Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa yang Terjadi setelah Revolusi Iran?

bendera Iran dalam peringatan Revolusi Iran, pada 11 Februari 2016 (commons.wikimedia.org/Mohammad Akhlaghi)
bendera Iran dalam peringatan Revolusi Iran, pada 11 Februari 2016 (commons.wikimedia.org/Mohammad Akhlaghi)

Berkali-kali sejarah menunjukkan kepada kita kalau kebijakan pemerintah sering kali bertentangan dengan kebutuhan dan keinginan rakyat. Bahkan ketika demokrasi muncul pada abad ke-20, hal ini tidak menjamin kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat. Fakta justru mengungkapkan sebaliknya, ketika rakyat bersuara menolak kebijakan pemerintah.

Pemerintah terburuk dalam sejarah menghasilkan pemimpin-pemimpin pembunuh massal seperti Joseph Stalin dari Uni Soviet, Adolf Hitler dari Jerman, Mao Zedong dari China, dan Pol Pot dari Kamboja. Para tiran seperti itu muncul dengan mengagung-agungkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Namun, rezim yang tidak kejam pun masih membawa penderitaan, kesulitan hidup, dan tragedi bagi rakyatnya.

Demikian halnya dengan Iran, negara modern yang terjebak di antara dua kekuatan besar dunia: Rusia dan Inggris. Pada awal 1900-an, kekuatan imperialisme menimpa negara-negara seperti Iran dan Afghanistan. Adapun, Inggris dan Rusia, khususnya, pasang badan di wilayah Iran. Pada saat yang sama, pertikaian internal antara politisi, ulama, mahasiswa, dan banyak lagi membuat Iran di ambang kehancuran pada 1921.

Pada 1941, Dinasti Mohammad Reza Pahlavi berkuasa dan memodernisasi infrastruktur, pendidikan, dan norma sosial di Iran. Kemajuan terjadi secara besar-besaran dan Westernisasi terjadi dengan cepat. Namun, kaum konservatif Iran khawatir dengan masa depan bangsa mereka, hingga akhirnya mereka memberontak. Revolusi Islam di Iran pada 1979 membuat pembangunan negara tersebut terhenti selama beberapa dekade, dan rakyat pun menyambutnya dengan suka cita. Lalu, apa yang terjadi setelah Revolusi Iran?

1. Iran dimasuki budaya Barat dan menerima paham liberalisme

sampul majalah Iran, Zhan-e Rooz, pada Juni 1970 (commons.wikimedia.org/Zan-e Rooz)
sampul majalah Iran, Zhan-e Rooz, pada Juni 1970 (commons.wikimedia.org/Zan-e Rooz)

Pada era 70-an, Iran pada masa itu sangat berbeda dengan Iran saat ini. Majalah fashion Iran pada masa itu bahkan menampilkan perempuan-perempuan Iran dengan pose atau mengenakan pakaian seksi, yang tentunya sangat mustahil terjadi di negara Iran saat ini, yang peraturannya terbilang sangat ketat. Saat ini, perempuan Iran wajib mengenakan jilbab dan pakaian yang tertutup.

Nah, perubahan ini terjadi berkat Revolusi Islam di Iran. Pasalnya, sebagian besar masyarakat Iran sangat anti dengan Barat, yang masuk ke Iran sekitar 1977. Seperti pemimpin Turki Kemal Atatürk sebelumnya, Shah Iran yang merupakan lulusan sarjana dari Swiss, yaitu Mohammad Reza Pahlavi, ternyata sangat cinta dengan budaya Barat. Akibatnya, ia mengarahkan negaranya ke arah progresif, liberal, dan demokratis setelah berkuasa pada 1941.

Budaya Barat ini tentunya memengaruhi gaya hidup dan fashion perempuan di Iran. Tak hanya itu, perempuan Iran juga punya hak untuk menggugat cerai suaminya, mempertahankan hak asuh anak, mengejar pendidikan, memegang jabatan pemerintah dan posisi dalam bisnis, serta banyak lagi. Namun, cengkeraman kekuasaan Mohammad Reza Pahlavi bisa dibilang lemah, dan hal ini tidak bertahan lama.

2. Revolusi Islam di Iran merupakan pergeseran kekuasaan menuju kepemimpinan Syiah

Ayatollah Ruhollah Khomeini dan Sadegh Ghotbzadeh di aula Madrasah Alavi pada 2 Februari 1979 (commons.wikimedia.org/iichs.ir)
Ayatollah Ruhollah Khomeini dan Sadegh Ghotbzadeh di aula Madrasah Alavi pada 2 Februari 1979 (commons.wikimedia.org/iichs.ir)

25 tahun adalah waktu yang singkat bagi masyarakat Iran untuk mengalami perubahan secara cepat, yang persis terjadi di Iran pada pertengahan abad ke-20. Kaum tradisionalis Iran mempermasalahkan perubahan negara mereka selama pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi. Juga, mereka sangat terganggu dengan pakaian yang dikenakan perempuan Iran pada saat itu. Tak hanya itu, Shah Mohammad Reza Pahlavi bahkan melarang perempuan untuk mengenakan cadar.

Revolusi Islam di Iran sendiri ditanda oleh serangkaian kerusuhan, protes, dan pemberontakan yang terjadi dari 1977 hingga 1979, seperti yang dijelaskan oleh International Center on Nonviolent Conflict. Berbagai kelompok populis, termasuk kaum Marxis, kaum liberal yang menginginkan republik konstitusional penuh, dan mullah (ulama Islam) saling bersaing untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintah, yang pada saat itu merupakan monarki di bawah dinasti Mohammad Reza Pahlavi. Semua kelompok ini merasa bahwa mereka hidup di bawah kediktatoran. Mereka juga muak dengan korupsi yang dilakukan pemerintah dan kemewahan para pejabatnya.

Pada akhirnya, Shah Mohammad Reza Pahlavi melarikan diri dari Iran saat serangkaian demo dan pemberontakan mulai memanas. Lalu, pemimpin agama tingkat tinggi yang sebelumnya diasingkan, yaitu Ayatollah Ruhollah Khomeini, mengambil alih kekuasaan di Iran. Ayatollah Ruhollah Khomeini sendiri merupakan Muslim Syiah, bukan Muslim Sunni, yaitu kelompok minoritas Muslim yang berpegang teguh dengan kepercayaan mengenai garis keturunan nabi Muhammad SAW dan interpretasi Al-Qur'an.

3. Revolusi Islam di Iran membatasi hak-hak perempuan

ilustrasi perempuan-perempuan Iran (Mohammad Ali Marizad
ilustrasi perempuan-perempuan Iran (Mohammad Ali Marizad

Revolusi Islam di Iran pada 1979 mengubah kebijakan Iran sebagaimana kebijakan Iran pada 35 tahun yang lalu, yang lebih mengutamakan agama Islam. Namun, revolusi ini justru mengesampingkan hak-hak perempuan. Pada tahun-tahun setelah Revolusi Iran, perempuan tidak bisa lagi mengajukan perceraian, perempuan tidak bisa mempertahankan hak asuh anak, aktivitas perempuan juga sangat bergantung dengan izin suami mereka. Perempuan juga dilarang mengikuti 78 mata kuliah di universitas.

Namun, uniknya, setelah Revolusi Iran, tingkat literasi perempuan meroket dari 35,48 persen pada 1976 menjadi 74,2 persen pada 1996, dan hampir sama dengan laki-laki. Meskipun terjadi penurunan kualitas secara pendidikan di universitas dan pembatasan ketat yang diberlakukan pada mata kuliah yang tersedia bagi perempuan, Middle East Institute menunjukkan bahwa pada 2007, jumlah perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki di setiap jurusan universitas, seperti kedokteran, pertanian, humaniora, seni, dan banyak lagi.

Namun, perubahan dan peningkatan tersebut ternyata tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kebijakan publik dan pemerintah dari hasil Revolusi Islam di Iran. Seperti yang ditunjukkan oleh ketidakpuasan perempuan Iran akhir-akhir ini, peningkatan tersebut terjadi karena perempuan Iran muak dengan pembatasan sosial. Perempuan-perempuan Iran pun memutuskan untuk melawan dengan cara yang tidak biasa. Perempuan Iran juga lebih berani mengenakan jilbab yang lebih terbuka. Tren ini terjadi sejak 2005.

4. Revolusi Islam di Iran dinilai sangat ketat

jalanan di kota Mehran, Iran (commons.wikimedia.org/Mostafameraji)
jalanan di kota Mehran, Iran (commons.wikimedia.org/Mostafameraji)

2019 menjadi peringatan 40 tahun Revolusi Islam di Iran, sebuah revolusi yang membuat Iran dipenuhi dengan kontradiksi budaya yang membuat hubungan antara rakyat dan pemerintahnya menjadi tegang. Nama resmi Iran adalah Republik Islam Iran, sebuah nama yang mengacu pada ideologi agama Islam. Namun, kenyataannya jauh lebih keras ketimbang yang tersirat dalam penjelasan ini. PBS menjelaskan bahwa Iran adalah teokrasi diktator, lantaran hak-hak rakyatnya sangat dibatasi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum revolusi 1979.

Meskipun kepemimpinan Iran sangat anti-Barat, Migration Policy Institute mengatakan bahwa Amerika Serikat justru menjadi tujuan bagi para emigran Iran, diikuti oleh Kanada, Jerman, dan Inggris. Ada 23 persen dari rakyat Iran yang beremigrasi ke AS pada 2010.

Di samping itu, Iran berbeda dari negara-negara tetangganya dalam hal sejarah dan bahasa. Iran terdiri dari kelompok etnis berusia ribuan tahun yang berasal dari Kekaisaran Persia sekitar 550 SM. Itu kenapa rakyat Iran juga berbicara bahasa Persia, daripada bahasa Arab, seperti bahasa yang digunakan negara-negara tetangganya.

5. Kisah Mahsa Amini dan ketidaksukaan perempuan setelah Revolusi Iran

makam Mahsa Amini di pemakaman Aychi di Saqez (commons.wikimedia.org/Darafsh)
makam Mahsa Amini di pemakaman Aychi di Saqez (commons.wikimedia.org/Darafsh)

Kebencian yang membara selama puluhan tahun mencapai puncaknya pada 2022, karena meninggalnya seorang perempuan berusia 22 tahun yang mewakili perjuangan perempuan Iran, yaitu Mahsa Amini. Kejadian ini bermula pada 13 September 2022. Amini ditangkap oleh polisi moral Iran, karena dianggap tidak mematuhi peraturan berpakaian yang benar.

Polisi moral ini memang sering menangkap perempuan yang tidak mengenakan jilbab dengan benar, seperti rambut yang keluar dari jilbab, atau karena berjalan dengan lawan jenis (pacar). Amini meninggal dalam tahanan polisi, dan diduga menerima kekerasan fisik. Iran International melaporkan bahwa paru-paru Amini penuh dengan darah dan otaknya hancur karena pukulan di benda tumpul.

Kasusnya viral ketika foto-fotonya di ranjang rumah sakit tersebar di media sosial. Akibatnya, kerusuhan merajalela dan banyak perempuan Iran yang membakar jilbab, serta menggunting rambutnya. Tak hanya itu, warga Iran di seluruh dunia juga ikut serta dalam aksi demo ini.

Alih-alih sadar, pemerintah Iran malah bersikap lebih tegas. Pemerintah Iran membuat undang-undang bagi perempuan yang melepas jilbab di depan umum, yang akan dipenjara hingga 10 tahun. Selain itu, perempuan juga dilarang bekerja dan harta bendanya akan disita. Pemerintah Iran juga memasang kamera pengawas (CCTV) di tempat umum untuk mencari perempuan yang melanggar aturan tersebut.

Tak luput dari kontroversi, Revolusi Islam di Iran memang memberikan dampak positif untuk negara tersebut, seperti pemerintahan yang dilandasi dengan syariat Islam dan menjadi role model bagi gerakan Islamis di Timur Tengah. Namun, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat perempuan muda di Iran memberontak dengan kebijakan ketat pemerintah Iran yang membatasi hak-hak kaum perempuan. Lalu, bagaimana, nih, pandangan kamu tentang hal ini?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Amelia Solekha
EditorAmelia Solekha
Follow Us