisme itu membawa konsekuensi pembungkaman terhadap suara-suara yang berbeda, terutama dari masyarakat sipil.
Sayangnya ciri-ciri menguatnya paham fasisme itu kini juga muncul di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, DPR dan pemerintah menyebut warga sipil tak punya kedudukan hukum untuk menggugat UU Nomor 3 Tahun 2025 atau UU TNI. Hampir bersamaan dengan itu, TNI juga dikabarkan akan mengusut pihak-pihak yang memberikan kritik terhadap pembahasan UU TNI yang tertutup dan kebijakan pemerintah lainnya dengan tagar #IndonesiaGelap. Sebelumnya, seorang penulis opini di sebuah media daring mencabut artikelnya. Penulis kolom opini itu mengaku mengalami teror dari orang tak dikenal setelah tulisan yang berisi kritik terhadap dominasi militer dalam jabatan sipil.
Hampir dalam waktu yang bersamaan, seorang menteri di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bersikeras menghapus sejarah kelam praktik fasisme di penghujung rejim Orde Baru. Sang menteri menyangkal adanya perkosaan massal di 1998. Penyangkalan itu indikasi untuk menormalisasi praktik keji fasisme di era Orde Baru. Normalisasi praktik keji fasisme di akhir-akhir kekuasaan Orde Baru itu adalah sebuah pembenaran untuk mengulangnya kembali. Apalagi di waktu yang hampir bersamaan muncul usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, mantan mertua Prabowo Subianto, yang juga penguasa di era Orde Baru selama 32 tahun.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah munculnya gejala fasisme di ranah politik ini juga didukung oleh model pembangunan di ranah ekonomi? Politik dan ekonomi adalah dua sisi mata uang. Keduanya bisa dibedakan namun tidak bisa dipisahkan. Gejala munculnya fasisme di ranah politik akan mati dengan sendirinya jika tidak ditopang oleh model pembangunan di ranah ekonomi. Sebaliknya, gejala fasisme di ranah politik akan menguat jika model pembangunan di ranah ekonomi mendukungnya.
Paham fasisme di ranah politik selalu terhubung dengan aktivitas di ranah ekonomi. Fasisme di ranah politik, sering kali dibiayai oleh segelintir pemilik modal untuk menyelamatkan kepentingannya dari gerakan masyarakat sipil, dari gerakan buruh, perempuan, petani, nelayan hingga lingkungan hidup.
Fasisme di era Orde Baru terkait erat dengan agenda pembangunan ekonomi yang didasarkan pada ekonomi ekstraktif. Pengertian ekstraktivisme/extractivism di ranah ekonomi ini adalah model pembangunan yang masih bertumpu pada sumber daya alam, model ekonomi yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam secara masif demi keuntungan jangka pendek, biasanya tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan atau kesejahteraan masyarakat lokal. Di era Orde Baru, ekstraktivisme ekonomi ditandai dengan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam.
Ekstraktivisme ekonomi rentan terhadap konflik sosial. Untuk meredamnya maka berbagai protes dari masyarakat harus dibungkam. Di era Orde Baru, kelompok masyarakat sipil, dari buruh, tani, nelayan dan aktivis lingkungan hidup yang menolak model pembangunan ekstraktif itu diberi label komunis. Label itu kemudian menjadi pembenaran terhadap pembungkaman suara-suara kritis, baik melalui cara kekerasan atau penundukan non kekerasan (hegemoni). Pertanyaannya kemudian adalah apakah saat ini model pembangunan Indonesia didasarkan pada model ekonomi ekstraktif?
Kebijakan pembangunan berbasiskan ekonomi ekstraktif di era pemerintahan Prabowo Subianto ini dibungkus dengan jargon-jargon nasionalisme. Hal itu tampak dari munculnya wacana swasembada pangan dan energi dalam berbagai pidatonya. Proyek-proyek swasembada pangan dan energi itu adalah proyek skala besar dengan melibatkan modal yang tidak kecil. Konsekuensinya, model pembangunan ekonomi ekstraktif ini selain hanya akan melibatkan segelintir elite ekonomi juga akan memperbesar risiko kerusakan alam. Dari titik inilah potensi konflik sosial berbasiskan sumber daya alam (SDA) bermula.
Salah satu proyek swasembada pangan itu adalah food estate. Proyek skala besar untuk swasembada pangan telah menyebabkan kerusakan alam sehingga menimbulkan konflik sosial berbasiskan SDA dengan masyarakat lokal.
Hal yang sama juga terjadi dalam swasembada energi. Dalam pidato pelantikannya menjadi Presiden Indonesia ke-8, Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa swasembada energi Indonesia berbasiskan biofuel, geotermal dan batu bara. Semua sumber energi berskala besar yang disebutkan dalam pidatonya itu rentan konflik berbasis SDA dengan masyarakat sekitar.
Biofuel berbasiskan singkong, tebu dan sawit hampir mirip dengan food estate. Sebuah proyek yang mengesampingkan realitas sosial dan ekologis masyarakat setempat. Alih fungsi hutan secara ugal-ugalan dan konflik agraria dengan masyarakat lokal dan adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari proyek-proyek skala besar itu.
Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang menjadi andalan ekonomi di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pun secara terang benderang merencanakan akan menggelontorkan uangnya di sektor ekonomi ekstraktif. Beberapa waktu yang lalu Danantara dan Indonesia Investment Authority (INA) menggandeng perusahaan tambang asal Prancis, Eramet, untuk menjajaki pembentukan platform investasi strategis di sektor nikel dari hulu hingga hilir. Sebelumnya, Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) akan didanai Danantara. (IDN Times. (2025, Maret 11). Apa itu proyek DME batu bara yang mau dibiayai Danantara?)
Hilirisasi nikel dan batu bara tidak bisa dilepaskan dari daya rusak tambangnya di sisi hulunya. Kerusakan lingkungan hidup dan konflik agraria adalah konsekuensi logis dari operasional tambang tersebut. Kerusakan alam dan konflik agraria itu menyisakan kemiskinan di masyarakat lokal.
Model pembangunan ekstraktif di ranah ekonomi adalah lahan subur bagi berkembangnya fasisme di ranah politik. Jika keduanya tumbuh bersama akan membahayakan bagi kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Saatnya para intelektual di kampus mengambil peran untuk menghentikan normalisasi bagi tumbuhnya gejala fasisme di ranah politik dan model pembangunan ekstraktif di ranah ekonomi.
Jika normalisasi atas keduanya terus dibiarkan, alih-alih mencapai Indonesia emas di 2045, Indonesia akan benar-benar bubar di 2030, persis seperti kritik Prabowo Subianto saat menjadi capres dulu. (Tempo. (2018, 23 Maret). Soal Pidato Indonesia Bubar pada 2030, Prabowo: Ini untuk kita waspada. Tempo.co.) Para intelektual kampus tidak perlu menunggu kemauan politik pemerintah untuk menghentikan normalisasi atas munculnya gejala fasisme di ranah politik dan model pembangunan ekstraktif di ranah ekonomi. Peran mereka, sebagai intelektual organik, sangat dinanti, di saat awan gelap semakin menyelimuti langit Indonesia.