Mengapa Kita Perlu Waspada dan Kawal Revisi UU Penyiaran

Ada larangan jurnalistik investigasi

Jakarta, IDN Times - Sabtu siang (11/5/2024) saya dikontak jurnalis iNews, dimintai pendapat soal revisi UU Penyiaran, khususnya pasal yang mengatur larangan penayangan karya jurnalistik investigasi. Poin ini ada dalam draf yang dibahas di rapat badan legislasi (baleg) DPR RI tanggal 27 Maret 2024. Pekan sebelumnya, seorang pengguna X (Twitter), menanyakan hal serupa, merujuk kepada unggahan akun @Remotivi, yang gencar mengingatkan bahaya pasal ini bagi kemerdekaan pers.

Saya mencari draf Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, dan mendapat versi baleg di atas dari jurnalis IDN Times. Draf per 27 Maret 2024 itu ada 85 halaman. Membaca bagian "Mengingat" tidak ada dicantumkan Undang-Undang Pers Nomor 40/1999.

Di UU No 32/2002 UU yang menjamin kemerdekaan pers ini dicantumkan dalam konsideran mengingat. Pasalnya, konten jurnalistik cukup signifkan dan menjadi konten unggulan lembaga penyiaran. Bagian dari pemenuhan kebutuhan informasi publik yang dijamin UUD 1945.

Saya ikuti secara langsung proses pembahasan RUU Penyiaran yang ujungnya menjadi UU No 32/2002 saat itu, dalam posisi sebagai Ketua Harian Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Saat itu saya bekerja di TV7 (kemudian menjadi Trans7).
Jadi, saya paham betul suasana kebatinan penyusunan UU Penyiaran di era Reformasi, mengedepankan nilai-nilai demokrasi penyiaran, termasuk dalam hal kepemilikan izin.

UU 32/2002 juga menghormati bahwa urusan konten jurnalistik termasuk sengketa atas konten jurnalistik itu ditangani oleh Dewan Pers, yang memiliki mandat atas itu sesuai UU Pers No 40/1999. Dalam posisi sebagai anggota Dewan Pers, maksimum dua periode (2003-2006 dan 2010-2013) beberapa kali ada sengketa atas karya jurnalistik, yang akhirnya diserahkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ke Dewan Pers untuk ditangani.

Di Draf RUU Perubahan Kedua UU Penyiaran per 27 Maret 2024, dicantumkan dalam konsideran mengingat adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28F dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pasal 20 mengatur kekuasaan DPR RI membentuk UU. Pasal 21 mengatur soal kekuasaan kehakiman.

Pasal 28F bunyinya, "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Pasal 30 mengatur, "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pertahanan dan keamanan negara."

Pasal 20 UUD 1945 tidak ada dalam konsideran mengingat UU 32/2002. Pasal kontroversial dalam draf revisi UU Penyiaran yang diprotes berbagi pihak yang peduli dengan kemerdekaan pers adalah, Pasal 50 B ayat 2 huruf C yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Larangan ini akan diatur dalam Standar Isi Siaran (SIS) yang dibuat berdasarkan UU (sesudah disahkan).

Istilah "eksklusif" pun menurut saya aneh. Pasal ini harus ditolak, karena membungkam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi. Jurnalisme investigasi justru harus didukung oleh semua pemangku kepentingan atas kemerdekaan berekspresi dan kemerdekaan pers, karena aspek kepentingan dan keselamatan publik yang sangat tinggi dalam liputan investigasi.

Tidak heran di tingkat internasional maupun nasional, penghargaan karya investigasi jurnalistik adalah paling bergengsi. Setiap jurnalis sejatinya memiliki ambisi melakukan peliputan investigasi. Liputan Pentagon Papers oleh koran New York Times dan Skandal Watergate oleh koran Washington Post diganjar penghargaan Pulitzer dan menjadi legenda rujukan jurnalisme investigative.

Di belahan dunia lain banyak jurnalis mempertaruhkan nyawanya (bahkan terbunuh), dalam melakukan investigasi jurnalistik, termasuk Politkovskaya, reporter investigasi yang mengkritisi perang Rusia di Chechnya. Dari dalam negeri, sejumlah peliputan investigasi yang dilakukan teman-teman jurnalis berhasil mengungkap sejumlah kasus korupsi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang merugikan publik. Reformasi 1998 antara lain hasil dari peliputan-peliputan investigasi yang dilakukan jurnalis yang membongkar praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan rezim Orde Soeharto.

Sebagian besar yang terpilih sebagai wakil rakyat dan pembuat UU setelah Orde Soeharto berakhir, berutang kepada reformasi. Jurnalisme investigasi adalah representasi jurnalisme berkualitas yang berpihak kepada kepentingan publik.

Jadi, pasal yang melarang karya jurnalistik investigasi ini pertanda kemunduran dalam komitmen pembuat UU terhadap demokrasi, karena kemerdekaan pers adalah esensi penting dalam demokrasi. Sebagian pihak, baik di kalangan politik maupun pemangku kepentingan bisnis oligarki, memang terganggu dengan liputan investigasi, karena membongkar borok mereka.

Istilah, "pena lebih tajam dari pedang" menggambarkan dampak peliputan investigasi. Pihak-pihak yang mendukung pasal pelarangan karya jurnalistik investigasi ini harus kita cap sebagai anti demokrasi dan bertujuan menutupi informasi penting soal penyalahgunaan kekuasaan politik maupun bisnis, agar tidak terungkap ke publik.

Alasan bahwa konten jurnalistik investigasi perlu dilarang karena bisa memengaruhi opini publik terhadap penanganan kasus hukum yang sedang berlangsung sama dengan menghina kemampuan independensi hukum dan kekuasaan kehakiman.

Larangan karya jurnalistik investigasi bertentangan dengan semangat Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Kemudian, pasal-pasal yang memberangus kemerdekaan pers harus ditolak karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang mengamanatkan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

Selain itu ada pasal yang menimbulkan multi-interpretasi, yaitu Pasal 50 B ayat 2 huruf K yang mengatur isi siaran dilarang mengandung berita bohong, fitnah dan pencemaran nama baik. Di tangan kekuasaan yang memang gerah dengan kemerdekaan pers dan peliputan yang kritis, pasal ini mengancam kemerdekaan pers dan jurnalis yang bekerja di platform penyiaran.

Pasal 8A huruf q draf revisi UU yang mengatur kewenangan KPI menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran juga harus ditolak.

Tidak boleh ada lembaga lain selain Dewan Pers yang berhak menangani sengketa jurnalistik, apapun platform distribusinya, termasuk di ranah penyiaran. Pasal 1 Ketentuan Umum, huruf (1) di UU Pers No 40/1999 mengatur, "Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia."

Jelas, media penyiaran masuk dalam cakupan ini. Tidak perlu ada aturan lain, atau kewenangan diberikan ke lembaga lain mengatur pers dan karya jurnalistik, selain Dewan Pers.

Saya mengontak Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, soal pasal yang harus ditolak dalam draf revisi UU Penyiaran.

"Tidak ada sih niatan membungkam (kemerdekaan pers). Rasanya KPI hanya untuk sengketa penyiaran sebagaimana sudah diatur dalam UU Penyiaran saat ini. Kemarin sudah cek ketua panitia kerja (panja), katanya tidak ada bahasa kewenangan KPI untuk sengketa jurnalistik. Nanti saya cek dulu redaksional," kata politisi Partai Golkar ini, lewat pesan singkat (12/5/).

Meutya mengatakan status pembahasan revisi UU Penyiaran ini masih panjang. "Statusnya tingkat satupun belum," kata dia.

Arif Zulkifli, anggota Dewan Pers mengatakan pihaknya belum pernah diajak bicara soal draf revisi UU Penyiaran. DPR sebaiknya mengundang semua pihak yang terkait dengan revisi UU Penyiaran ini untuk didengar pendapatnya, mulai dari Dewan Pers dan konstituennya, kalangan akademisi dan masyarakat sipil.

Baca Juga: Poin-poin RUU Penyiaran Kontroversial, Larang Tayangan Investigasi 

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya