Dalam beberapa tahun terakhir, rezim Zionis telah menghadapi serangkaian krisis struktural, militer, demografi, dan internasional yang menyebabkan masa depannya menghadapi ketidakpastian yang serius. Pembahasan cermat terhadap krisis ini menunjukkan proses bertahap erosi internal rezim ini.
Krisis intrastruktural: Korupsi, rasisme internal, dan fragmentasi politik
Salah satu alasan terpenting ketidakstabilan rezim Zionis adalah krisis internal struktur kekuasaan. Korupsi keuangan dan politik yang meluas telah mengikis kepercayaan publik. Pejabat tinggi seperti Benjamin Netanyahu, dengan banyak kasus korupsi, telah memberikan gambaran kemerosotan moral dalam struktur penguasa. Selain korupsi, rasisme internal juga menjadi faktor signifikan dalam perpecahan internal.
Masyarakat Zionis terdiri dari berbagai kelompok etnis, tetapi supremasi Ashkenazim (Yahudi keturunan Eropa) atas Sephardim (Yahudi keturunan Timur) dan Falashes (Yahudi keturunan Afrika) telah menciptakan ketidakpuasan yang meluas. Perpecahan ini telah memicu krisis sosial dan politik serta mengancam kesatuan nasional.
Di sisi lain, fragmentasi politik yang parah dan ketidakefisienan sistem parlementer rezim Israel, dengan pemilihan umum yang silih berganti dan ketidakmampuan untuk membentuk pemerintahan yang stabil, menunjukkan ketidakstabilan kronis dalam struktur pemerintahan.
Kekalahan militer berulang kali menghadapi Poros Perlawanan
Dalam beberapa dekade terakhir, rezim Zionis belum mampu mencapai kemenangan yang meyakinkan melawan Poros Perlawanan (termasuk Hizbullah Lebanon, Hamas, dan Jihad Islam Palestina). Perang 33 hari dengan Hizbullah pada 2006, perang berulang di Gaza, terutama pada 2008, 2012, 2014, dan 2021, semuanya disertai dengan kerugian jiwa dan militer yang besar bagi rezim Zionis dan pada akhirnya menyebabkan kekalahan atau setidaknya kebuntuan strategis. Kekalahan-kekalahan ini tidak saja mempertanyakan kekuatan pencegahan tentara Israel, tetapi juga melemahkan moral sosial masyarakat Zionis dan merusak kepercayaan publik terhadap kekuatan militer.
Rezim Zionis menghadapi tantangan yang semakin besar terhadap legitimasinya secara internasional. Meningkatnya kesadaran global terhadap kejahatan Israel kepada rakyat Palestina, terutama setelah serangan besar-besaran terhadap Gaza dan Tepi Barat, telah memicu gelombang kecaman internasional.
Gerakan global seperti BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi) juga telah melemahkan posisi rezim di panggung global. Berulang kali diadopsinya resolusi-resolusi terhadap tindakan Israel di PBB, penentangan banyak negara terhadap permukiman ilegal, dan tidak adanya pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh banyak negara merupakan tanda-tanda krisis legitimasi ini.
Rezim Zionis, yang mendasarkan eksistensinya pada imigrasi orang-orang Yahudi dari seluruh dunia, telah menghadapi fenomena terbalik yang disebut "imigrasi terbalik" dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang Yahudi, terutama dari komunitas Rusia dan Eropa, telah berimigrasi dari wilayah pendudukan karena ketidakamanan, ekstremisme agama, dan kondisi ekonomi yang buruk.
Ketegangan rasial antara Ashkenazim dan Sephardim
Struktur sosial rezim Zionis sangat berbasis kelas dan ras. Ashkenazim, yang sering memegang posisi politik, militer, dan ekonomi yang sensitif, melakukan diskriminasi terhadap minoritas Yahudi lainnya, terutama Sephardim dan Falashes. Diskriminasi rasial ini tidak hanya melemahkan kohesi sosial, tetapi juga meningkatkan rasa ketidakadilan dan pengucilan di antara kelompok non-Ashkenazim.
Protes rakyat, konflik internal, dan bahkan beberapa gerakan sipil yang muncul dalam beberapa tahun terakhir berakar pada keluhan rasial ini. Secara keseluruhan, serangkaian faktor struktural, militer, internasional, demografi, dan ras telah berkumpul untuk menempatkan rezim Zionis dalam situasi yang rapuh. Faktor-faktor ini bukan sekadar ancaman eksternal, tetapi lebih merupakan krisis internal yang muncul dari dalam struktur rezim ini dan telah mengungkap tanda-tanda serius keruntuhannya secara bertahap.
Peran Republik Islam Iran dalam mendukung Palestina
Sejak berdiri, Republik Islam Iran telah menjadikan dukungan terhadap rakyat Palestina dan perlawanan menghadapi rezim Zionis sebagai salah satu prinsip fundamental kebijakan (politik) luar negeri dan wacana revolusionernya. Dukungan ini diberikan dalam berbagai dimensi politik, budaya, media, dan diplomatik dan telah menjadikan Iran sebagai pilar utama front perlawanan di kawasan.
Kebijakan luar negeri Republik Islam Iran, sejak masa Imam Khomeini (rahmatullah alaih) hingga saat ini, didasarkan pada pembelaan terhadap kaum tertindas, khususnya bangsa Palestina. Dengan kemenangan Revolusi Islam pada tahun 1979, doktrin kebijakan luar negeri Iran mengalami perubahan mendasar. Sejak hari-hari pertama revolusi, Imam Khomeini menyebut Palestina sebagai isu nomor satu di dunia Islam dan menyatakan, "Israel harus lenyap dari pentas waktu" dan "Quds harus dibebaskan."
Penutupan kedutaan Israel dan penyerahannya kepada Organisasi Pembebasan Palestina merupakan tindakan resmi pertama Republik Islam dalam mendukung Palestina. Selain itu, penamaan hari Jumat terakhir bulan Ramadan sebagai Hari Quds Internasional menyediakan platform penting untuk memobilisasi opini publik dunia melawan Zionisme.
Republik Islam Iran selalu menggunakan diplomasi publik untuk menjelaskan isu Palestina dan mengungkap sifat rezim Zionis. Diplomasi ini mencakup penyelenggaraan konferensi dan pertemuan internasional dalam rangka membela Palestina, mengundang para elit dan aktivis media dari negara-negara Islam, menciptakan jaringan budaya, media, dan akademis yang berporos pada perlawanan, serta mendirikan lembaga-lembaga seperti Forum Internasional Kebangkitan Islam, Pusat Studi Palestina, dan Komite untuk mendukung Intifada Palestina.
Langkah-langkah ini telah menjadikan Iran sebagai speaker di dunia Islam dalam mendukung rakyat Palestina dan menjadi model bagi negara-negara dalam memerangi pendudukan dan kolonialisme.
Secara keseluruhan, peran Republik Islam Iran dalam mendukung perlawanan tidak terbatas pada kebijakan luar negeri saja, tetapi merupakan bagian dari identitas dan strategi besar Revolusi Islam. Dengan kehadirannya yang efektif di bidang media, diplomatik, dan budaya, Iran telah mampu menjaga "isu Palestina" tetap hidup, mengubah perimbangan kekuatan di kawasan, dan memberikan teladan perlawanan, kegigihan dan martabat dalam menghadapi para penindas.