Dilema Demokrasi di Myanmar, ke Manakah Aung San Suu Kyi?

Akankah Aung San Suu Kyi diam saja?

Aung San Suu Kyi sedang menjadi bulan-bulanan masyarakat dunia akhir-akhir ini. Tidak seperti tahun 1991, di mana ia mendapatkan nobel perdamaian atas usahanya untuk meruntuhkan rezim otoriter Myanmar. Nama Aung San kembali mencuat di berbagai headline berita atas tindakannya yang dinilai tidak mencerminkan tokoh perdamaian menanggapi isu etnis Muslim Rohingnya.

Berdasarkan data yang dirilis oleh UNHCR, lebih dari 603.000 warga Rohingnya telah hijrah ke Bangladesh. Mengutip data yang dimiliki Kompas, 1000 orang menjadi korban jiwa. Jumlah korban yang signifikan menjadikan Aung San dituduh oleh banyak negara atas kejahatan kemanusiaan atau genosida.

 

Mengenal Aung San Suu Kyi.

Aung San Suu Kyi merupakan putri dari Jenderal Aung San, tokoh kemerdekaan Myanmar, yang lahir pada 19 Juni 1945. Alumni Oxford jurusan politik ini memiliki 2 anak dan suami berkebangsaan Inggris. Menetap di Inggris, Aung San sempat kembali ke Myanmar untuk memeriksa keadaan ibunya yang sedang sakit.

Melihat kondisi Myanmar saat Gerakan 8888 terjadi menjadi inspirasinya untuk terjun ke dunia politik. Bersama Tin Oo, mantan Menteri Pertahanan Myanmar, Aung San mendirikan Partai Liga Nasinal Demokrasi (NLD) sebagai langkah awalnya sebagai aktivis pro-demokrasi Myanmar. Pendirian NLD merupakan respon atas janji Saw Maung untuk mengadakan pemilu dengan segera.

Aung San berkali-kali menjadi tahanan politik. Pada tahun 1990 hingga 1995, ia dituduh pemerintah karena menyebarkan kebencian dan memicu kemarahan publik. Begitupun pada tahun 2000 dan 2003.

Ia bahkan pernah mengirim surat ke Amnesti Internasional dan PBB atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar ketika menjadi tahanan polik. PBB-lah yang turut mendesak Myanmar untuk membebaskan Aung San.

Dirinya seolah tidak diizinkan untuk mencalonkan diri sebagai presiden karena Konstitusi Myanmar dengan klausul tidak boleh mencalonkan diri sebagai presiden jika memiliki anak yang berkebangsaan asing.

Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1990, Human Right Watch menjelaskan kalau NLD berhasil mendapatkan 392 dari 485 kursi parlemen. Namun, pemerintah memveto keputusan tersebut dengan dalih belum adanya aturan yang menyerahkan kekuasaan dari sipil ke militer.

Aung San bersama NLD resmi menjadi anggota parlemen berdasarkan hasil pemilu tahun 2012. Kemenangan Aung San dinilai oleh berbagai kalangan sebagai era kebangkitan demokrasi Myanmar.

 

Penindasan etnis minoritas di Myanmar.

Pembahasan terkait diskriminasi etnis minoritas oleh pemerintahan Myanmar tidak bisa lepas dari sejarah kemerdekaannya pada tahun 1947. Jenderal Aung San merupakan tokoh di balik Panglong Treaty, perjanjian antara Myanmar dengan Inggris, yang menjadi deklarasi kemerdekaan Myanmar.

Kim Jolliffe, pengamat kemanusiaan Myanmar, menjelaskan bahwa Perjanjian Panglong menjadi kesepakatan antar-etnis untuk mendirikan negara Myanmar (Saat itu masih Burma) sebagaimana yang diinginkan Jenderal Aung San.

Akan tetapi, cita-cita Jenderal Aung San untuk mendirikan negara sekuler melalui Perjanjian Panglong tidak pernah terwujud karena ia lebih dahulu meninggal. Pasca ditinggalkan olehnya, perjanjian tersebut tidak lagi mengikutsertakan etnis minoritas. Perjanjian tersebut hanya melibatkan etnis mayoritas yang notabenenya adalah Buddha.

Diskriminasi semakin menjadi-jadi setelah Perdana Menteri U Nu mengeluarkan kebijakan yang menjadikan Buddha sebagai satu-satunya agama resmi di Myanmar. Padahal Myanmar merupakan negara multietnis, mengingat posisi geografisnya yang bersisian dengan wilayah Timur dan Selatan serta Tenggara Asia.

Diskriminasi tak lagi terbendung setelah sentralisasi kebijakan yang merugikan daerah-daerah dengan etnis minoritas. Di antara etnis yang terdiskriminasi oleh kebijakan pemerintah adalah Etnis Kachin, Karen, Mon, Naga, Chin, dan Rohingnya. Bentuk diskriminasinya pun berbeda-beda. Mulai dari pemindahan paksa, kerja paksa, hingga pencabutan hak politik.  

Diskriminasi terhadap Etnis Rohingnya menjadi sorotan hangat dunia. Aung San seolah tutup mata melihat kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di tengah rezim pemerintahannya.

Ketegangan antara penganut Islam dengan Buddha distimulus oleh kasus pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Buddha oleh etnis Rohingnya. Kasus tersebut menjadi kasus agama di Rakhine dan menuntut tatmadaw (Militer Myanmar) untuk melakukan intervensi. Alih-alih menyelesaikan kasus, kehadiran tatmadaw justru memperkeruh suasana.  

 

Dilema Demokrasi Aung San.

Demokrasi secara singkat diartikan (Dari bahasa Yunani) sebagai rakyat yang berkuasa. Namun, pemahaman demokrasi setiap tokoh dan negara cenderung berbeda. Realita demokrasi yang paling mudah terlihat adalah dengan dilaksanakannya pemilu, yang mana hal itu menggambarkan bahwa demokrasi adalah cerminan dari suara mayoritas.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Harvard Divinity School, jumlah penganut Buddha di Myanmar hampir 90%. Tidak bisa dipungkiri bahwa runtuhnya rezim otoriter merupakan buah dari aksi yang dilakukan oleh para biksu pada tahun 2007 (Revolusi Saffron).

Pada posisi ini, Aung San sebagai State Counsellor dan simbol pro-demokrasi Myanmar mengalami dilema. Bagaimana tidak? 90% etnis mayoritas yang beragama Buddha merupakan konstituen terbanyaknya, sedangkan etnis Muslim dan non-Buddha hanya sekitar 10%.

Aung San yang dinilai enggan berkomentar lebih terkait isu Rohingnya menjadi bentuk “kepeduliannya” terhadap konstituen minoritasnya. Sedangkan, kalau ia tidak memberikan dukungan terhadap mayoritas (Etnis Buddha), ia akan kehilangan kepercayaan dan hal itu bisa menjadi momentum militer Myanmar untuk kembali merebut kekuasaan atau kudeta.

Penjelasan tersebut diperkuat dengan penelitian Asian Barometer Survey (ABS) yang menunjukkan bahwa 95% masyarakat Myanmar (Buddha) meyakini bahwa banyak kepercayaan akan berdampak terhadap kekacauan.

Angka tersebut menggambarkan tingginya anti-pluralisme di Myanmar. Sehingga tidak mengherankan apabila etnis Buddha merasa bahwa kehadiran Islam sebagai ancaman dan menginginkan mereka untuk meninggalkan Myanmar.

Sehingga apapun kebijakan yang dikelurkan oleh Aung San, akan menjadi sorotan bagi dirinya di tengah situasi yang dilematis. Akankah ia dihujat oleh masyarakat Myanmar dengan membela Muslim? Atau akankah ia dihujat oleh masyarakat internasional dengan mendiamkan isu tersebut?

Vanny El Rahman Photo Writer Vanny El Rahman

International Relations Graduates

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya