Alasan Ilmiah Kenapa Pandangan Politik Kita Bisa Berbeda-beda

Dengan menyadari cara pemikiran kita, akan menghindarkan kita dari antipati tak berdasar yang akhirnya mengarah pada perpecahan

Pilgub DKI Jakarta putaran ke-2 kurang dari sebulan lagi akan dilaksanakan. Sebagian warga Jakarta mungkin masih menimbang-nimbang kepada siapa suara mereka akan mereka berikan. Tapi bagi para warga yang sudah menentukan pilihan sejak awal, pernakah anda berselisih pendapat dengan orang yang memiliki pilihan yang berbeda? Yang dimana setelah melewati perdebatan dan dialog yang panjang, anda berdua masih bersikukuh bahwa pilihan sendiri adalah yang terbaik dan lawan bicara anda terlalu keras kepala untuk mengerti. 

Syukurlah Indonesia hingga saat ini selalu mampu mejalankan pesta demokrasinya terlepas dari hasil apapun dalam keadaan yang kondusif, namun contoh betapa perbedaan pandangan politik bisa mengancam persatuan suatu bangsa bisa kita lihat pada pemilihan umum Presiden Amerika Serikat 2016 lalu. Bahkan setelah pelantikan Presiden Terpilih pun perpecahan politik masih sangat kental terasa.

Perbedaan pemikiran yang menghasilkan pandangan hidup yang berbeda tentu adalah hal yang wajar terjadi pada diri setiap orang, dan jelas pandangan yang diyakini akan terimplementasi terhadap perkataan dan tindakan kita. Namun bagaimana jika kita tidak sadar bahwa ketidaksukaan terhadap pihak yang berlawanan rupanya berasal dari pandangan kita yang tidak berdasar? Terkadang kita terlalu nyaman berada dalam lingkungan kita sehingga ketika kita menerima suatu informasi, kita cenderung menerimanya bulat-bulat begitu saja tanpa mendasarkannya pada kenyataan yang ada diluar sana.

Dilansir dari World Economic Forum, seorang neurolog, Kris De Meyer menjelaskan bagaimana pandangan politik kita bisa menjadi sangat bertentangan satu sama lain. Untuk memahami bagaimana psikologi bekerja, dia memberi contoh dua pendukung demokrat, Amy dan Besty. Yang pada musim awal pemilihan Presiden, antara pilihan Hillary Clinton dan Bernie Sanders di partai Demokrat, mereka belum menetapkan pilihan. Mereka sama-sama menyukai presiden perempuan, yaitu Clinton, tapi mereka juga berpikir bahwa Sanders akan lebih baik dalam menghadapi permasalahan kesenjangan ekonomi. Setelah melewati beberapa pertimbangan, akhirnya Amy memberikan dukungannya kepada Clinton sedangkan Besty mendukung Sanders.

Pada awalnya pendapat mereka mungkin tidak jauh berbeda, begitu juga pilihan mereka yang belum terlalu kukuh. Namun setelah berselang beberapa bulan mereka semakin yakin bahwa pilihan merekalah yang benar dan dukungan mereka telah lebih dari hanya sekedar bentuk perkataan, Amy mulai mengumpulkan dukungan buat Clinton dan Besty menulis artikel yang mendukung kampanye Sanders.

Disonansi kognitif, adalah penjelasan Meyer mengenai bagaiman Amy dan Besty yang pada awalnya memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda tersebut bisa berubah menjadi perbedaan pandangan yang sangat jelas terlihat. Disonansi kognitif sendiri adalah teori dalam psikologi sosial yang mengemukakan perasaan yang tidak seimbang atau tidak nyaman yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran dan perilaku tidak konsisten dimana memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan itu baik dengan mengubah kepercayaannya ataupun dengan menambahnya.

Dinyatakan bahwa dalam penelitian selama 60 tahun dan ribuan percobaan, menunjukan disonansi (perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur karena berada dalam keadaan yang tidak nyaman sehingga ingin keluar dari ketidaknyamanan tersebut) bekerja lebih kuat ketika ada peristiwa yang berdampak pada pada keyakinan inti kita, terutama keyakinan bahwa kita adalah pribadi yang cerdas, baik dan kompeten.

Lalu apa yang membuat kita begitu keras kepala atas pilihan kita? Meyer memberikan anologi piramidanya, bayangkan Amy dan Besty masing-masing berada pada puncak sebuah piramida dimana pandangan politik mereka masih tidak jauh berbeda. Keputusan awal pilihan mereka telah menurunkan mereka ke sisi masing-masing di piramida. Hal ini pun memicu mereka untuk melakukan pembenaran diri untuk mengurangi disonansi, mereka akan secara sadar atau tidak sadar mulai berpikir dan mencari-cari alasan kenapa pilihan mereka yang benar. Setiap aksi yang mereka lakukan, baik itu sekedar pembelaan kecil terhadap pilihan mereka, membagi postingan mengenai kelebihan pilihan mereka atau sampai ikut dalam kampanye pilihannya, hal-hal itu akan memicu pembenaran diri yang lebih lagi. Semakin mereka membenarkan pilihan mereka, semakin mereka turun ke sisi piramida dan keyakinan mereka pun semakin kuat dan jauh berbeda antara satu sama lain.

Mereka yang semakin menuju ke bawah piramida akan semakin menyukai pilihan mereka dan semakin condong mempunyai ketidaksukaan terhadap pihak yang berada di sisi yang berlawanan. Mereka juga semakin mencari alasan yang lebih banyak untuk mendukung pilihan mereka. Jadi ini berarti setiap kita beragumen mengenai pilihan kita dengan yang lain, kita bisa semakin yakin bahwa kita, pada kenyataannya, adalah yang benar

Hal yang berbahaya ketika kita berada di bawah piramida adalah tumbuhnya perasaan tidak suka terhadap pihak lawan sehingga kita lebih mudah mempercayai tuduhan, berita, dan skandal yang tidak jelas kebenarannya yang ditujukan kepada pihak lawan. Dan bahkan ketika kita semakin yakin dengan pilihan kita, semakin kita ingin untuk memburuk-burukan pihak lawan.

Kita akan berpikir seperti : "Saya adalah orang yang baik dan pintar, saya tidak akan mempunyai keyakinan yang salah ataupun melakukan tindakan yang merugikan. Jika anda menyakini hal yang berlawanan dengan saya, maka anda pasti adalah orang yang jahat, bodoh, sesat dan gila." 

Kita memang mempunyai intelektual yang secara kuat dan otomatis bekerja untuk mencegah kita dibohongi, namun pemikiran sosial kita terlalu sensitif dan bisa dengan mudah gagal. Ditambah di era globalisasi ini, dimana sosial media merajalela, membuat kita mudah menerima informasi tanpa bisa dengan jelas menafsirkan maksud dan presepsi pemberi informasi. Sosial media juga membuat orang terlihat lebih agresif secara lisan sehingga membuat kita semakin yakin kalau orang-orang yang tidak sepaham dengan kita adalah kelompok orang yang kasar dan buruk.

Hal ini tidak berarti mempunyai keyakinan yang kuat adalah hal yang buruk, bagaimapun keyakinan yang kuatlah yang menginspirasi tindakan terbaik kita. Namun jika kita ingat bahwa kita tidak selalu benar dan bisa saja hanya berupa reaksi spontan pikiran sosial kita, kita bisa menarik diri kita keatas piramida agar cukup untuk melihat berasal darimana ketidaksepakatan kita.

Penjelasan teori psikologi yang dijelaskan oleh Meyer diatas sebenarnya tidak hanya bisa diterapkan dalam hal perbedaan pandangan politik, namun juga dalam perbedaan pandangan di kehidupan sehari-sehari.

Saya menulis artikel ini dengan penuh harapan agar kita, para millenials dan penerusnya, sadar akan cara pemikiran kita, sehingga kita bisa menjadi generasi yang lebih menghargai pendapat dan pandangan orang lain serta tidak mendasarkan antipati, ketidakpercayaan bahkan kebencian yang tidak mendasar pada fakta yang ada terhadap orang lain.

Salam damai untuk persatuan dan demokrasi Indonesia!

Virya Mettari Wijaya Photo Writer Virya Mettari Wijaya

An introvert who speaks her thoughts out loud by writing.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya