Impian Menyatukan Negara-Negara Eropa Terus Hidup

Siapa tahu ada upaya buat Inggris untuk kembali masuk UE

Belum lama kita mendengar berita duka tentang meninggalkan Jacque Delores, pemimpin kenamaan Uni Eropa, dalam usia 98 tahun. Sebagai pemimpin UE yang kuat, Jacque Delores menjabat sebagai President European Commission di Brussels, 1985-1995. Ia dikenal sebagai penggagas dan pendukung kuat diberlakukannya Euro sebagai mata uang bersama Eropa yang diresmikan lewat Maastricht Treaty tahun 1993. Maastricht Treaty sendiri merupakan gagasan dan bentukan dari Horst Kohler, Helmut Kohl, dan Francois Mitterrand.

Uni Eropa awalnya 6 negara, yang melalui Treaty of Rome 1957 resmi menjadi Uni Eropa (UE), dan berkembang menjadi 27 sebelum diresmikannya Brexit 2020 dan keluarnya United Kingdom. Dari seluruh anggotanya, sebanyak 19 telah menggunakan Euro sebagai mata uang bersama antar mereka untuk penyelesaian transaksi perdagangan dan keuangan.

UE dimulai dengan 6 negara yang melahirkan Treaty of Rome 1957, yaitu, Netherland (Belanda), Belgium (Belgia), Perancis, Italy, Luxemburg dan Jerman Barat. Sebagai disinggung di atas, dalam perjalanannya jumlah ini terus berkembang menjadi 27 sebelum UK keluar pada tahun 2020 yang lalu, dengan 19 di antara mereka menerima Euro sebagai mata uang bersama. Pada waktu Eropa kehilangan tokoh sekaliber Jacque Delores sepantasnya semua kembali mengingat sejarah pembentukan EU ini agar tidak terlupakan. Sekaligus ini merupakan penghormatan dan ucapan terima kasih kepada Jacque Delores, pahlawan UE.

Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan para pemimpin Eropa menganut aliran kanan dalam politik, yang tentu menjadi keprihatinan negara-negara lain. UE sudah cukup lama mempunyai Presiden Victor Urban dari Hungaria, Erdogan dari Turki, dan akhir-akhir ini bertambah dengan Geert Wilders dari Netherland, mungkin setelah President Macron habis masa jabatan akan diganti Marine le Pen, dan di Asia PM Narendra Modi semakin kuat. Semua ini akan membuat dunia semakin antiimigrasi, antiagama orang lain (di Eropa anti Islam), antiglobalisasi, gampang terpancing melakukann perang dagang, dan sebagainya. Lebih lanjut ini akan menghalangi pertumbuhan ekonomi dan upaya pemerataan di mana-mana. Hilanglah tokoh moderat seperti Angela Merkel dengan segala implikasinya.

Dalam pada itu, perkembangan di Timur Tengah juga tidak menggembirakan. PM Netanyahu dan anggota kabinetnya seperti tidak berminat bicara tentang genjatan senjata, bahkan pertukaran sandera yang selama ini ditolong Qatar. AS tetap mendukung Israel, jadi sikap kaku ini jelas akan berjalan lama, sebagaimana yang mereka selalu tekankan, perang tidak selesai sebelum mereka menghabisi Hamas sama sekali. Bahwa sampai sekarang sudah ada 22.000 orang sipil Palistina meninggal, rupanya belum memuaskan mereka.

Dalam hal ini pemerintahan Presiden Ramaphosa dari Afrika Selatan telah mengajukan PM Netanyahu untuk diajukan ke Mahkamah International di Den Haag karena telah melakukan pelanggaran perang, pembunuhan terhadap penduduk sipil. Tidak jelas apakah ini akan berhasil, sebab negara besar seperti AS sampai sekarang belum mendukung
Mahkamah Internasional Den Haag, lantaran takut diungkit masalah peran mereka di Vietnam tahun enam puluhan lalu.

Di luar ini, Iran mulai lagi dengan mengobarkan semangat menuduh Israel yang melancarkan penyerangan yang menyebabkan kematian deputy Hamas, di mana Presiden Iran, Ibrahim Rahisi, mengatakan, Israel harus membayar
kematian pemimpin Hamas ini.

Perkembangan Ukraina juga bertambah gawat. Serangan Russia musin dingin semakin gencar menekan Ukraina. Presiden Putin tampak semakin ingin mencapai tujuan utamanya mencaplok Ukraina sebagaimana dilakukan terhadap Crimea 2013 yang lalu, dijadikan wilayahnya menjadi mini-Uni Soviet.

Kembali kepada topik kita semula, Presiden Komisi UE saat ini Ursula von der Leyen melanjutkan upaya menyatukan UE seperti dalam sikap UE mendukung Ukraina dan melancarkan sanksi ekonomi terhadap Rusia yang telah melakukan penyerangan terhadap Ukraina sejak Februari 2021 as well as reproachment terhadap China.

Mengenai Brexit, menurut pendapat saya, saat ini tampak ada upaya menilai kembali kebijakan keluar dari UE ini, dengan menempatkan David Cameron, yang dulu membuat referendum yang menghasilkan Brexit, sekarang menjadi Menlu Inggris. Siapa tahu akan ada upaya buat Inggris untuk kembali masuk UE setelah merasakan tidak enaknya menjadi negara Eropa yang berdiri sendiri di luar UE. Sebelum saya akhiri, keahlian diplomasi Jacque Delores disejajarkan dengan Henry Kissinger yang juga belum lama meninggal dunia dalam usia 100 tahun.

Dalam pada itu di seberang Atlantic, berita yang berkembang, pengadilan di negara bagian Maine, menjatuhkan keputusan untuk mengeluarkan mantan Presiden Donald Trump dari keikutsertaannya dalam Primary Convention Partai Republic. Jadi sudah ada dua negara bagian, Colorado dan Maine yang mencoret nama Trump dari keikutsertaan dalam pemilihan. Anehnya, dia tetap saja menjadi pilihn favorit Partai Republik.

Sebentar lagi akan ada debat capres Parti Republik di Iowa, dan Nikki Haley yang paling dekat dengan Trump telah menggenjot pengeluaran untuk kampanye lebih dari yang lain untuk mengalahkan Trump. Yang lain masih membuntuti, Gubernur Florida Ron DeSantis, mantan Gubernur New Jersey Chris Christie, billionaire IT muda Vivek Ramaswamy, dan mantan Gubernur Arkansas Asa Hutchinson. Di Partai Demokrat Presiden Biden tampaknya tetap tidak ada yang melawan. Kita tidak mendengar lagi apakah Senator West Virginia Joe Manchin masih akan maju dengan Partai Independent, tidak tahu. Kalau tetap juga hanya akan jadi pengganggu yang mengurangi pemilih Biden, seperti di waktu dulu pemimpin advokasi konsumen Raalp Nader yang maju hanya jadi “fun spoiler” saja, meladeni egonya.

Akhirnya, tidak ada berita baru dari China, selain pergantian Menhan Dong Jun, menggantikan yang sebelumnya, Commander Li Shanfu, yang hilang tanpa diketahui kemana rimbanya, dan juga tidak mengherankan. (Drajad, 05/01/2024).

Guru Besar Ekonomi Emeritus, FEBUI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapura.

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya