[OPINI] Tragisnya Standar Ganda Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Demo boleh, diskusi dilarang. Logika?

Jelang demonstrasi 4 November oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI yang dilaksanakan besok Jumat, pihak Polri dan TNI semakin bersiap diri untuk mengantisipasi apapun yang akan terjadi esok di ibukota. Berdasarkan laporan terakhir, ada 5.000 personil gabungan yang diturunkan oleh Polri, TNI dan Satpol PP pada hari Rabu kemarin untuk berjaga-jaga di area Monas. Mereka adalah bagian dari 18.000 personil yang disiapkan untuk mengawal demo 4 November.

Ada yang menyebut bahwa demo yang ditujukan untuk meminta negara menangkap Ahok atas dugaan penistaan agama akan diikuti oleh 50 ribu massa. Mereka datang dari berbagai daerah. Dilansir Tempo pagi ini (3/11), sudah ada beberapa massa dari luar Jakarta yang mendatangi Masjid Istiqlal.

Protokol Masjid Istiqlal, Abu Hurairah Abdul Salam memperkirakan angkanya belum mencapai seribu orang. Pihaknya mempersilakan para massa demo untuk beristirahat di masjid tersebut dengan alasan toleransi bahwa mereka telah datang jauh-jauh dari daerah dengan modal semangat tinggi tanpa tempat tinggal dan uang pas-pasan.

Demonstrasi itu adalah bentuk kebebasan berpendapat.

[OPINI] Tragisnya Standar Ganda Kebebasan Berpendapat di IndonesiaTEMPO/Dasril Roszandi

Melalui Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, Presiden Jokowi menyatakan bahwa demonstrasi adalah hak demokratis warga dan negara menjamin warganya bisa menyampaikan pendapat. Meski demikian, negara tetap mengutamakan ketertiban umum dan meminta aparat keamanan bersiaga jika ada tindakan anarkis yang dilakukan oleh siapapun.

Pasal 28 UUD 1945 juga menjamin masyarakat Indonesia untuk menjalankan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Ini berarti hukum pun melindungi demonstrasi yang dilakukan anggota masyarakat terkait dengan isu apapun yang menjadi kegelisahan mereka.

Baca Juga: [OPINI] Aku Warga Jakarta dan Aku Bertanya, "Kenapa Harus Ada Demo Besar?"​

Polri menurunkan anggota Brimob bersorban.

[OPINI] Tragisnya Standar Ganda Kebebasan Berpendapat di Indonesianews.okezone.com

Pemberitaan yang sangat besar ditambah dengan adanya komentar-komentar dari tokoh-tokoh besar seperti mantan presiden SBY dan Ketua Umum Partai Gerindra mununjukkan besarnya skala perhatian yang tertuju pada demonstrasi yang akan dipimpin oleh Juru Bicara FPI, Munarman, tersebut.

Hal yang tidak kalah mengejutkan adalah bagaimana pihak berwajib merespon demonstrasi tersebut. Dikutip dari Liputan 6, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Agus Rianto, menyatakan bahwa satuan Brimob yang diturunkan besok akan memakai sorban.

Dia beralasan pihaknya ingin mengingatkan bahwa mereka (Polri dan demonstran) adalah sama. Lebih lanjut Agus menjelaskan itu merupakan cara Polri meredam kemungkinan adanya aksi anarkistis: dengan memperlihatkan adanya petugas Muslim di kepolisian. Pemanasan menjelang eksekusi rencana tersebut tampaknya sudah dilaksanakan pada saat apel Kesiap-siagaan Pengamanan Tahap Kampanye di Silang Monas pada Rabu (2/11) lalu. Pada acara tersebut terlihat sejumlah anggota Brimob yang memakai seragam dinas yang dilengkapi peci dan sorban berwarna putih.

Terdapat standar ganda dalam implementasi kebebasan berpendapat di Indonesia.

[OPINI] Tragisnya Standar Ganda Kebebasan Berpendapat di Indonesiabbc.com

Posisi saya sejak awal sudah jelas. Demonstrasi itu sah-sah saja. Meski secara pribadi saya merasa ada kalanya kita menjadi sangat reaksioner dan berkulit tipis atas satu persoalan tertentu dan cenderung mengikuti egoisme sesaat, tapi saya menilai FPI dan siapapun berhak untuk melakukan unjuk rasa berkenaan dengan isu yang mereka anggap perlu lebih disuarakan. Namun, kita harus bersikap adil dan tidak menggunakan alasan kebebasan berpendapat hanya saat itu sejalan dengan kepentingan kita maupun golongan-golongan tertentu.

Hal yang membuat saya resah adalah bagaimana beberapa pihak merayakan demonstrasi 4 November sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Kenapa demikian? Ini bukan perkara tuntutan mereka semata. Ini berhubungan dengan BAGAIMANA mereka menuntut. Dalam kolom opini saya sebelumnya, saya sempat sebutkan bagaimana Rizieq Shihab secara verbal mengeluarkan ancaman pembunuhan terhadap salah satu warga negara Indonesia, Ahok. Saya juga paparkan tentang poster-provokatif yang ia unggah di situs pribadinya.

Jika yang demikian dilindungi oleh negara, mengapa tidak memberi perlakuan yang sama terhadap diskusi-diskusi yang dilakukan di masyarakat? Dalam satu tahun ini saja sudah ada beberapa kasus yang mencerminkan adanya standar ganda dalam kebebasan berpendapat di dalam negeri. Misalnya:

- Kamis, 2 Februari 2016, aparat pemerintah kecamatan Banguntapan, Yogyakarta, menutup Pondok Pesantren Al-Fatah yang dikhususkan untuk waria. Camat Banguntapan menyebut pesantren itu tidak memiliki izin dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ia pun menyebut disana pernah ditemukan botol miras, meski tuduhan ini tidak pernah terbukti. Penutupan pesantren sebelumnya didahului oleh pertemuan antara pengelola pesantren, perwakilan warga, dan pimpinan Front Jihad Islam (FJI).

- Sabtu, 2 April 2016,  aparat kepolisian bersama sejumlah ormas yang mengatasnamakan Islam membubarkan acara Lady Fast 2016 yang berlokasi di ruang komunitas seni Survive Garage, Bugisan, Bantul, Yogyakarta. Acara tersebut berisi diskusi tentang perempuan seperti kekerasan seksual, penayangan film, dan hiburan musik. Massa yang mendobrak pintu ruangan dan menembakkan senjata menuding mereka adalah komunis, bahkan sempat mengancam akan melakukan tindak kekerasan.

- Mei 2016, aparat Polres Mojokerto, Jawa Timur, menangkap lima personel sebuah band lokal karena membawakan lagu Genjer-Genjer pada suatu pentas musik. Lagu tersebut dianggap identik dengan PKI. Seorang pemilik toko di Jakarta juga ditangkap karena menjual pakaian bergambar palu arit.

- Sabtu, 20 Agustus 2016, Kodam III Siliwangi membubarkan Komunitas Perpustakaan Jalanan di Taman Cikapayang, Dago, Bandung. Walikota Bandung Ridwan Kamil kemudian menyebut itu adalah hasil kesalahpahaman karena anggota Kodam III Siliwangi mengira anak-anak muda yang menggelar banyak buku-buku untuk dibaca gratis adalah anggota geng motor.

Kalau sudah begini, tentu saja kita sangat wajar mempertanyakan ukuran-ukuran apa yang berlaku di negara ini dalam menentukan aktivitas mana yang dilindungi sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan mana yang harus memperoleh larangan. Untuk beberapa orang, mereka tidak melihat adanya standar ganda. Namun, bagi sebagian orang lain yang berpikir kritis, ini membuat kami sakit kepala.

Baca Juga: Jadi Percontohan, Sekolah di Purwakarta Akan Miliki Fasilitas Ibadah untuk Semua Agama​

Topik:

Berita Terkini Lainnya