Konflik Timur Tengah Menelan Korban Dunia Akademi

AS tidak peduli korban jiwa berjatuhan di Palestina

Peperangan di Timur Tengah akibat serangan balasan tentara Israel terhadap  Hamas di tanggal 7 Oktober lalu yang sudah menelan korban sebanyak 18.200 jiwa anak-anak, wanita, dan orang tua warga Palestina , menimbulkan banyak protes di sejumlah kampus di Amerika Serikat.

Kongres AS memanggil sejumlah Presiden Universitas, dan ahli sejarah Yahudi dan Timur Tengah. Mereka adalah Dr Claudine Gay dari Harvard University, Liz Magill dari University of Pensylvannia, Dr Saly Kornbluth dari MIT, dan Dr Pamela Nadell, ahli sejarah dan Yahudi dari American University. Tentu tidak disengaja, namun kebetulan semua adalah akademia  perempuan.

Dalam tanya jawab antara seorang Congressman dengan Dr Liz Magill, pada waktu penanya meminta jawaban ya atau tidak saja, layaknya seorang guru besar, Dr Magill menjelaskan secara panjang lebar. Hal ini oleh sementara pihak dianggap upaya bu guru besar ini menutupi pendapat dia yang sebenarnya (artinya ada yang curiga beliau ini anti Yahudi).

Dalam sidang ini juga dibagikan hasil polling dari Anti-Defamation League dan Hillel Foundation yang menyebutkan bahwa rasa aman mahasiswa-mahasiswi Yahudi di kampus-kapus menurun selama konflik ini. Malangnya, yang berpendapat demikian termasuk pendonor universitas ini yang tidak kecil, sebesar USDF 100 juta, dan dia meminta agar Dr Magil mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai Presiden Universitas. Karena itu Dr Magill terpaksa menyerahkan mandatnya, dan buat pengelola University of Pensylvannia mereka lebih memilih kehilangan pesidennya daripada dana sebanyak itu.

Buat saya, seorang yang berkecimpung di dunia akademi, ini benar-benar tindakan melanggar keadilan buat Dr Magill. Sekiranya saya di tempat beliau saya jelas akan melakukan hal yang sama, memberi penjelasan yang gamblang untuk mempertahankan kebebasan mimbar yang merupakan sine qua non buat kehidupan akademi kampus, dan jelas dilindungi konstitusi.

Lalu apa salahnya, mengapa beliau harus mundur? Buat Amerika, ini memang merupakan peristiwa sangat memalukan, apalagi yang baru saja berperilaku hipokrit dalam permasalahan ini. Belum lama sebelum peristiwa ini, Menlu Anthony Blinken mengingatkan PM Netanyahu bahwa korban sipil sudah terlalu banyak, agar berhati-hati dalam menyerang Gaza Selatan. Tetapi apa, lacur, tidak lama kemudian dalam sidang Dewan Keamanan PBB, Duta Besar Robert Wood dari AS dengan tegas mengacungkan tangan kanannya waktu ada resolusi Dewan untuk adanya gencatan senjata dengan segera.

Ini artinya, sebenarnya AS tidak peduli akan adanya tambahan anak-anak, wanita, dan orang tua warga Palestina yang jelas akan mati dengan serangan Israel. Pemerintah AS juga tanpa minta izin Congress mengirim tambahan tank dan amunisi, termasuk bom yang daya rusaknya terhadap terowongan-terowongan bawah tanah Hamas sangat kuat. Jelas protes di kampus-kampus akan lebih meluas lagi, tidak hanya di AS tetapi secara global. Para mahasiswa dan kaum muda utamanya jelas terusik perasaan mereka melihat pembantaian orang-orang tak berdaya dan tanpa perlindungan ini.

Dunia sedang berkabung, karena gencatan senjata dan perdamaian di Timur Tengah, bak dibuang begitu saja. Bukan itu saja, bantuan kepada Ukraina dari AS dan Sekutu semua sedang mengalami jalan buntu di Lembaga legislatif AS dan EU. Ini tentu menjadi kegembiraan Presiden Putin yang telah menumpuk persenjataan dan logistik buat penyerangan di musim dingin.

Presiden Putin ingin mengusahakan tercapainya tujuan awal, memasukkan Ukraina di bawah kewenangannya seperi yang telah dilakukan terhadap Crime di tahun 2003, semua dalam rangka membangun kembali Uni Soviet, meski sekecil apapun. Di Perancis masa tugas Presiden Emmanuel Macron akan segera berakhir, dan nampaknya golongan ekstrem kanan akan mampu mendudukkan pemimpin mereka, Marine le Pen menjadi Presiden Perancis, menggantikan Presiden Macron.

Di India baru saja terjadi bahwa seorang legislator wanita, Mohia Motra, pengritik keras PM Narendra Modi dan billionaire pendukungnya, Andani, dikeluarkan dari Lok Sabha. Ya begitulah kecenderungan geopolitik untuk condong ke kanan. Semoga hal ini tidak akan terjadi di Republik tercinta kita dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden tahun 2024 ini.  Mari kita gunakan hak konstitusi kita secara benar, tidak terpengaruh oleh kecenderungan global. Indonesia yang tidak kekiri, tidak kekanan, tetapi lurus di jalan tengah mempersiapkan kejajaan Indonesia Emas. (Dradjad, 14/12/2023).

Guru Besar Ekonomi Emeritus, FEBUI, Jakarta, dan Guru Bedar Tamu Ekonomi Internasional, S. Eajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapura.

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya