Sesudah Pandemik Virus Corona Masih Mau Salaman Gak?

Bakal terjadi new normal

Jakarta, IDN Times - Hampir satu bulan saya menjalani work from home, atau kerja dari rumah. IDN Media memulainya pada 17 Maret 2020.

Kita tidak tahu sampai kapan kondisi ini berlangsung. Tanggap darurat di Indonesia sejauh ini berlangsung hingga 29 Mei 2020. Ada yang bilang pandemik ini bakal berlangsung sampai Juni, bahkan Juli. Artinya minimal dua bulan lagi suasana kerja dari rumah ini bakal dialami oleh sebagian besar karyawan.

Mereka yang beruntung tetap bisa bekerja, akan berhadapan dengan suasana baru ketika masuk kantor, entah satu, dua bulan lagi. New normal.

Menurut saya, keluar dari masa pandemik ini kita akan menjadi lebih hati-hati, lebih peduli kesehatan, lebih rajin membaca tulisan-tulisan berbasis ilmiah dari berbagai jurnal kesehatan.

Apalagi?

“Kita gak bakalan salaman lagi,” kata Doktor Anthony Fauci, direktur pusat penyakit alergi dan menularnya AS. Fauci adalah salah satu sosok yang saya ikuti pendapatnya selama pandemik COVID-19. Dia dokter yang juga epidemiologis, memimpin lembaga itu selama 35 tahun terakhir melalui periode presiden dari dua kubu, Republik dan Demokrat.

Fauci berani berbeda pendapat dengan Presiden Donald. J. Trump, yang dianggap satu dari jajaran pemimpin pemerintahan yang sempat denial, menutupi fakta sebenarnya tentang pandemik ini dan sangat lambat memulai tanggap darurat.

Sebenarnya gak perlu mengutip Fauci untuk menegaskan keengganan saya untuk salaman. Tapi, supaya ilmiah ya. Salah satu alasan kuat mengapa salaman dengan orang tanpa kita tahu apakah yang bersangkutan tangannya bersih adalah, karena kita sering banget menyentuh wajah, termasuk mulut hidung dan mata. Virus corona masuk dan hidup dari saluran pernapasan. Maka salah satu saran penting selama pandemik ini adalah rajin cuci tangan dengan sabun dan air mengalir.

Sebuah studi di kalangan mahasiswa kedokteran di Australia pada 2015 mendapati bahwa setiap jam minimal mereka 23 kali menyentuh wajah. Padahal kan mereka bakal jadi dokter yang harus merawat pasien dalam keadaan higienis dan steril. 

Pendapat Fauci dikuatkan oleh Tom Frieden, mantan direktur Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit di Negeri Trump, CDC.

“Sudah pasti salaman gak bakalan dilakukan,” kata Frieden, sebagaimana dikutip dari Yahoo News.

Selanjutnya, kantor harus memikirkan aturan baru.

“Bisakah kita punya pintu yang tidak perlu dibuka oleh manusia? Haruskah kita selalu mengukur suhu badan semua orang yang masuk kantor,” kata Frieden.

Hand sanitizer dispenser yang tidak perlu disentuh bakal jadi kebutuhan umum.  Keharusan jaga jarak fisik atau physical distancing di tempat-tempat umum harus dipertahankan, termasuk di ruang kerja.  Telepon, laptop dan komputer gak lagi digunakan bareng-bareng.

Pakai masker jadi keharusan, apalagi di tempat publik. Kantor perlu menyediakan masker untuk karyawan sebagai bagian dari pemenuhan protokol keselamatan dan kesehatan.

Saat ini, kegiatan bisnis termasuk pusat perbelanjaan sudah mulai membatasi jumlah orang yang boleh masuk dalam satu waktu. Supaya bisa jaga jarak. Toko kelontong menempatkan tirai plastik penghalang antara kasir dengan pelanggan. Apakah kebiasaan ini bakal dilakukan semua jenis toko, kafe dan pertemuan tatap muka dalam rangka menerapkan jaga jarak fisik?

Yang jelas penjual makanan ringan dekat rumah saya sudah melarang pembeli masuk ke toko kecilnya. “Bilang saja mau beli yang mana? Nanti saya berikan,” ujar si ibu penjual.  Dia pakai masker dan sarung tangan.

Kantor-kantor bisa mengurangi jam kerja sebagaimana saat pandemik berlangsung, termasuk pengaturan masuk kerja bagi karyawan di hari/minggu yang berbeda agar ruangan kantor tidak penuh seperti sedia kala. Rapat-rapat tatap muka dikurangi, beralih ke rapat virtual dengan waktu yang lebih singkat, dan efektif.

“Salah satu dampak positif dari COVID-19, saya berharap makin sedikit rapat, karena selama kebanyakan rapat sih,” ujar Frieden.

Karyawan yang kurang sehat, misalnya pilek, sebaiknya disuruh pulang. Jangan berkantor.

Bekerja dari rumah atau dari mana saja (telework) menjadi hal yang normal  berdasarkan pengalaman di rumah saja selama pandemik.

“Hal yang kita alami selama pandemik dan harus di rumah saja, bahwa ketemu langsung gak selalu perlu. Rapat virtual bakal jadi pilihan,” kata Brandon Brown, epidemiologis dari Universitas California Riverside.

Rapatnya bisa lebih singkat. Tidak bertele-tele. Langsung ke pokok masalah.

Pandemik ini memakan banyak korban jiwa. Data dunia per hari ini, 16 April 2020, hampir 2 juta terinfeksi positif  COVID-19. Lebih dari 120 ribu meninggal dunia, dan ini belum puncaknya.

Banyak di antara kita yang kehilangan keluarga, kerabat atau teman yang disayangi. Rasa kehilangan yang menimbulkan kesedihan dan trauma mendalam. Belum lagi kecemasan dan stres karena termasuk yang terlibat dalam penanggulangan pandemik, mulai dari tenaga kesehatan, tim penanggulangan di berbagai instansi, relawan sampai mereka yang bekerja di media.

“Jangan lupa, banyak orang kembali bekerja setelah kehilangan anggota keluarganya,” kata Marc Wilkenfeld, dokter di NYU Langohe Health.

Menurutnya, tak peduli perusahaan besar atau kecil, perusahaan perlu memperhatikan isu ini karena semua pasti ingin karyawan  kembali bekerja dalam keadaan sehat jasmani maupun mental.

Cara hidup sehat pastinya diteruskan, termasuk kebiasaan cuci tangan dengan sabun di air mengalir. Perusahaan harus menyediakannya. Permukaan meja kerja, saklar, kursi sering dibersihkan dan disemprot disinfektan.

Kamar mandi dan toilet harus dijaga selalu bersih karena sejumlah fakta menunjukkan virus corona dapat ditularkan lewat kotoran.

Sebuah makalah ilmiah merekomendasikan bahwa, “jangan cuekin bau yang muncul dari kamar mandi, dapur, atau area cuci, termasuk tip untuk memastikan pipa yang berbentuk U, yang menghalangi keluarnya bau gas dari kotoran”

Toilet duduk, harus punya tutup, dan saat mengguyur kotoran atau urine, dalam keadaan tertutup. Sebab, sebuah studi di Hongkong menyebut, “proses mengguyur atau flush itu  dapat melepas sekitar 80 ribu muncratan (droplets) yang terkontaminasi“. Kalau gak sambil ditutup, muncratan itu bakal bertahan di udara selama beberapa jam.

Pandemik ini berlangsung cukup lama, sampai ditemukan vaksin pengobatan COVID-19.  Diperkirakan bakal ada pada 2021.

Jadi, bahkan ketika situasi pandemik dinyatakan berakhir, misalnya 2-3 bulan, jangan segera lengah.

“Kami meyakini bahwa penerapan jaga jarak sosial dalam sekali masa waktu saja tidak akan cukup untuk memastikan bahwa luasnya infeksi virus SARS-Cov-2 masih dalam batasan kapasitas kritis (rumah sakit) di AS,” kata Stephen Kissler, penulis utama sebuah studi kesehatan yang dirilis Harvard, 14 April 2020.

AS kini menjadi episentrum COVID-19, bersama Italia, Spanyol, Iran, bahkan negara di Eropa termasuk Inggris. Indonesia? Wallahu’alam. Karena jumlah yang dites per 1 juta orang minim banget.

Studi dengan simulasi komputer ini dipublikasikan di jurnal Science memperkirakan bahwa COVID-19 bakal muncul musiman, diduga kuat berkaitan dengan virus corona yang  menyebabkan demam, dengan potensi penularan yang tinggi di udara yang lebih dingin.

Para ahli ini merekomendasikan intermitten social distancing. Jadi, penerapan jaga jarak fisik secara berkala. Ketika vaksin untuk mengobati COVID-19 sudah ditemukan, maka masyarakat bisa melonggarkan jaga jarak fisik. Tetapi, secara berkala hal ini perlu dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada fasilitas kesehatan menyiapkan diri jika terjadi serangan yang menimpa banyak orang.

Mereka merekomendasikan penerapan jaga jarak fisik secara berkala sampai 2022.

Menurut para ahli Harvard ini, virus ini bakal tetap ada. Sangat tidak mungkin imunitas bakal cukup kuat dan bertahan cukup lama sehingga COVID-19 akan hilang setelah gelombang serangan yang pertama. Ini juga terjadi dengan wabah SARS tahun 2002-2003.

Petty S. Fatimah, Pemimpin Redaksi Femina Media, sepakat bahwa pandemik ini bakal membawa kita ke era new normal baik di tempat kerja maupun lingkungan sosial.

“Tapi mungkin perubahan itu tidak dramatis tapi gradual. Survival for the fittest.  Ini akan berlaku dan manusia akan beradaptasi,” kata Petty, kepada saya, Rabu (15/4).

Menurut Petty, akan akan memperhatikan higienitas lebih dari sebelumnya. Termasuk di tempat umum. “Work from home jadi lumrah sebagai bagian dari kerja normal, bukan freelance,” ujar Petty.

Dia setuju, mungkin bakal banyak kantor menggunakan sensor, sehingga tidak perlu disentuh pegangannya saat dibuka. “Masker dan hand sanitizer jadi isi tas wajib,” kata dia.

Soal gak akan salaman, apalagi pelukan dan cipika-cipiki? “Ini akan mengguncang sih.  Padahal afeksi sosial ini eksis,” tutur Petty.

Hadba Saleh, kepala divisi sumberdaya manusia dan manajemen kantor di IDN Media sepakat akan terjadi perubahan soal jumlah rapat tatap muka yang berkurang.

Gaya hidup sehat dan bersih jadi pilihan. “Bersihkan tangan, pakai masker, bahkan mungkin bawa perangkat makan dan minum sendiri agar tidak bercampur dengan orang lain,” ujar Diba, sapaan karibnya.

Karyawan mungkin akan lebih suka membawa bekal dari rumah ketimbang beli di luar, karena alasan kesehatan dan kebersihan. “Selama WFH kan mendadak jadi jago masak,” tambahnya.

WFH akan lebih banyak diadopsi oleh kantor-kantor. “Kalau dulu banyak yang kurang percaya dengan karyawan kalau WFH, dengan kondisi sekarang ini dipaksa harus lebih trust, percaya kepada karyawannya, dan make things worked walaupun harus WFH,” kata Diba.

Untuk sebagian orang, prioritas untuk hidup seimbang menguat, setelah beberapa bulan  terbiasa bekerja di rumah, sambil mengurus anak, dan berkumpul dengan keluarga.

Dokter spesialis penyakit dalam, Sigit Widyatmoko, menyoroti kecenderungan masyarakat yang makin sadar pentingnya kebersihan, “meskipun kadang berlebihan.”

Di dunia medis, new normal juga mencuatnya pamor ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu mikrobiologi atau virologi. Soal virus. “Orang jadi tahu ada cabang kesehatan kerja yang membahas tentang keselamatan kerja terutama di bidang medis,” kata Sigit yang berpraktik di RSUD Sumo, di Boyolali, Jawa Tengah.

Ini baru soal kerjaan kantoran.

Bagaimana dengan kehidupan sosial?

Pagi ini saya membaca sebuah artikel di laman scmp.com. Sebuah studi atas 10 kasus infeksi virus corona yang dialami oleh tiga keluarga di Guangzhou, yang makan bareng di sebuah restoran, menemukan indikasi bahwa aliran pendingin udara (AC) dapat menularkan droplets di antara mereka.

Rekomendasinya, di restoran harus diatur jarak aman antar meja dan perlu ada ventilasi udara. Sebab, restoran ini gak ada jendelanya.

Benar-benar semua tidak akan sama pascapandemik virus corona. Be safe, kawan-kawan.

Baca Juga: Dihindari karena COVID-19, Ini Sejarah Jabat Tangan dari Masa ke Masa

Sesudah Pandemik Virus Corona Masih Mau Salaman Gak?Ilustrasi tempat kerja di era pandemik virus corona (IDN Times/Uni Lubis)

Topik:

  • Dwifantya Aquina
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya