#BreakTheBias, Laki-Laki dan Perempuan Ibarat Sayap Seekor Burung

International Women’s Day 2022

‘Laki-laki dan perempuan adalah dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali’. (Soekarno)

Kutipan dari Bung Karno, Bapak Proklamator RI, hingga kini masih relevan. Perempuan dan laki-laki semestinya memiliki kedudukan yang setara, mulai dari skala rumah tangga sampai ke pembangunan negara. Namun realitanya hingga kini masih terjadi bias gender di berbagai belahan dunia. Tak heran #BreakTheBias menjadi tema peringatan International Women’s Day 2022. Tagar #BreakTheBias pun telah menghiasi laman media sosial.

Hingga tulisan ini dibuat pada 2 Maret 2022 terdapat sekitar 20 ribu kiriman dengan tagar tersebut di Instagram. Ini menunjukkan partisipasi dan dukungan kepada perempuan agar tak lagi mengalami bias gender. Bias gender sendiri menurut Koalisi Perempuan bermakna pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya sebagai akibat pengaturan dan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada jenis kelamin tertentu, misalnya lebih berpihak kepada laki-laki daripada kepada perempuan atau sebaliknya. Sistem patriarki membentuk pandangan laki-laki lebih superior dan kompeten dibandingkan perempuan.

Salah satu upaya #BreakTheBias telah dilakukan oleh Kemenlu. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengungkapkan dunia diplomat kerap dipandang sebagai dunia laki-laki. Pada masa lalu perempuan diplomat adalah minoritas, jumlahnya hanya sekitar 10 persen. Saat menikah dengan sesama diplomat, perempuan kerap mengalah dan mengundurkan diri karena kebijakan yang berlaku saat itu.

Retno Marsudi saat Ngobrol Seru IDN Times pada 6 Maret 2021 lalu menjelaskan, Kemenlu mengubah tradisi tersebut dengan kebijakan afirmatif. Jadi, jika menikah dengan sesama diplomat tidak ada lagi keharusan salah satu harus mengundurkan diri. Saat ini jumlah diplomat perempuan di Kemenlu hampir sebanding dengan laki-laki.

Ia juga mengatakan, penting adanya kebijakan afirmatif sehingga enabling environment, tercipta lingkungan yang membuat perempuan dapat berkontribusi. “Banyak sekali kebijakan kita itu tadi saya ambil beberapa, tetapi kebijakan seperti mainstreaming gender sudah otomatis masuk di dalam kebijakan Kementerian Luar Negeri,” kata Retno, di acara IWD 2021 yang digelar bekerjasama dengan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI).

Kemenlu menjadi contoh lembaga yang memberikan dukungan untuk perempuan. Namun, hal yang sama belum terjadi dalam lingkup kerja media. Banyak jurnalis perempuan yang hanya mendapatkan jatah liputan berita ringan (soft news) karena dianggap lemah, kurang pengetahuan dan tidak kompeten. Selain itu, perempuan juga jarang memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin di media.  

Jurnalis perempuan pun mesti terus meningkatkan kompetensi dan kualitas diri melalui berbagai cara. Salah satunya bergabung dengan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia yang merupakan wadah berkumpulnya para jurnalis perempuan. Berbagai pelatihan, seminar, webinar terus digelar FJPI agar para anggotanya menjadi jurnalis perempuan yang mumpuni. Saya sendiri juga mendapatkan banyak manfaat dari FJPI. Tak hanya meningkatkan kemampuan jurnalistik, tetapi juga dalam berorganisasi. Saya juga kerap mengikuti acara atau forum internasional yang membuka wawasan dan pengalaman yang berharga.

Sudah waktunya kita #BreakTheBias baik di rumah, sekolah atau kampus, komunitas, tempat kerja, dan lingkungan. Dobrak bias gender dan berikan dukungan untuk perempuan secara sosial, ekonomi, budaya dan politik.

Bagaimana cara mendukung gerakan ini? Setidaknya, mulailah dari dirimu dengan hal kecil yang bisa kamu lakukan untuk membantu mewujudkan dunia yang setara, bebas bias gender, stereotype, dan diskriminasi perempuan. Happy International Women’s Day!

Mela Hapsari adalah kontributor IDN Times

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya