Secercah Harapan Buat Perdamaian di Timur Tengah

Yang bisa menghalangi hanya anggota Kabinet Perang Israel

Intinya Sih...

  • Perdana Menteri Netanyahu menunda serangan terhadap daerah Rafah.
  • Pemerintah AS, Qatar, dan Mesir mendorong negosiasi pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas.

Setia pada berita biar sekelumit mengenai adanya kemungkinan perdamaian di suatu
tempat yang sedang terjadi konflik senjata, apalagi untuk Timur Tengah yang sangat lama
terus menerus dalam pergolakan senjata, saya selalu menyambutnya dengan antusiasme
dengan harapan baru. Saya tidak peduli kalau ini suatu mimpi, kalau mengatakan demikian diterima sebagai suatu hal yang lumrah. Rasanya kali ini memang akan menjadi suatu kenyataan.

Perdana Menteri Netanyahu menunjukkan gelagat sedikit melunak kali ini. Dia mengatakan menunda serangan terhadap daerah Rafah, tempat penyeberangan
berbatasan dengan Mesir, dengan harapan akan memperoleh pelepasan dari sejumlah orang sipil dan tantara Israel yang luka. Sampai saat ini mereka masih berada di dalam tahanan Israel dalam rangka pertukaran orang-orang yang disandera kedua belah pihak, Israel dan Hamas. Diberitakan bahwa dalam hal ini pihak Pemerintah AS, Qatar dan Mesir sangat aktif mendorong dan memfasilitasi terjadinya negosiasi pertukaran tahanan tersebut.

Kini yang bisa menghalangi hanyalah para anggota Kabinet Perang Israel, seperti Menkeu
Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Itamar Ben-Gvir, serta pendukung
mereka dari sayap kanan yang sangat konservatif. Mereka ini terus mendesak Perdana
Menteri Netanyahu agar tetap memegang sumpah awalnya bahwa mereka akan tetap
menyerang dan menghabisi Hamas sampai benar-benar habis semua.

Mereka mengatakan, kalau tidak sebaiknya Perdana Menteri Netanyahu menyerahkan kepemimpinannya dan berhenti sebagai PM. Ya, bagaimana pun saya tetap melihat hal tersebut sebagai harapan baru. Walaupun hanya secercah buat terjadinya genjatan senjata dan perdamaian, di mana orang-orang Israel akan dapat bermukin di Westbank bertetangga dengan orang Palestina untuk bersama-sama membangun kembali wilayah mereka yang hancur berantakan karena perang sejak Oktober 2021, dimulai dengan serangan Hamas dan kemudian serangan balik bertubi-tubi tantara Israel sampai akhir-akhir ini. Singkatnya, saya berharap bahwa apa yang terjadi dengan penundaan serangan di Rafah ini akan terus belanjut menjadi kesepakatan gencatan senjata yang diikuti perdamaian.

Kalau dilihat kembali apa yang terjadi dalam pertikaian ini, rasanya sulit bagi saya
menyelami apa yang diinginkan oleh sayap kanan pemerintahan Israel ini. Oke, Hamas
membuat kesalahan dengan melancarkan serangan ke tentara Israel pada 7 Oktober 2023 yang menyebabkan terbunuhnya 1.200 orang Israel. Ini suatu serangan yang lebih buruk buat Israel dibandingkan di tahun enam puluhan waktu pemerintahan Perdana Menteri Golda Meier, 6 Oktober 1973, dikenal sebagai Yom Kippur War karena serangan Palestina ini dilakukan waktu hari raya Yom Kippur di mana semua orang Yahudi merayakan.

Ini telah menimbulkan krisis pada pemerintahan Golda Meier dan kemudian digantikan PM Yitzhak Rabin. Sejak erangan 7 Oktober Israel membentuk Kabinet Perang dan mulai melancarkan serangan balik ke Gaza dan juga jalur Rafah dari Mesir tempat penyeberangan segala aliran barang-barang bantuan kemanusiaan yang diorganisasikan PBB untuk orang Palestina di Gaza.

Sampai kini sudah 34.000 orang Palestina terbunuh, tidak hanya mereka yang anggota Hamas, tetapi banyak penduduk sipil, anak-anak, Perempuan dan orang tua yang mengungsi ke daerah sekitar. Dari 2,3 juta penduduk, 1,7 juta tersebar dalam pengungsian.
Tetapi mereka sangat mudah terbunuh, atau karena kelaparan dan kehausan atau karena
serangan Israel. Berapa penduduk tidak berdosa Palestina harus mati sehingga Pemerintah Palestina siap menghentikan serangan yang tak ubahnya seperti Tindakan genocide ini?

Saya tidak habis pikir tetap tidak mengerti jalan pikiran mereka ini. Pemerintah AS bersama Qatar dan Mesir terus meminta agar Israel menahan diri sambil mengingatkan bahwa musuh Israel adalah Iran. Tetapi mereka yang berhaluan ektrem kanan terus mendesak agar pemerintah Israel tetap pada janjinya, meneruskan penyerangan sampai Hamas benar-benar hilang dari muka bumi. Susah mengikuti jalan pikiran yang tampaknya sudah dicampakkan ke tanah, diganti dengan angkara murka membuat perhitungan dengan Hamas sampai mereka benar-benar habis.

Sekiranya PM Netanyahu sesuai dengan sikapnya yang melunak, memperhatikan
keselamatan orang-orang Israel yang ditahan Hamas, pemerintah AS seyogyanya terus mendesak agar Israel benar-benar menghentikan semua serangan ke Gaza maupun Rafah dan menindaklanjuti semua ini dengan merundingkan perdamaian, menghentikan semua
serangan dan serangan balik. Ini memerlukan komitmen dari AS dan sekutunya agar diikuti Israel. Lebih jauh, kalau Israel memilih meneruskan serang-serangannya, pemerintah AS dan sekutunya sudah saatnya mengikuti langkah Afrika Selatan yang sudah didukung pemerintah RI, mengajukan PM Netanyahu ke Mahkamah Internasional di Den Haag.

Mungkin hanya dengan jalan demikian, perdamaian di Timur Tengah akan tercapai. Yang jelas dari angka kematian ada di kedua belah pihak seperti disajikan di atas,  orang Israel sebanyak 1.200 dan orang Palestina sebanyak 34.000. Memang ini tidak realistis, tetapi buat saya keduanya sama-sama punya hak hidup, mengapa mereka harus mati lebih lagi untuk mengimbangi kematian orang Israel. Penalaran apapun tidak bisa menemukan jawaban yang bisa diterima, kecuali oleh mereka yang sudah melupakan akal sehat. Dradjad, 02/05/2024.

Guru Besar Emeritus FEBUI, Jakarta dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore.

Baca Juga: Tanpa Solusi Jelas Nasib Ukraina, Negara-Negara Baltik Merasa Terancam

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya