Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi beasiswa (freepik.com/jcomp)

Intinya sih...

  • Beasiswa dan bayang-bayang meritokrasiBanyak program beasiswa dirancang untuk memberi penghargaan kepada individu yang dianggap paling berprestasi. Hal ini menjadikan nilai akademik, pengalaman organisasi, serta kemampuan bahasa sebagai tolok ukur utama.

  • Ketimpangan akses sejak awalBanyak pelamar potensial gagal bukan karena tidak layak, melainkan karena tidak tahu ada peluang. Informasi beasiswa kerap beredar dalam lingkaran sempit, terutama di kota besar dan komunitas pendidikan tinggi.

  • Siapa yang dikecualikan secara sistemik?Pelamar dari kelompok marjinal sering kali tidak hanya kalah secara administratif, tetapi juga secara simbolik. Standar kelayakan yang sempit

Beasiswa sering dianggap sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras dan prestasi. Namun di balik kesan ideal tersebut, muncul pertanyaan: siapa sebenarnya yang pantas menerima beasiswa? Apakah semua orang benar-benar memiliki hak dan kesempatan yang sama? Sistem seleksi yang berlapis-lapis kerap menyingkirkan banyak calon yang sesungguhnya layak. Artikel ini akan mengupas sisi etis dan sosial dari sistem pemberian beasiswa, serta mengajak pembaca untuk merenungkan ulang konsep "kelayakan."

1. Beasiswa dan bayang-bayang meritokrasi

ilustrasi mencari buku di perpustakaan (pexels.com/cottonbro studio)

Banyak program beasiswa dirancang untuk memberi penghargaan kepada individu yang dianggap paling berprestasi. Dalam praktiknya, hal ini menjadikan nilai akademik, pengalaman organisasi, serta kemampuan bahasa sebagai tolok ukur utama. Meritokrasi ini tampak adil di permukaan, namun kerap menutupi kenyataan sosial yang timpang. Tidak semua orang memiliki titik start yang sama.

Anak dari keluarga berada, misalnya, lebih mudah mengakses kursus bahasa, les privat, dan informasi tentang beasiswa. Sementara itu, calon dari wilayah tertinggal harus berjuang dua kali lipat hanya untuk memahami teknis pendaftaran. Akibatnya, sistem ini cenderung mengangkat mereka yang memang sudah punya "modal awal." Meritokrasi tanpa kesadaran konteks bisa berubah menjadi bentuk seleksi yang bias.

2. Ketimpangan akses sejak awal

ilustrasi toko buku (pexels.com/Jamie Kimball)

Banyak pelamar potensial gagal bukan karena tidak layak, melainkan karena tidak tahu ada peluang. Informasi beasiswa kerap beredar dalam lingkaran sempit, terutama di kota besar dan komunitas pendidikan tinggi. Akses internet yang terbatas, kurangnya bimbingan, serta literasi digital yang rendah membuat banyak anak muda tertinggal sejak awal. Padahal, potensi mereka sama besarnya.

Jika kita menyadari bahwa tidak semua orang memulai dari titik yang setara, maka proses seleksi seharusnya memperhitungkan konteks tersebut. Namun kenyataannya, formulir dan sistem pendaftaran seringkali mengasumsikan bahwa semua pelamar memiliki pengalaman dan sumber daya yang sama. Ini menciptakan ilusi kesetaraan yang sebenarnya rapuh. Tanpa perubahan dalam pendekatan, ketimpangan ini akan terus berulang.

3. Siapa yang dikecualikan secara sistemik?

Ilustrasi anak-anak sedang membaca buku. (dok. Istimewa)

Pelamar dari kelompok marjinal sering kali tidak hanya kalah secara administratif, tetapi juga secara simbolik. Mereka dianggap "kurang layak" karena tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh sistem yang tidak mengenal latar belakang mereka. Hal ini termasuk anak buruh, perempuan dari komunitas adat, atau disabilitas yang tidak terakomodasi dalam proses seleksi. Mereka tersisih bahkan sebelum mendapat kesempatan berbicara.

Standar kelayakan yang sempit secara tidak langsung menyaring siapa yang bisa diterima dan siapa yang tidak dianggap pantas. Padahal beasiswa bisa menjadi jembatan keadilan sosial jika desainnya lebih inklusif. Memperluas definisi “layak” berarti mengakui keragaman bentuk perjuangan. Dan itu membutuhkan keberanian untuk mengubah cara pandang institusi pemberi beasiswa.

4. Antara investasi dan pemberdayaan

Ilustrasi buku-buku terbuka (pexels.com/KoolShooters)

Sebagian beasiswa diberikan sebagai bentuk investasi: membiayai individu yang berpotensi “menguntungkan” bagi pemberi beasiswa. Dalam skema ini, pelamar yang memiliki pengalaman internasional, jejaring luas, dan visi besar cenderung lebih dilirik. Beasiswa berubah menjadi alat seleksi elit, bukan lagi sarana pemberdayaan. Ini sah secara strategi, tapi menyisakan pertanyaan moral.

Apakah beasiswa hanya diberikan kepada mereka yang "menjanjikan keuntungan"? Jika demikian, maka keadilan sosial menjadi agenda kedua, atau bahkan tidak dianggap penting. Padahal banyak individu yang justru memiliki peran besar di komunitasnya, meskipun tidak terdengar secara global. Memberi peluang kepada mereka juga bentuk investasi, bukan keuntungan finansial, melainkan sosial.

5. Narasi perjuangan yang dijual

ilustrasi interview beasiswa (pexels.com/ Anna Shvets)

Beberapa skema beasiswa menyukai pelamar dengan cerita hidup yang dramatis. Narasi tentang kemiskinan, perjuangan hidup, dan "naik kelas" sosial sering menjadi nilai jual tersendiri. Ini menciptakan kecenderungan untuk mengemas penderitaan secara strategis. Akibatnya, pelamar bisa merasa terdorong untuk "menjual luka" agar dianggap layak.

Tentu tidak semua cerita dibuat-buat, tapi logika seperti ini tetap bermasalah. Ia mendorong pameran trauma dan bisa memperkuat stereotip tentang kemiskinan yang harus "menghibur" dan "menginspirasi" agar pantas dibantu. Padahal keadilan tidak perlu dikemas dramatik untuk dibenarkan. Sistem beasiswa seharusnya memberi ruang bagi keberagaman pengalaman, bukan hanya kisah yang paling menyentuh.

6. Beasiswa dan pembentukan elit baru

ilustrasi mendaftar beasiswa (pexels.com/Yan Krukau)

Banyak alumni beasiswa yang pada akhirnya membentuk lingkaran sosial tersendiri. Mereka memiliki gaya hidup, perspektif, dan jaringan yang berbeda dengan komunitas asalnya. Ada yang kembali memberi kontribusi, namun tak sedikit yang terpisah secara sosial. Beasiswa tanpa tanggung jawab sosial berisiko menciptakan elitisme baru yang terlepas dari realitas masyarakat.

Pertanyaannya, apakah beasiswa memang harus melahirkan pemimpin-pemimpin baru dalam pengertian konvensional? Atau cukup menjadi jalan bagi seseorang untuk hidup lebih layak dan membantu lingkungannya secara sederhana? Ketika kita terlalu mengidealkan penerima beasiswa sebagai agen perubahan, kita kadang lupa bahwa menjadi manusia yang baik pun sudah cukup bermakna. Kelayakan seharusnya tidak dibatasi oleh ambisi besar semata.

7. Membangun sistem beasiswa yang lebih adil

ilustrasi wisuda (pexel.com/RDNE Stock project)

Pemberi beasiswa perlu mengevaluasi ulang indikator kelayakan. Apakah indikator tersebut mencerminkan kesetaraan kesempatan, atau justru memperkuat ketimpangan yang ada? Transparansi proses, pelibatan komunitas lokal, dan asesmen konteks pelamar bisa menjadi langkah awal menuju sistem yang lebih adil. Hal ini tidak mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan.

Sementara itu, para pelamar juga perlu didorong untuk memahami bahwa beasiswa bukan sekadar hadiah atas kecerdasan. Ia adalah bentuk kepercayaan sosial dan tanggung jawab. Semakin inklusif sistem ini, semakin besar dampak yang bisa diberikan. Kita butuh beasiswa yang tidak hanya mencetak juara, tapi juga menyembuhkan luka struktural dalam masyarakat.

Pertanyaan tentang siapa yang pantas menerima beasiswa tidak bisa dijawab dengan satu standar saja. Setiap orang membawa konteks, perjuangan, dan potensi yang berbeda. Jika sistem beasiswa hanya melihat permukaan, maka banyak individu hebat akan terus tersingkir. Keadilan bukan tentang menyamakan, melainkan tentang memberi sesuai kebutuhan. Dan beasiswa yang adil adalah beasiswa yang memahami makna itu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team