[OPINI] Mari Membaca, Mari Mengkaji: Refleksi Hari Buku Nasional

Ini sebagai mengingat prioritas pemerintah untuk mengentaskan masalah rendahnya budaya literasi hingga tuntas.

Buku, lembaran-lembaran yang dijilid sehingga tampak elok jika sampulnya kelihatan menarik. Buku, lembaran-lembaran berisi imaji, sebuah pintu menuju dunia lain, seorang guru yang memberi ilmu tanpa kehadiran fisik, teman setia kala kita berusaha melepas kekosongan dan mengusirnya jauh-jauh. Buku, tokoh-tokoh besar banyak membaca buku, dari yang bijak bestari hingga pemusnah ras yang kejam tak berperi (siapa yang berani memungkiri bahwa tokoh sekaliber Adolf Hitler juga pernah menulis buku?). Buku, pemikiran kiri kanan ekstrim liberal fasis rasis kita peroleh dari baris-baris kalimat yang mampu membuat akal kita terbuka tirainya, menyambut segala pemikiran yang telah lama kita cari. Buku, mengajarkan kita cara bertahan hidup, cara bersikap di depan umum, cara enteng jodoh, cara memandang segala sesuatu, cara melihat kondisi dunia teranyar, apapun.

Setiap tanggal 17 Mei kita peringati sebagai Hari Buku Nasional. Ini sebagai pengingat prioritas pemerintah untuk mengentaskan masalah rendahnya budaya literasi hingga tuntas. Kita mungkin tidak terlalu mendengar gaungnya, mungkin hanya berseliweran di linimasa media sosial kita. Pencetlah opsi Like, kadang pula Share, sebagai bentuk cara merayakan yang paling sederhana. Tapi, apakah kita benar-benar merayakannya? Tentu saja dengan membaca buku, atau paling tidak membaca artikel-artikel "berguna" yang berseliweran di dunia maya.

Secara umum, tingkat literasi di Indonesia sangat tinggi : 93% dari kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia. Angka yang begitu aduhai, molek untuk dibaca para penggemar statistik. Namun, itu tidak dibarengi dengan jumlah buku yang terbit setiap tahun. Dari perhitungan yang dilakukan Ikatan Penerbit Indonesia, pada tahun 2014 tercatat ada lebih dari 30 ribu buku yang terbit. Hal itu berimbas pada perbandingan literasi antara 1:3 hingga 1:5 (satu buku dibaca hanya oleh lima orang, dan seterusnya). Jelas agaknya berbanding terbalik. Lucya Adam, ketua IKAPI, pernah mengatakan bahwa di negara maju, satu orang bisa membaca tiga sampai lima buku.

Selain itu, genre buku yang dibaca oleh orang-orang Indonesia tidak bervariasi. Contohlah komik yang punya pangsa pasarnya sendiri. Kemudian ada teenlit yang menyasar kalangan anak-anak muda. Serta bacaan-bacaan pop yang akan selalu punya tempat di hati para penggemarnya. Bandingkan dengan buku-buku “serius” seperti buku bertema sejarah, filsafat, pengetahuan umum, dan lain-lain. Dibeli oleh orang-orang yang butuh saja, contohlah mahasiswa-mahasiswa dari jurusan dan program studi yang mewajibkan mereka untuk membeli buku-buku tersebut untuk menunjang aktivitas keilmuan mereka di kampus masing-masing. Jarang ada yang mau “mengambil resiko” membeli buku yang bukan karena suruhan dosen. Dan, jika buku tersebut dibeli apakah akan dibaca setiap saat? Belum lagi kita berbicara mengenai buku-buku yang jarang dilirik oleh para pengunjung toko-toko buku seperti yang berjenis sastra.

Orang-orang, dari pengamatan saya, ikut-ikutan membeli sebuah buku sastra yang saat itu sedang populer, sedang hype. Ada pula atas saran teman yang telah khatam membacanya. Selain itu? Jarang ada yang mau mencoba-coba karya sastra dari pengarang yang masih asing di telinga mereka. Hal yang sama juga menimpa buku-buku penyair yang sudah memiliki tempat di khazanah sastra Indonesia. Saya baru-baru ini berkunjung ke sebuah toko buku di salah satu pusat perbelanjaan, dan mendapati bahwa buku kumpulan puisi almarhum W.S. Rendra (yang tidak diragukan lagi betapa bernas puisi-puisinya) diletakkan secara melintang ke dalam rak, sampulnya tidak terlihat dan hanya pinggirannya saya, hingga tersembunyi dari amatan orang-orang. Memprihatinkan.

Belum lagi belakangan ini tersebar kabar bahwa telah marak diadakan razia buku-buku yang dianggap menyebarkan paham kiri, saya dengar pula banyak dari buku-buku tersebut dibakar. Ah, itu hanyalah isu titipan. Komunisme sudah mati, bahkan di negara asalnya pun komunisme sudah dikubur dalam-dalam, lenyap. Wafat meninggalkan dunia dengan bobrok dan borok dari penerapannya. Buku-buku kiri hanyalah sebuah bentuk edukasi terhadap masyarakat mengenai paham sosialisme, mengenai betapa mulia ide yang mereka bawa (tapi penjabarannya sering salah). Masyarakat (apalagi mahasiswa) sah-sah saja mencari tahu mengenai sosialisme. Apalagi TAP MPRS XXV/1966 sama sekali tak melarang itu, kan?

Seorang teman saya pernah mengeluh bahwa harga buku sangatlah mahal, berat pula. Kasihan punggung mahasiswa yang setiap hari membawa beban di tas dan di kepala, belum lagi jika di tangan berisi beberapa buku karena tas tak cukup. Harga buku yang mahal mungkin kurang manusiawi, apalagi untuk orang-orang haus regukan ilmu tapi berkantong cekak. Apakah para penerbit pernah berpikir mengenai kewajiban kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas semua orang? Dan, yang bisa dilakukan oleh penerbit tentu saja dengan memotong harga buku yang mereka jual. Berapalah jumlah kertas, berapalah biaya produksi, berapalah honor para tenaga pengurus tata letak, berapalah jumlah royalti si penulis, berapalah biaya distribusi ke toko-toko buku jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan oleh penerbit. Ya, tingkat inflasi kita memang tinggi, tak bisa dipungkiri. Namun, menggunakan topeng inflasi untuk mencari keuntungan sembunyi-sembunyi itu jelas tidak wajar. Maka terlihat mulia lah para penerbit independen yang rela nombok namun itu semua demi idealisme mereka.

Sebagai penutup, sudah seharusnya kita membudayakan membaca. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi menjadi tugas kita bersama. Dalam agama saya, perintah Tuhan paling pertama kepada nabi terakhir adalah “bacalah!”. Bahkan Tuhan pun menginginkan kita untuk membuka lembar demi lembar buku, meresapi isinya, mereguk ilmunya, dan memahat apa yang kita dapat di dalam benak kita. Membacalah, tak peduli siapa penulisnya atau apa jenis bukunya. Membacalah, sebab buku adalah guru bijak yang bertutur dalam diam.

Mari membaca, mari mengkaji

Mari mencari fakta, mari mengingat isi

Sebelum buku-buku dijauhi, dilarang, dan kemudian dibakar.

Achmad Hidayat Alsair Photo Verified Writer Achmad Hidayat Alsair

Separuh penulis, separuh orang-orangan sawah.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya