Komunikasi Publik yang Ambyar di Masa Pandemik Virus Corona

Catatan Uni Lubis

Jakarta, IDN Times - Memasuki hari ke-50 bekerja dari rumah (work from home/WFH), saya menemui Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo. “Sudah delapan minggu saya tidur dan makan di kantor, agar fokus bekerja. Pandemik ini luar biasa berat bagi semua negara, termasuk Indonesia,” kata Doni, Selasa malam (5/4).

Gugus tugas berkantor di Gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Doni, yang masih menjabat perwira militer aktif, praktis bekerja seharian sampai larut malam, Senin-Minggu. “Saya sudah lupa hari, karena menurut saya pekerjaan ini tidak bisa ditunda-tunda. Kita harus cepat. Musuh kita tidak kelihatan, menyebar seketika,” ujar Doni.

Sesudah wawancara untuk program Suara Millennial by IDN Times, Doni masih mengoreksi draf Surat Edaran Larangan Mudik. Sampai pukul 22.55 WIB, saat saya masih di kantornya, Doni berkoordinasi dengan sejumlah menteri. “Mudik dilarang. Titik!” kata dia.

Pengecualian hanya untuk keperluan esensial terutama kelancaran logistik. Surat Edaran itu kemudian terbit Rabu, 6 Mei 2020. SE Nomor 4/2020 mengatur Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Desease (COVID-19). Kriteria pengecualian dalam SE ini tidak membatalkan larangan mudik. Doni berharap SE memperjelas posisi pemerintah.

SE Gugus Tugas terbit beberapa jam sesudah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, mulai 7 Mei 2020, seluruh moda transportasi komersial kembali dibuka. Ini berlaku untuk moda darat, laut, dan udara. “Presiden menyatakan mudik semua kita larang, tetapi yang namanya logistik harus jalan,” kata Budi, saat rapat dengar pendapat virtual dengan Komisi VII DPR RI (5/5). Budi yang baru saja pulih dari perawatan karena terinfeksi COVID-19, mulai bertugas lagi sejak tanggal 5 Mei 2020.

Pengecualian yang ada, rawan pelanggaran. Moral hazard. Misalnya, pihak yang dikecualikan, termasuk politisi, yang bakal menggunakan alasan kunjungan kerja (kunker), tapi “mampir” ke rumah keluarga? Selain itu, berpotensi menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, karena pesan simpang-siur.

“Butuh disiplin, dari masyarakat dan aparat yang mengawasi,” kata Doni. Dia mendukung daerah bersikap tegas atas pelanggaran ketentuan protokol kesehatan termasuk berkaitan dengan mudik.

Komunikasi publik soal mudik ini adalah contoh kesekian, betapa karut marutnya pengelolaan komunikasi pemerintah sejak awal merebaknya wabah pandemik virus corona. Dalam hal itu, sejak wabah merebak sampai dinyatakan sebagai pandemik global oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), saya terlibat dalam aktivitas yang berkaitan dengan isu ini.

Sejak akhir Januari, empat kali saya diundang untuk berbagi pendapat soal komunikasi publik berkaitan dengan virus corona. Jumat 31 Januari 2020, saya membahas soal “Prahara Corona” di program Layar Demokrasi di stasiun televisi CNN Indonesia. Sabtu 1 Februari 2020, program radio Populi Center dan Smart FM Network mengundang saya dalam diskusi Perspektif Indonesia dengan tajuk, “Bagaimana Kita Menghadapi Tragedi Wuhan?”.

Kompas TV dalam program Satu Meja pada 12 Maret 2020 mengangkat tema “Corona dan Meredam Kecemasan Publik”. Lantas, TVRI juga menggelar acara bincang-bincang Indonesia Hari ini dengan tema komunikasi publik yang dilakukan pemerintah atas penanganan corona  pada 22 Maret 2020.

Dua acara bincang-bincang yang pertama dilakukan sebelum pengumuman kasus pertama dan kedua positif terinfeksi COVID-19. Pengumuman dilakukan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada hari Senin, 2 Maret 2020.

Pada mulanya penuh canda soal corona

Praktis sebelum kasus ini, publik tidak melihat sikap serius pemerintah menyiapkan diri menghadapi serangan wabah virus yang sudah masuk ke sejumlah negara di kawasan sekitar. Belum lagi fakta bahwa turis dari Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia jumlahnya banyak. Kita menargetkan sebanyak mungkin turis dari sana.

Urusan pemerintah pada Januari dan Februari adalah mengurusi evakuasi warga negara Indonesia yang ada di Wuhan, Provinsi Hubei, tempat awal berjangkitnya virus ini.  Tanggal 17 Februari 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo masih berencana memberikan diskon 30 persen bagi wisatawan dan 50 persen bagi biro perjalanan untuk menggairahkan pariwisata Indonesia.

Pada rapat terbatas lanjutan pembahasan COVID-19, 25 Februari 2020, Jokowi masih meminta agar konferensi dalam negeri, kegiatan meeting, incentive, convention and exhibition (MICE) dan promosi wisata di negara-negara lain ditingkatkan. Tiga daerah yang paling banyak dikunjungi turis dari Tiongkok, Bali, Sulawesi Utara dan Kepulauan Riau menjadi prioritas.

Sebagai perbandingan, pada tanggal 1-9 Februari 2020, Singapura telah membagikan empat masker untuk setiap rumah tangga di sana. Ini dilakukan untuk memastikan warga memiliki kesiapan masker untuk melindungi diri dari penularan virus, dan melindungi orang lain pula.

Menteri Kesehatan Terawan saat menghadiri rapat koordinasi di Kementerian Perhubungan soal virus corona, berharap masyarakat tidak panik. “Dari 1,4 miliar penduduk sana ya paling 2 ribuan (terkena virus corona). Sebanyak dua ribu dari 1,4 miliar itu kan kayak apa. Karena itu pencegahannya jangan panik, jangan resah. Enjoy saja, makan yang cukup,” ujar Terawan, di kantor Kemenhub di Jakarta, 27 Januari 2020. Dia merujuk ke jumlah penduduk Tiongkok.

Menhub Budi Karya Sumadi mengaku sempat guyon dengan Presiden, soal tidak ditemukannya virus corona di Indonesia sampai Februari itu. “Tapi (ini) guyonan sama Pak Presiden ya, insya Allah ya, virus COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal,” ujar Budi saat menyampaikan pidato ilmiah dalam di acara Hari Pendidikan Tinggi Teknik ke-74 di Universitas Gajah Mada di Yogyakarta 17 Februari 2020. Pada tanggal 14 Maret 2020, Budi Karya dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan bahwa doa para kiai dan ulama berperan sebagai salah satu penangkal virus corona masuk ke Indonesia. Saat membuka Kongres Umat Islam Indonesia ke-VII di Bangka Belitung, 29 Februari 2020, Wapres mengatakan virus corona menyingkir dari Indonesia karena banyak kiai yang membaca doa qunut.

Tanggal 24 Februari 2020, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia melontarkan canda, “Katanya virus corona gak masuk ke Indonesia karena izinnya susah.”

Sebelumnya, pada tanggal 15 Februari 2020, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Mahfud MD, lewat akun Twitter-nya yang punya 3,3 juta pengikut, berkicau, ”Alhamdulillah 243 WNI yang pulang dari Wuhan dan diobservasi 14 hari di Natuna dinyatakan bersih dari corona. Dalam kelakarnya, Menko Perekonomian Airlangga bilang: karena perizinan di Indonesia berbelit-belit maka virus corona tak bisa masuk. Tapi omnibus law tentang perizinan lapangan kerja jalan terus.”

Jadi, sepanjang bulan Februari, belum ada sikap serius. Yang mengemuka adalah gestur menganggap enteng, bercanda, terlalu yakin virus tidak menjangkiti Indonesia padahal kita punya 135 pintu perbatasan negeri.  Sampai kemudian Presiden mengumumkan kasus 1 dan 2 pada 2 Maret. Heboh. Oh, akhirnya, secara resmi, diakui bahwa COVID-19 sudah mendarat di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, yang mengumumkan presiden.

Lantas, komunikasi “ambyar” pada hari itu termasuk mencuatnya identitas pasien nomor 1 dan 2 itu, membuktikan, kita tidak siap menghadapi serangan COVID-19. Apa buktinya?

Baca Juga: Doni Monardo: Saya Tegaskan Mudik Tetap Dilarang

Komunikasi Publik yang Ambyar di Masa Pandemik Virus CoronaDoni Monardo Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (IDN Times/Fiqih Damar Jati)

Komunikasi dengan pejabat pemerintahan

Selasa, 3 Maret 2020, bersama sejumlah pemimpin redaksi, saya hadir di acara dengan Kepala Kantor Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko. Sekitar 30-an pemimpin media hadir di acara yang diawali dengan makan siang itu. Moeldoko menjelaskan apa yang sudah dilakukan pemerintah berkaitan dengan COVID-19. Siang itu dia baru saja menghadiri rapat terbatas dengan presiden membahas COVID-19.

Acara itu tertutup, jadi apa yang jadi diskusi saya tidak sampaikan di sini. Yang saya bisa sampaikan, adalah apa yang saya kritisi. Pertama, komunikasi publik oleh pemerintah tidak transparan, tidak membangun rasa percaya dan cenderung menganggap enteng. Saya memberikan contoh pernyataan para pejabat di atas.

Kedua, publik sulit mendapatkan data pergerakan kasus, karena sumber data resmi pemerintah tidak jelas. Menteri kesehatan melakukan keterangan pers secara sporadis, dengan “cengengesan”. Sulit bagi publik untuk percaya belum ada kasus positif di Indonesia.

Ketiga, komunikasi makin diperburuk oleh prioritas pemerintah yang lebih menekankan aspek ekonomi dan bisnis ketimbang aspek kesehatan. Apakah benar semua rumah sakit rujukan benar-benar siap?

Keempat, pemerintah terkesan tidak punya protokol komunikasi yang terkoordinasi dari pusat sampai daerah. Buktinya, ketika Menkes Terawan pada tanggal 2 Maret 2020 membuka bahwa kasus 1 dan 2 berdomisili di Depok, Jawa Barat, dan jurnalis memburu identitas pasien, walikota Depok membuka informasinya. Selanjutnya kita sama-sama tahu, sebagian media melanggar etika dengan mengupas habis kedua pasien sampai ke rumahnya.

Tetapi pelanggaran ini juga dilakukan pejabat daerah yang rupanya tidak paham bahwa perlu merahasiakan identitas pasien untuk menghindari stigma. Dalam pandemik ini, stigma lebih berbahaya daripada virusnya.

Kelima, transparansi data lewat sumber yang mudah diakses, perlu dilakukan. Contoh Singapura yang tanpa mengumumkan identitas pasien, secara regular mengumumkan riwayat kontak dan perjalanan pasien terinfeksi.

“Warga kami sangat demanded. Jadi, kami putuskan lebih baik transparan dan menyajikan informasi secara langsung ke masyarakat setiap harinya,” kata Duta Besar Singapura di Indonesia, Anil Nayar, dalam sebuah pertemuan dengan media di Jakarta 2 Maret 2020. Singapura dipuji WHO karena komunikasi intensif dengan warga, situs yang selalu dimutakhirkan dan penelusuran (tracing) yang proaktif.

Jadi, saya sampaikan ke Pak Moeldoko, tidak perlu gengsi. Ikuti yang sudah baik. Justru tidak transparan malah memicu kecemasan di publik. Teman-teman media yang hadir menyampaikan masukan dan kritik senada.

Selasa malam,  3 Maret 2020, sejumlah pemimpin redaksi diundang dalam pertemuan dengan empat menteri, di Hotel Borobudur, Jakarta. Pertemuan Forum Pemimpin Redaksi itu diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi. Hadir malam itu, Menkominfo Johny G Plate, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi dan Menteri Kesehatan Terawan.

Ketika diberikan kesempatan berbicara, saya mengulangi apa yang saya sampaikan di forum dengan Pak Moeldoko. Tambahannya, kepada Menkes saya mengeritik soal dia menyebutkan “Depok” sebagai lokasi kasus 1 dan 2, yang memicu terbukanya identitas pasien. “Harusnya, Pak Menkes tidak membuka hal itu, karena ternyata walikota pun belum paham etika komunikasi di era pandemik.”

Menkes terdiam. Saya merasa harus bersikap “bluntly”, terus terang, mumpung bicara langsung dengan yang bersangkutan. Di media sosial saya mengkritisi simpang-siur komunikasi dan minimnya data. Jadi, ketika bertemu, saya sampaikan langsung. Saya juga bertanya, “Situs mana yang bisa jadi rujukan bagi media dan publik urusan COVID-19?”

Menkes membuka ponselnya, beberapa saat. Kemudian dia menjawab, ”Ini, infeksiemerging. Teman pemred yang hadir malam itu berkomentar,  'terlalu panjang namanya, harusnya di situs resmi kemenkes di bagian depan langsung muncul data update-nya'.”

Yang disebutkan Menkes adalah https://infeksiemerging.kemkes.go.id . Malam itu saya tunjukkan, betapa situs itu tidak informatif dan dimutakhirkan secara cepat. Aksesnya pun sering error. “Kalau kemenkes gak bisa buat yang sebagus punya Singapura, minta tolong Kemkominfo saja. Menterinya ada di sini, kan ini penting bagi publik,” kata saya.

Malam itu para pemimpin redaksi yang hadir memiliki concern yang sama soal komunikasi publik dan minimnya data.

Tujuan komunikasi saat bencana

Pada tanggal 13 Maret 2020, Presiden Jokowi mengakui tidak semua informasi bisa disampaikan agar tidak menimbulkan kepanikan. “Saya sampaikan penanganan pandemik COVID-19 terus menjadi perhatian kita. Memang ada yang kita sampaikan dan ada yang tidak kita sampaikan, karena kita tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di tengah masyarakat,” kata Jokowi di Bandara Soekarno-Hatta.

Lebih dari satu bulan kemudian, pada 20 April 2020, Jokowi mengatakan, ”Jangan ada yang menganggap lagi bahwa pemerintah merahasiakan data-data penanganan corona kepada publik.” Jokowi mengatakan itu saat membuka ratas lewat video conference dari Istana Merdeka. Dia meminta komunikasi yang transparan, baik sistem data maupun informasi.

Sejak itu, juru bicara pemerintah urusan COVID-19 Achmad Yurianto menambahkan data orang dalam pengawasan (ODP) dan pasien dalam pemantauan (PDP) dalam jumpa pers hariannya.

Pada hari itu, 20 April 2020, jumlah terinfeksi COVID-19 mencapai 6.760, dengan jumlah yang meninggal dunia 590 orang. Virus sudah menjangkiti orang di 34 provinsi.  Di antara kedua sikap presiden itu, ada kontroversi pernyataan pemerintah soal mudik yang plintat-plintut, melonjaknya data pemakaman dengan prosedur COVID-19 di DKI Jakarta, maju mundur lockdown, karantina wilayah atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), proyeksi angka ekonomi yang makin suram, dan silang-sengkarut data bantuan sosial sampai Kartu Prakerja yang dianggap tidak tepat dan tidak transparan pengelolaannya. Drama setiap hari yang tidak kelar-kelar, sementara korban berguguran, termasuk para tenaga kesehatan kita.

Di acara talkshow Satu Meja di Kompas TV saya sampaikan, alih-alih meredakan rasa cemas dan panik, komunikasi simpang-siur, gestur anggap enteng justru menimbulkan kecemasan. Di era digital, otoritas bukan pemegang kendali sumber informasi. Media pun bukan satu-satunya. Ketika warga tidak mendapat informasi yang cukup dan menenangkan akan kesiapan pemerintah menangani wabah, mereka mencari sumber informasi lain. Di sini pintu masuk hoaks dan misinformasi.

“Kita sedang berada dalam situasi ketidakpastian,” jawab saya atas pertanyaan host, Budiman Tanuredja. Ironisnya, di saat masyarakat dicekam ketidakpastian, pemerintah justru tidak hadir. Kalaupun ada, beberapa kali justru menambah bingung dan ketidakpastian baru.

Saat dialog di TVRI saya menyampaikan pendapat berdasarkan pengalaman mengikuti program journalism fellowships on disaster management and resiliency yang diadakan East West Center Hawaii University tahun 2013. Saat itu saya berkunjung ke New York, Jepang (Tokyo, Sendai), dan Tiongkok (Beijing dan Chengdu). Ketiga lokasi yang pernah terdampak bencana dahsyat.

Tujuan komunikasi saat bencana adalah mencegah kepanikan, mengajak masyarakat lebih peduli pola hidup sehat, mengkoordinasikan tanggap darurat di antara pemangku kepentingan termasuk media dan lintas instansi, mengadvokasi mereka yang terdampak (dalam hal pandemik corona ya ODP, PDP, pasien positif dan warga), karena ini jenis virus yang bisa menjangkiti tanpa gejala.

Tujuan lain adalah memobilisasi sumberdaya yang ada, membangun solidaritas agar semua pihak bisa dan mau terlibat bersama-sama menangani bencana kemanusiaan ini.

Bagaimana caranya? Menurut pengalaman mereka adalah, dengan bersikap jujur, transparan, rendah hati, berpikiran terbuka, berdasarkan fakta dan data yang bisa dipertanggungjawabkan secara sains, keilmuwan. Fokus kepada kehidupan kemanusiaan, ketimbang kepada kepentingan bisnis dan politik. Dalam penanganan bencana, termasuk pandemik virus corona ini, pemimpin dinilai dari kualitas pengambilan keputusan, prioritas dan kepemimpinannya.

Selain di Korsel dan Singapura, kita melihat hal-hal itu dilakukan Kanselir Jerman Barat Angela Merkel, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Arden, Perdana Menteri Islandia Katrin Jacobsdottir, PM Norwegia Erna Solberg, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen, Presiden Taiwan Tsai-Ing-wen, bahkan PM Finlandia yang berusia 34 tahun, Sanna Marin.

Benang merah di antara mereka adalah percaya kepada ilmuwan dan ahli, paham dan memanfaatkan teknologi secara serius (bukan cuma jargon industri 4.0), dan empati atas penderitaan rakyatnya. Ini dasar membuat keputusan, termasuk menargetkan kapan virus bisa dienyahkan. Mei? Juni? Juli?

“You don’t make the timeline, the virus makes the timeline,” kata Dr Anthony Fauci, kepala pusat penyakit menular di AS. Di AS, para ilmuwan seperti Fauci berhadapan dengan pemimpin yang lebih khawatir akan popularitas politik ketimbang nyawa manusia.

Di sini? “Saya berharap egosektoral tidak menghambat penanganan COVID-19,” kata Doni Monardo.

https://www.youtube.com/embed/ih0g41VpUqM

Baca Juga: [LINIMASA-2] Perkembangan Terkini Wabah Virus Corona di Indonesia

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya