[OPINI] Ketika KPK Dibiarkan Bekerja Sendiri

Tulisan ini ditujukan untuk rakyat Indonesia sebagai sentilan dan ajakan...

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara yang didirikan pada era Megawati Soekarnoputri dengan maksud dan tujuan untuk menghilangkan, memberanguskan segala bentuk dan praktik korupsi di tanah air.

Prof Yusril Ihza Mahendra yang sempat datang pada agenda rapat dengar pendapat pansus mengatakan bahwa KPK dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan darurat di Indonesia, yakni korupsi yang telah mendarah daging.

Kewenangan yang diberikan kepada KPK terkait koordinasi dan supervisi, termasuk di dalamnya melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan diharapkan dalam waktu singkat dapat menghasilkan sesuatu untuk negara ini.

Fungsi koordinasi dan supervisi yang tertera di dalam undang-undang, seringkali dilupakan oleh rakyat Indonesia. Bahwa sejatinya KPK tidak dapat bekerja sendiran, bahwa sejatinya KPK membutuhkan bantuan dari lembaga hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan, dan bahwa sejatinya yang terpenting KPK juga membutuhkan bantuan dari kita, rakyat Indonesia.

Tulisan ini ditujukan untuk kita semua seluruh rakyat Indonesia sebagai sentilan dan ajakan untuk ikut bersama-sama memberantas korupsi di negeri ini, tanpa bermaksud mendeskreditkan KPK sama sekali. Permasalahannya, selama ini rakyat Indonesia membebankan semua tugas pemberantasan korupsi ke punggung KPK.

Inilah yang terjadi pada bulan Juli kemarin, ketika DPR akhirnya mengetuk palu untuk membentuk panitia khusus Hak Angket KPK. DPR memutuskan untuk menggunakan satu haknya dalam rangka mengawasi dan mengevaluasi kinerja lembaga anti-rasuah di Indonesia. Lalu apa yang terjadi?

Kehebohan di mana-mana. Media-media mainstream secara bersamaan melakukan framing “DPR vs KPK”  yang dibumbui dengan kasus mega korupsi KTP Elektronik, mega korupsi yang melibatkan nama-nama besar di DPR, termasuk di dalamnya ketua umum lembaga tersebut, yaitu Setya Novanto.

Alhasil, rakyat Indonesia secara tidak sadar ikut di dalam kompetisi tersebut, mengambil sikap untuk melawan satu pihak. Tentu saja sebagian besar masyarakat merapatkan diri ke KPK, si penyelamat negeri ini.

Namun pertanyaannya kemudian, perlukah term versus digunakan? Perlukah rakyat merapat ke satu barisan? Untuk mengolok-olok salah satu pihak seakan hanya KPK yang berhak dan mampu menjadi penyelamat di negeri ini.

KPK dan DPR pun agaknya ikut larut di dalam pertempuran semu ini, ketika mereka sibuk mencari dukungan kesana kemari, seperti sedang berkontestasi di arena politik. Media sekali lagi memainkan peran besar dalam pembentukan opini publik. Media juga merupakan aktor utama yang bermain.

Keberpihakan mayoritas media mainstream kepada KPK membuat pertempuran semu ini pun menjadi tak seimbang. Istilah bad news is a good news berlaku di sini ketika media juga ikut bermain dan mengambil sikap untuk melawan satu pihak.

Mari kita lihat bagaimana media bekerja, memengaruhi opini Anda, membuat Anda menjadi petarung khususnya di media-media sosial milik Anda pribadi. Berkali-kali mengikuti rapat pansus secara langsung, berkali-kali pulalah argumen utama tulisan ini terbukti.

Media menjadi satu aktor yang memiliki pengaruh penting di dalam proses pengawasan dan evaluasi terhadap KPK oleh DPR. Rapat pansus hak angket KPK boleh saja berbicara mengenai topik A-Z, tetapi media kadangkala hanya memberitakan topik A, B, dan C saja.

Sulit tentu membayangkan hal ini, mengingat kebanyakan rakyat Indonesia tidak memiliki akses langsung untuk memantau secara penuh bagaimana jalannya kerja panitia angket di DPR. Satu contohnya dapat dilihat ketika Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus ahli hukum tata negara diundang oleh pansus untuk memberikan pendapatnya mengenai aspek legal-formal pembentukan pansus hak angket.

Media pada saat itu sibuk memberitakan pendapat kontra dari Mahfud MD tanpa melihat ada perdebatan apa di dalam rapat dengar pendapat tersebut. Perdebatan mengenai argumen Mahfud mengenai quasi yudikatif, fenomena kasus Century, dan yang lainnya dari sisi DPR sangat jarang diangkat dan diolah menjadi berita yang siap disajikan ke publik.

Jangan salah sangka, tulisan ini juga tidak bermaksud mendeskreditkan media sama sekali. Karena di dalam negara demokrasi media merupakan salah aktor penting, yang keberadaannya berbanding lurus dengan kemajuan pembangunan politik di negeri ini.

Lagipula agenda-setting, framing, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan media akan penonton atau pembaca sangat wajar adanya. Oleh karena itu rakyat Indonesia tidak boleh sepenuhnya membebek kepada media.

Rakyat harus bertanya-tanya di setiap headline yang mereka buat, melakukan double-crosscheck. Sehingga opini yang dibangun untuk kemudian disebarkan menjadi bermanfaat bagi semua orang. Perdebatan yang ada pun akan memiliki esensi.

Jika meminjam konsep Hegel, perdebatan akan mencapai sintesis yang berasal dari perbedaan-perbedaan pandangan masing-masing pihak. Kuncinya, jangan sekali-kali menutup pintu dialog untuk argumen lain dan jangan biarkan prasangka mengalahkan logika.

Mendukung setiap langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK memang sebuah kewajiban, tetapi bukan berarti rakyat lepas tangan, menyerahkan seluruh beban itu ke satu lembaga negara bernama KPK.

Mendukung setiap langkah KPK juga bukan berarti rakyat berhenti kritis dan bertanya-tanya, bukan berarti rakyat mengangguk saja ketika ada suatu ketidakberesan di dalam proses pemberantasan korupsi tersebut. Ketahuilah bahwa ketidakberesan, kecacatan, dan ketidaksempurnaan, pasti selalu ada. Apa lagi KPK adalah lembaga negara yang di isi oleh manusia, manusia yang tentunya tidak luput dari kesalahan.

Sekali lagi, tanpa bermaksud untuk memojokkan KPK, tulisan ini ingin mengajak anak muda, orang tua, laki-laki, dan perempuan seluruh rakyat Indonesia untuk mau menerima bahwa mengkritisi KPK bukan berarti memusuhki KPK.

Jika tindakan kritis yang berujung pada evaluasi terus menerus diartikan sebagai musuh, percayalah kita akan jalan di tempat, tidak akan ke mana-mana.

Ismi Nabila Photo Writer Ismi Nabila

21 Tahun - Mahasiswa S1 Ilmu Politik, Universitas Indonesia

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya