[OPINI] Berdamai dengan Kotak Kosong

Bertarung dengan tangan kosong, itu ksatria katanya

Bertarung dengan tangan kosong, itu ksatria katanya. Jika bertarung dengan kotak kosong, kalah pula, bisa disebut apa? Namun saya perlu mengapresiasi keberanian elite politik yang beradu dengan kotak kosong, yang diyakini tak akan bersuara, hanya mendengar, dan tak menjadikan apa-apa. Siapa yang akan memilih kotak kosong yang tak pandai berjanji?

Orang waras pun tak akan memilih kotak kosong jika lawannya dianggap memiliki kecakapan yang pantas, patut, dan bisa dipercaya. Nyatanya, di suatu daerah yang menggelar pilkada, ada yang memenangkan kotak kosong. Apa yang terjadi? Apakah rakyat tak memiliki pilihan yang lebih baik dari kotak kosong? Sungguh terlalu. 

Berdasarkan hitungan cepat atau quick count yang dilakukan lembaga riset Celebe Research Center (CRC), misalnya, pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Munafri Afifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) harus mengakui keunggulan kotak kosong. Pasangan Appi-Cicu ini hanya memperoleh 46,55 persen, kalah dengan kotak kosong yang mendapat 53,45 persen suara.

Kemenangan kolom kosong di Pilkada Makassar cukup mengejutkan, mengingat pasangan Appi-Cicu ini diusung oleh koalisi 10 parpol yang mengontrol 43 kursi di DPRD Makassar. Lantas hal ini buru-buru diklarifikasi. Bahwa kemenangan kotak kosong hanya isu. Katanya, hitungan nyata memenangkan pasangan Munafri dan Rachmatika Dewi.

Tentu, kita berharap hitungan itu tidak keliru. Kemenangan kotak kosong berarti tidak ada pemimpin yang terpilih oleh rakyat dan harus mengulang pilkada lagi di tahun berikutnya. Masih ada pemimpin bersih, jujur, dan mewakili rakyat, sehingga pilihan tak benar-benar jatuh pada kotak atau kolom kosong. 

Pilkada 2018 kali ini memang unik. Ada sekitar 11 daerah yang petarungnya adalah kotak kosong. Mereka tetap percaya diri bahkan tetap berkampanye berapi-api seolah kotak kosong sama sekali tak berisik apalagi hendak berebut kursi.

Ke-11 daerah itu: Kota Prabumulih (Sumatera Selatan), Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan), Kabupaten Minahasa Tenggara (Sulawesi Utara), Kabupaten Tapin (Kalimantan Selatan), Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat), Kabupaten Jayawijaya (Papua), dan Kabupaten Padang Lawas Utara (Sumatera Utara).

Calon tunggal di 11 daerah ini bisa dikatakan lebih beruntung dari pasangan calon Munafri Afifuddin-Rachmatika Dewi di Pilwakot Makassar. Sebab, mereka masih dipilih daripada kotak kosong.

Selain kotak kosong, banyaknya calon pemimpin makin moncer meski sudah berstatus tersangka. Mereka menawarkan diri pada rakyat tentang kejujuran yang sama sekali tak mereka miliki. Bagaimana mereka kampanye tentang megahnya negeri jika di ujung mata para elite ini bui menanti?

Entah kepercayaan diri mereka terbuat dari apa, status tersangka tampaknya tak menjadi batu sandungan berarti. Mereka tetap mendapat suara, tetap mendapat pendukung, pemilih, selain kolega dan keluarga dekatnya. Ini sungguh lebih pilu daripada kemenangan kotak kosong. 

Kotak kosong kini begitu laku setelah kenyang dengan isu sara di berbagai daerah.

Kotak kosong akan kalah seketika saat debat, saat tarung di media sosial, bahkan kotak kosong tak memiliki energi untuk bermusuhan apalagi dimusuhi. Banyak petarung yang mengurungkan niat untuk berlaga. Sebab ia sadar bahwa elektabilitas, kepercayaan, kejujuran harus dipupuk agar tumbuh subur.

Ketika kepercayaan sudah didapat elite maka ia tak perlu menyiapkan mahar yang melimpah untuk berlaga. Kepercayaan ini akan menyambutnya, menjemputnya, meski ia ditemukan di pelosok desa, tengah dusun, atau pun di hutan belantara sekali pun. Kepercayaan rakyatlah yang bisa menjadikan tukang meubel bisa jadi pemimpin, seorang pedagang jadi wali kota, seorang seniman jadi gubernur.

Profesi sekecil apapun, jika bakatnya memang terlihat sebagai pemimpin, ibu kota, bahkan Indonesia akan memanggil dengan terbuka. Daripada sekarang menghamburkan uang dan tenaga untuk berebut kursi, lebih baik mengikuti seminar sejak dini tentang menjadi leader penuh inspirasi.

Tentu jangan mengolah banyak isu, jangan menggorengnya sesuka hati, dan disajikan begitu dingin kepada rakyat. 

Untuk tahun ini mari melihat kotak kosong yang seolah berbicara pada anak mudanya. Sungguh kasian negeri ini jika masih banyak yang golput atau tak memiliki calon pasti untuk diusung.

Masih ada waktu untuk melihat dan menilai agar pencarian pemimpin nomor satu di negeri ini tidak bertarung dengan kotak kosong apalagi kalah oleh kotak kosong.

Ni Nyoman Ayu Suciartini Photo Verified Writer Ni Nyoman Ayu Suciartini

I'm a writer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya