Menilik Taiji Drive Hunt, Tradisi Pembantaian Lumba-Lumba di Jepang
Taiji Drive Hunt yang kontroversial
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kelangsungan hidup manusia sangat bergantung pada pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan yang primer, sekunder, dan tersier. Pemenuhan kebutuhan ini dilakukan dengan berbagai cara yang sesuai dengan kondisi geografis atau wilayah yang ditempati. Kondisi alam setiap wilayah yang beragam dan tersebar di penjuru dunia menuntut manusia untuk harus beradaptasi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Maka dari itu, setiap wilayah mempunyai ciri khas atau kebiasaan yang turun-temurun di daerah masing-masing.
Di kawasan Taiji, wilayah Prefektur Wakayama, Jepang terdapat tradisi bernama Taiji Drive Hunt, dimana dalam tradisi ini lumba-lumba diburu dalam jumlah yang besar. Seperti yang kita ketahui, di dalam siklus rantai makanan, lumba-lumba merupakan predator puncak di lautan dan memangsa hewan kecil lainnya. Jika jumlah lumba-lumba terus berkurang, maka hewan yang seharusnya dimangsa oleh lumba-lumba akan mengalami peningkatan yang sangat tajam. Hal ini tentunya akan merusak jaringan makanan di lautan dan membahayakan keseimbangan ekosistem (The Huffington Post, 2016).
Taiji Drive Hunt sudah ada sejak tahun 1960-an dan pemerintah Jepang menganggap bahwa tradisi ini sangat penting. Alasan mereka tidak melarangnya, karena tradisi ini telah berumur puluhan tahun. Sehingga meski dunia internasional menentang, tradisi ini tetap dijalankan hingga sekarang. Pemerintah Jepang juga menerapkan aturan tentang tata cara penangkapan dan pembantaian terhadap lumba-lumba. Nelayan tidak diperbolehkan membunuh dengan pisau atau sejenisnya. Metode yang diperbolehkan adalah dengan menggunakan menusukkan batang logam tipis ke leher dari lumba-lumba sampai mamalia laut tersebut mati karena kehabisan darah (National Geographic, 2016).
Perairan laut di Jepang merupakan habitat hidup bagi lumba-lumba. Penangkapan lumba-lumba di Jepang selama tahun 2000 sampai 2015 mencapai 20.611 ekor, dimana sebanyak 18.970 lumba-lumba dibunuh dan 1.641 lumba-lumba ditangkap untuk dipindahkan ke penangkaran (Whale and Dolphin Conservation, 2015). Menurut The Huffington Post (2016), praktik perburuan lumba-lumba di Taiji dimulai dari akhir bulan September sampai Maret setiap tahunnya, dengan target lumba-lumba yang diburu yaitu jenis lumba-lumba hidung botol (bottlenose dolphins), lumba-lumba risso’s, dan lumba-lumba bergaris (striped dolphins).
Taiji Drive Hunt memiliki dampak, baik langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung sudah jelas bahwa pembantaian massal ini membunuh banyak sekali spesies lumba-lumba yang merupakan jenis mamalia small cetacean. Jika hal ini tidak diatasi, spesies lumba-lumba akan mengalami kepunahan secara perlahan dan merusak ekosistem perairan laut di Jepang sendiri. Sedangkan dampak tidak langsung akan dirasakan oleh manusia yang mengonsumsi daging lumba-lumba. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Jepang, kandungan logam berat pada daging yang dijual sangat tinggi. Jika daging ini terus menerus dikonsumsi, maka semakin tinggi risiko terkena kanker (Journal of Toxicology and Environmental Health, 2002)
Jepang menjadi sorotan dunia karena ciri khas dan kebiasaan yang kontroversial, apalagi sampai berdampak pada lingkungan hidup. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan mengenai praktik perburuan cetacea kontroversial yang disebut Taiji Drive Hunt di Taiji, Jepang. Di samping itu, penulis juga akan menjelaskan bagaimana suatu organisasi internasional menyikapi praktik tersebut.
Baca Juga: Khawatir Perburuan Ilegal, National Trust Larang Perburuan Jejak
Masalah lingkungan internasional
Taiji merupakan sebuah kota yang terletak di prefektur Wakayama di Jepang dengan kondisi alam yang berdekatan dengan tepi laut (Japan Visitor, 2020). Kota ini merupakan kota pelabuhan, oleh sebab itu, sebagian besar mata pencaharian masyarakat kota Taiji adalah nelayan. Perburuan cetacea berkaitan erat dengan kota ini. Sejak zaman dahulu, Taiji dikenal dengan tradisi perburuan paus dan dimulai sejak periode Edo, Meiji dan Showa hingga tahun 1986 saat berakhirnya perburuan paus untuk keperluan komersial. Hal ini yang membuat lumba-lumba menjadi sasaran perburuan selanjutnya, karena warganya telah kehilangan pekerjaan mereka yang sebelumnya yaitu memburu paus.
Para pemburu dan nelayan yang berpartisipasi dalam praktik ini melakukan perburuan setiap tahunnya, biasanya pada awal September sampai awal Maret. Perburuan lumba-lumba ini menggunakan teknik yang cukup kontroversial, di mana nelayan menggiring lumba-lumba dan paus kecil ke dalam teluk dengan memukul air, sehingga sensor dari lumba-lumba dan paus kecil pun akan terganggu (Japan Times, 2020). Saat hewan-hewan kebingungan dan panik, nelayan secara perlahan menyudutkan ke pinggiran teluk yang telah dibatasi oleh jaring, sehingga akhirnya terperangkap dan tidak bisa pergi kemana-mana. Lalu, para nelayan akan mendiamkan hewan-hewan tersebut hingga tenang lalu dibunuh atau ditangkap.
Menurut Dolphin Project, penangkapan lumba-lumba di Taiji dilakukan oleh sekitar 26 nelayan, dan lumba-lumba tersebut dibunuh secara legal sesuai izin dari pemerintah. Sebagian besar orang di kota Taiji tidak ada hubungannya dengan perburuan, begitu pula orang Jepang secara keseluruhan. Menurut Dolphin Project (2021), istilah “drive hunt” berasal dari metode mengemudi atau menggiring lumba-lumba ke area yang ditentukan untuk diseleksi. Dalam hal ini, nelayan di Taiji telah mengembangkan metode yang efektif untuk menemukan, menangkap, dan membasmi lumba-lumba. Kombinasi faktor geografis yang ideal, serta metode perburuan terkalkulasi yang dirancang khusus untuk penangkapan massal, telah menciptakan situasi berbahaya bagi populasi lumba-lumba liar di lepas pantai Jepang.
Praktik ini banyak dikecam oleh dunia internasional, dikarenakan cara membunuhnya yang tidak manusiawi, yaitu dengan cara pemotongan sumsum tulang belakang yang bertujuan untuk mengurangi waktu kematian hewan tersebut. Metode ini melibatkan penusukan batang logam yang disisipkan berulang-ulang supaya luka dari hewan tersebut tersumbat, sehingga darahnya tidak terlalu banyak tercemar di air. Metode tersebut diterbitkan oleh Koperasi Penangkapan Ikan Taiji di Jepang (Butterworth et al., 2013)
Perburuan cetacea di Taiji ini mulai mendapat perhatian di masyarakat internasional sejak ditayangkannya “The Cove” pada 2009, yaitu film dokumenter tentang praktik Drive Hunt tersebut. Isu ini mulai mendapatkan kecaman di dunia Internasional setelah film “The Cove” memenangkan Academy Award pada tahun 2010 (National Geographic Indonesia, 2016)
Editor’s picks
Alasan mengapa lumba-lumba dan paus kecil diburu oleh masyarakat setempat yaitu dijual hidup-hidup dan dikonsumsi dagingnya. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata daging lumba-lumba dan paus kecil tidak layak untuk dikonsumsi, karena dagingnya sering terkontaminasi oleh merkuri. Akibatnya, permintaan atas daging lumba-lumba pun menurun drastis dan keuntungan yang dihasilkan juga sangat rendah. Keuntungan yang lebih besar diperoleh dari penjualan lumba-lumba dan paus kecil yang masih muda dan hidup ke akuarium dan dolphinaria, namun ada kemungkinan para hewan tersebut mati saat dalam perjalanan, dikarenakan cara hidup alami mereka yang cenderung berkelompok.
Biasanya, jenis lumba-lumba yang diburu adalah lumba-lumba hidung botol dan lumba-lumba Risso. Berbagai macam upaya untuk menghentikan dan mengurangi praktik perburuan ini telah dilakukan, baik dari masyarakat Jepang sendiri, dengan pelarangan pembelian dan penjualan hasil perburuan tersebut melalui Asosiasi Kebun Binatang dan Akuarium di Jepang pada tahun 2015, dan juga upaya dari masyarakat internasional khususnya para komunitas pencinta hewan, aktivis lingkungan, serta lembaga seperti Asosiasi Kebun Binatang dan Akuarium Dunia.
Baca Juga: [OPINI] Benarkah Age Gap Relationship Memengaruhi Keutuhan Pernikahan?
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.