Begini Rasanya Kerja di Rumah Sekaligus Momong Anak

#SatuTahunPandemik COVID-19

Hampir satu tahun pandemik COVID-19 melanda ibu pertiwi. Pikiran ini pun tiba-tiba melayang, satu tahun lalu tepatnya 17 Februari 2020 saat negara lain dilanda kepanikan wabah virus COVID-19, aku melangkahkan kaki ke gedung Eijkman. Tidak seperti biasa, aku terpaksa menggendong Rafif, putraku yang saat itu masih berusia 8 bulan menemani aku liputan.

Ya, aku terpaksa karena saat itu kepanikan juga menyergap di hatiku, meski pemerintah selalu klaim virus COVID-19 belum Indonesia, who knows?

Beruntung, Kepala Eijkman Prof Amin Soebandrio mengizinkan aku bawa bayi. Aku terpaksa wawancara berdiri karena sambil menggendong anak (duh gak sopan). Itu pertama kali aku liputan membawa bayi, sebelumnya masih di perut.

Saat itu, Prof Amin blak-blakan menanggapi kabar rahasia orang Indonesia kebal COVID-19 karena saat itu berbagai belahan dunia sudah dilanda virus COVID-19.

Namun tidak lama, pemerintah mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020, kepanikan langsung melanda masyarakat Indonesia. Panic buying pun terjadi, masker, hand sanitizer mendadak jadi primadona dan cepat lenyap. Jika ada harganya pun membuat mengelus dada, masker dari biasa harga Rp25 ribuan melonjak tajam capai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah.

Penularan virus yang semakin masif membuat angka penularan kasus tinggi. Dan, pada 15 Maret 2020, aku menerima email dari CEO tentang aturan work from home (WFH).

"Hi Timmy
Apa kabarnya? Seperti yang telah kita ketahui bersama, Virus Corona atau COVID-19 telah ditetapkan WHO menjadi sebuah Pandemic. Di Indonesia, per hari ini, kita juga melihat telah terjadinya 96 kasus Virus Corona. Meskipun tingkat kesembuhan dari Virus Corona ini terbilang tinggi, jumlah kasus Virus Corona diprediksi akan terus bertambah dalam beberapa saat ke depan," bunyi email dari Winston.

Awalnya senang, karena aku bisa dekat dengan anak-anak dan bisa melihat tumbuh kembang mereka. Namun tidak selama ini juga, hampir satu tahun

Pandemik ini membuat banyak momen, rencana yang terpaksa terlewatkan. Sebagai anak rantau, tiada saudara, dan kerabat, kerinduan dengan orangtua selalu menyergap terlebih saat wabah.

"Ibu Bapak bagaimana kabar, sehat-sehat selalu ya Pak Ibu, agar nanti bisa gendong Rafa dan Rafif," ucapku hampir tiap hari baik melalui pesan WhapsApp atau saat menelepon.

Ya, sampai saat ini orangtuaku belum bisa menggendong cucunya yang paling kecil. Mulai dari telungkup sampai saat ini dia berlari.

Pandemik tidak hanya membuat rasa cemas dan kerinduan pada sanak saudara terus melanda. Namun mengubah cara aku bekerja.

Sebagai jurnalis, aku seakan kehilangan roh saat diberlakukan working from home. Satu sisi aku bersyukur, media dan pimpinan tempat aku bekerja memperhatikan kesehatan karyawan, namun sisi lain ada sesuatu yang hilang.

Bekerja dari rumah pernah aku lakukan, namun tidak jangka waktu yang sangat panjang ini. Aku pikir enak jadi ibu bekerja sambil momong, tapi terkadang lebih membuat stres karena suami juga WFH, apalagi jika ada breaking news, anak- anak rewel rasanya mau pingsan saja atau teriak. STOP saya ingin nafas sebentar....

Walau demikian, aku tetap bersyukur aku dan keluarga kecil masih diberi kesehatan saat ada orang lain yang berjuang untuk sembuh, waktu bersama keluarga saat orang lain harus berpisah karena terjangkit, serta bekerja saat banyak orang lain di PHK.

Suatu saat, kisah ini akan jadi suatu cerita untuk anak cucuku kelak.
Aku yakin Indonesia akan sehat kembali.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Self-care Tak Pernah Tak Penting, Khususnya di Masa Pandemik COVID-19

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya