[OPINI] Mengapa Aku Benci Sekolah Tapi Suka Belajar - Bagian 2

Ketika seorang millennial dihadapkan dengan dunia terbuka tapi terkekang oleh pemikiran tertutup. Bagaimana hasilnya?

Terkekang

Sejauh mata memandang, apapun yang ada di dunia ini adalah untuk dipelajari. Setidaknya itu yang dia masih yakini.

Termasuk dunia komputer. Bapaknya memberi hadiah sebuah set komputer lengkap dengan layar monitor pada kenaikan kelas 5 SD. Komputer itu berprocessor Intel Pentium 3 dengan kecepatan 1 Gigahertz dan RAM berkapasitas 384 Megabytes. Tidak istimewa. Bintang dua. Masih kalah jauh dengan komputer milik temannya yang sudah Pentium 4 dengan RAM 1 Gigabyte, apalagi dengan tambahan GPU NVidia.

Namun ternyata, selain buku, dia juga jatuh cinta pada dunia komputer.

Setiap sepulang sekolah matanya tertuju pada CRT sebesar 20" di kamar belakang. Semua dicoba, mulai dari aplikasi Microsoft Office, Minesweeper, Paint, Internet Explorer, Photoshop, Need for Speed Underground, Windows Registry, sampai Windows Startup Manager. Sama halnya dengan ketika membaca ensiklopedia, matanya menyala-nyala. Komputer ini benda ajaib, bisa apa saja, gumamnya. Sejak itu kecintaannya terhadap komputer mulai melebihi kesenangannya terhadap yang lain.

Termasuk “belajar” mata pelajaran di sekolah.

Dia sudah bukan lagi pemegang tahta rangking tiga besar di kelasnya, lima besar pun sudah kesusahan. Perhatiannya terpecah antara “belajar” mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan “bermain” komputer. Nilainya turun drastis di segala bidang, dan tentunya itu mengundang tanda tanya besar dari orang tuanya. Tidak jarang dia ditegur dan kadang dimarahi bapaknya. Semua berujung dengan dikuncinya kamar belakang tempat PC itu berada.

Apa anak itu kapok? Malah sebaliknya.

Usaha warnet di daerah rumahnya mulai menjamur. Ketika apa yang dia sukai dibatasi, dia pun “memberontak”. Dia rela menahan lapar di sekolah demi menabung uang sakunya untuk merental komputer di warnet. Di luar dugaan, meskipun dia harus mengeluarkan uang hanya untuk menggumuli komputer, bermain di warnet memiliki added value tersendiri. Adanya internet malah membuka semua kemungkinan-kemungkinan yang bisa dia pelajari. Lalu anak itu menyadari, komputer dan internet bukanlah suatu hal yang menggantikan kecintaannya terhadap “belajar”, tapi komputer dan internet adalah alat, perantara, media yang membantunya menjelajah duniadengan lebih baik, lebih fleksibel, lebih cepat, lebih luas.

Photoshop tutorial, hacking tutorial, how to create a blog, how adsense works, HTML CSS tutorial, how to make a computer virus, how to snoop Wifi network, Corel tutorial, how to download faster, where to download movies, Microsoft Word tips, itu adalah sebagian dari keywords yang dia masukkan di mesin pencari.

Lalu dia menyadari bahwa dia tetap mencintai membaca, bereksperimen, berdiskusi dan menyelami ilmu pengetahuan. Dia tetap suka belajar. Namun bukan pelajaran sekolah.

Tentunya, seluruh semesta tidak mendukungnya (?). Gurunya juga mulai aware tentang teralihkannya perhatian anak itu. Akhirnya dicarilah sebuah solusi agar anak itu bisa “kembali lurus”. Solusinya dengan hukuman, tentunya. Satu kelas diminta untuk melaporkan siapa saja yang bermain di warnet di hari sekolah kepada Bu Guru. Tentu, “siapa saja” ya berarti hanya anak itu. Dia juga mengetahui adanya peraturan itu.

Besok harinya anak itu langsung dipanggil ke ruang guru karena di sore hari pengumuman peraturan itu, dia tetap langsung ke warnet. Kebetulan warnet itu dekat rumah salah satu temannya. Dan dia melapor. Hari itu dia mendapatkan peringatan lisan secara tegas untuk tidak mengulanginya kembali. Guess what? Besoknya dia dipanggil kembali, kali ini ke ruang kepala sekolah.

Dia sama sekali tidak merasa bersalah, karena memang tidak ada peraturan sekolah yang dilanggarnya. Bolos? Tidak, dia hanya bermain sepulang jam sekolah. Justu dia mangkel karena sekolah menganggap apa yang dilakukannya adalah perbuatan sia-sia, perbuatan yang nakal. Padahal dia merasa belajar banyak sekali hal yang tidak dipelajari di sekolah, hal-hal yang membuatnya semakin haus dan bersemangat untuk kembali duduk di depan layar komputer. Padahal nilai sekolahnya masih dibilang baik. Padahal dia melakukan hakikat dan tujuan utama dari “bersekolah” itu sendiri, menjadi haus akan pembelajaran. Dia tidak berbuat salah. Dia tidak berbuat sesuatu yang “nakal”. Tapi sepertinya, bagi sekolah, “belajar” adalah membaca buku teks pelajaran sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, duduk manis di kelas, “nilai” yang baik, dan daftar hadir yang penuh. Bagi sekolah, dia adalah anak nakal.

Tanpa merasa bersalah, anak itu hanya mengiyakan apa yang dikatakan oleh bapak dan ibu guru. Sebenarnya anak itu ingin sekali membantah, ingin sekali memberi pembelaan, ingin sekali melindungi idealismenya terhadap “belajar” yang dia yakini. Dia mengerti dia hanyalah seorang anak kelas 5 SD, jauh lebih muda dibanding mereka, tapi mengapa penjelasan mereka tidak masuk akal dan tidak dapat dimengerti?

“Nanti nilaimu turun.” Lalu? Toh nilai TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi)-nya tetap tertinggi daripada teman-temannya yang lain, bahkan nilainya selalu konsisten di angka sembilan. Apakah pengetahuan tentang teknologi tidak lebih penting atau tidak sama pentingnya dari pengetahuan yang lain? Dia tidak pernah meremehkan pelajaran atau bidang pengetahuan lain, karena kehidupan kita juga adalah hasil perkembangan dan sinergi bidang-bidang pengetahuan itu. Tapi apakah sekolah berpendapat sama? Nope. Selama itu tidak diujikan, tidak penting untuk dipelajari. Lagi, sekolah mempersempit makna “belajar”, kali ini apa yang harus dipelajari dan mana yang tidak boleh dipelajari.

“Banyak main game itu nggak baik.” Pertama, waktu yang dia alokasikan untuk bermain game terhitung lebih sedikit daripada teman-temannya yang lain yang tiap hari bisa merental Playstation sampai malam (dan mereka tidak dipanggil ke ruang kepala sekolah). Kedua, nggak baik dimananya? Dia banyak belajar kosakata bahasa Inggris baru dan idiom-idiom yang tidak pernah diajarkan di sekolah. Dia belajar sejarah perang dunia dari seri Close Combat, dia belajar lore Yunani dari seri Age of Empires, dan lain-lain. Videogame juga dapat meningkatkan kemampuan motorik, salah satunya diliput di sini.

Sesi interogasi itu berlalu. Cie interogasi. Semacam orang disidang karena melanggar norma. Eh apa emang iya ya?

Ada yang ironis di masa sekolah dasar itu. Tidak lama setelah persidangan itu, ada lomba komputer se-Jawa Timur dan sekolahnya diundang karena guru TIK-nya merupakan anggota dari suatu lembaga yang memayungi banyak guru pelajaran muatan lokal seperti kesenian, TIK dan bahasa daerah di Jawa Timur. Lombanya terdiri dari dua bidang, Microsoft Word dan Microsoft Excel. Anak itu ikut lomba di bidang Microsoft Word. Tanpa banyak persiapan, akhirnya di suatu Minggu pagi dia mengikuti lomba tersebut. Singkat cerita, dia menang juara satu. Kepala sekolahnya datang, memberi selamat, wali kelasnya datang, memberi penghargaan. Mereka semua berbangga. Padahal piala itu tidak akan menjadi milik sekolah jika anak itu tidak “nakal”. Dia hanya tertawa kecil dalam hati.

Semakin lama dia menjalani dunia sekolah, dari SD menuju SMP, dari SMP menuju SMA, semakin dia menyadari bahwa “bersekolah” tidak dapat mengakomodasi dirinya. Semakin dia menyadari bahwa sekolah tidak dapat menghargai hak-hak tiap siswa untuk belajar apapun yang menyalakan tungku api di pikirannya, terbukti dengan semakin strict-nya sekolah terhadap apa-apa yang wajib dipelajari, terhadap bagaimana siswa belajar. Terbukti dengan betapa herannya mereka jika kita mendapat nilai jelek di suatu pelajaran. Padahal, tidak semua orang membutuhkan itu semua. Tidak semua orang harus memahami konsep momen inersia, fungsi integral, senyawa karbon polimer, manajemen badan usaha, citra pengindraan jarak jauh, dan lain-lain. Tidak semua orang butuh untuk mempelajari semuanya. Setiap orang terlahir dengan latar belakang, lingkungan, masa kecil, kesukaan dan kemampuan yang berbeda-beda. Namun mengapa semua siswa harus belajar hal yang sama? Namun mengapa semua siswa harus belajar dengan cara yang sama?

Baiknya sekolah memberi ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi kemampuan dan kemauannya. Berikan pandangan terhadap kegunaan dan bentuk aplikasi suatu bidang keilmuan di kehidupan kita sekarang. Berikan pandangan kegunaan perhitungan gaya gesek terhadap konstruksi ban-ban kendaraan yang kita pakai, kegunaan perhitungan integral dan log dalam perkembangan sains abad 21, kegunaan perhitungan tingkat pH dalam manajemen farmasi, dan lain-lain. Biarkan mereka memilih, biarkan mereka menimbang, biarkan mereka mengkaji bidang-bidang keilmuan yang mereka suka yang ada di dunia ini. Terapkan cara belajar yang terbuka, dimana siswa dapat mencoba cara-cara belajar yang mereka anggap paling efektif dan enjoyable. Biarkan mereka berpendapat, biarkan mereka mengusulkan cara belajar lain meskipun awalnya terlihat nyeleneh. Biarkan mereka menjadi mereka sendiri.

Dibalik nilai-nilai yang jelek itu, bisa jadi ada anak yang tangannya dapat menari dengan indah ketika dihadapkan dengan piano, bisa jadi ada anak yang akan menjadi Messi-nya Indonesia, bisa jadi ada anak yang akan mengangkat trofi Oscars, bisa jadi ada anak yang akan membawa nama Indonesia ke podium juara Formula 1, bisa jadi ada anak yang akan mengentas kemiskinan di daerahnya dengan usaha yang ia bangun, dan lain-lain.

Begitu banyak kemungkinan-kemungkinan bagi seorang anak untuk tumbuh dan sekolah telah berhasil menutup itu semua.

Semua orang terlahir jenius. Tetapi jika Anda menilai ikan dari kemampuannya untuk memanjat pohon, ia akan menjalani seluruh hidupnya mempercayai bahwa dia bodoh. — Anonymous

Lebih banyak mencontek

Jika yang dia simpulkan ketika UKM 2006 silam adalah tentang bagaimana “belajar” bagi sekolah adalah tentang nilai-nilai di ijazah, ternyata itu terbukti lagi di SMA. Waktu SMA merupakan waktu yang cukup riskan untuk siswa karena tidak lama mereka akan menduduki kursi-kursi di perguruan tinggi — yang susah untuk didapatkan.

Waktu itu ada beberapa jalur masuk menuju perguruan tinggi negeri. Melalui ujian tulis, melalui jalur undangan, melalui jalur mandiri, melalui jalur belakang, dan lain-lain. Namun yang paling menyita perhatian tentang “mencontek” adalah jalur undangan.

Jalur undangan adalah proses seleksi dengan menggunakan nilai rapor siswa selama belajar di SMA. Tergantung jurusan tujuannya, siswa dapat melampirkan prestasi-prestasi atau portfolio yang bersangkutan dengan jurusan tersebut. Nah, nilai rapor siswa. “Perjuangan” mencontek pun tidak hanya dilakukan ketika ujian saja, namun sudah dimulai sejak ulangan-ulangan harian. Anak bodoh pun bisa mendapat nilai fantastis apalagi jika berteman dengan anak pintar yang “baik hati”Kegiatan ini sudah menjadi budaya yang lumrah.

Namun bagi anak itu, kejujuran masih merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi. Selain dari sudut pandang keadilan bagi teman-temannya yang lain — di sekolahnya maupun di belahan Indonesia yang lain, tapi juga dari sudut pandang memaknai “belajar” itu sendiri. Menurutnya, kalau kita “belajar” hanya untuk mendapatkan nilai, semudah itu mencontek hanya demi mendapatkan nilai, lalu buat apa kita menghadiri kelas-kelas ilmu di sekolah? Bukankah itu sia-sia? Lalu ternyata akar masalahnya bukan di situ.

Sekolah, dengan sistem pendidikan yang sekarang ini, secara tidak langsung memang mengajarkan bahwa yang terpenting adalah angka-angka di rapor dan ijazah. Sekolah secara tidak langsung mengajarkan mindset bahwa kita “belajar” di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus supaya bisa masuk perguruan tinggi bergengsi. Buktinya, dari teman-teman sekelasnya saja, ada sekitar 80% siswa sekelas yang selalu mencontek. Ketika anak itu mencoba mencari tahu alasan mengapa mereka selalu mencontek, memang mayoritas beralasan karena mereka ingin nilai rapor mereka bagus supaya bisa berhasil dalam seleksi jalur undangan.

Kalau memang ingin masuk perguruan tinggi yang bergengsi dan ngerti kalau itu susah, ya… belajar aja kali?

Tapi kembali lagi, murid bukan sepenuhnya suspect dalam permasalahan ini, tapi murid juga adalah victim, murid adalah korban dalam sistem pendidikan yang seperti ini.

Idealnya, pemerintah, melalui kurikulumnya, sekolah, melalui kebijakannya, dan guru, melalui eksekusinya, dapat membangkitkan kecintaan siswa terhadap pembelajaran secara harfiah, yaitu terhadap perbaikan tingkah laku, penambahan ilmu pengetahuan, bukan dari sudut pandang sekolah yang sekarang, yaitu terhadap angka-angka yang tertera di rapor.

Kultur di masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap bagaimana menyikapi “pendidikan” ini. Korelasi tertentu antara “pendidikan” dan “kesuksesan” juga turut mendukung mindset yang salah tentang belajar. Akhirnya orang tua dan anak berbondong-bondong, berebutan satu kursi di perguruan tinggi bergengsi dengan mengharapkan anaknya bisa membawa pride dan meraih “kesuksesan”. Ditambah dengan bagaimana tidak efektifnya sekolah mengajarkan “belajar” seperti sekarang, akan wajar jika siswa akan terpaksa mencontek.

 

Dilema

Tidak berbeda dari teman-temannya yang lain, anak itu juga menginginkan diterima di perguruan tinggi bergengsi, berharap semuanya akan lebih baik di perkuliahan. Segala upaya telah dilakukannya, belajar tambahan di sekolah, di rumah maupun di bimbingan belajar.

Namun, singkat cerita, dia gagal diterima dimanapun. Dia cukup shock karena dia sudah mempersiapkan dan merasa mengerjakan ujian dengan baik. Terlebih dia diharapkan oleh keluarganya, karena dia dianggap anak pintar dan wajar jika masuk perguruan tinggi bergengsi. Tapi ternyata takdir berkata lain.

Tidak mudah menjadi anak yang diharapkan lalu tidak bisa memenuhi harapan tersebut. Dia malu semalu-malunya terhadap keluarga dan terlebih teman-temannya yang sudah diterima di tempat yang diinginkan.

Keadaan itu tidak berlangsung terlalu lama. Akhirnya dia menyadari bahwa kegagalan ini merupakan suatu kesempatan untuk menjelajah banyak hal yang lain. Sambil mempersiapkan ujian tahun depan, dia juga memulai untuk mencoba banyak hal baru, salah satunya adalah berbisnis.

Dia mencoba untuk selalu membuka pandangan tentang apa yang dia inginkan. Keinginan untuk bersekolah di suatu perguruan tinggi bergengsi mungkin sudah lama ia cita-citakan, namun ia tetap berusaha mengkaji kembali niatnya. Ternyata untuk mempelajari bidang keilmuan di jurusan itupun tidak hanya tersedia di bangku kuliah. Lalu ia menemui banyak kemungkinan-kemungkinan dan jalan lain. Anak itu mengikuti seri tutorial di Youtube, membaca buku dan bertemu orang-orang yang memang sudah bergelut di bidang tersebut. Dia tetap belajar, meskipun tidak “bersekolah”.

Pada waktu pengumuman hasil penerimaan, anak itu diterima di dua tempat bergengsi di kotanya, meskipun tidak diterima di pilihan pertama yang dia inginkan. Akhirnya dia memilih jurusan yang memang dia inginkan di pilihan pertama.

Setelah menjalani rangkaian kegiatan penerimaan mahasiswa baru dan merasakan belajar di bangku kuliah, anak itu tetap merasakan apa yang selalu dia rasakan di jenjang pendidikan sebelumnya. Maraknya kegiatan mencontek dan kecilnya ruang yang diberikan sebuah institusi pendidikan terhadap siswa. “Ternyata sama aja”. Apalagi himpunan mahasiswa dan segala acaranya yang arogan, yang tidak menunjukkan seseorang yang “terpelajar”, membuatnya semakin tidak cocok dan malas menjalani rutinitas yang tidak dia sukai. Dia sangat menyayangkan keadaan yang seperti ini karena semuanya sungguh terlihat miris. Ternyata the whole thing about education itself, at least here in Indonesia, is not about the students or even the education process, it is about fulfilling the job market demands.

Jadi.. apa yang harus dilakukannya? Berusaha untuk memperbaiki dari dalam? Atau tidak usah diperbaiki? Dilema.

Jika dia berhenti, dia harus benar-benar sepenuhnya bertanggung jawab atas segala proses pembelajarannya. Dia harus mencari segalanya sendiri, lebih sedikit teman belajar, dan tentunya lebih banyak dijudge oleh orang-orang di sekitarnya. Dia harus siap berjalan di tengah-tengah masyarakat yang menganggap bahwa orang yang kuliah adalah orang yang “terdidik” dan “berpendidikan” lalu otomatis dianggap pintar dan sebaliknya, orang yang tidak kuliah adalah orang yang tidak berpendidikan dan otomatis dianggap bodoh. Tidak percaya? Mungkin bisa jadi anda sendiri masih berpendapat demikian (?). Dia harus siap untuk menjadi berbeda.

Dia tidak siap. Anak itu masih eman dengan segala pencapaian dan image yang dia punya. Dia masih malu setengah mati jika harus menjadi orang yang seperti itu. Dia masih takut dengan “ketidakpastian” yang harus dijalani dalam hidupnya.

Namun dia menyadari bahwa segala sesuatu sudah ada yang merancang, segala sesuatu sudah dibuat sesuai porsinya masing-masing. Jika memang dia harus gagal di suatu titik dalam hidupnya, then so be it. Jika memang dia akan berhasil di suatu titik dalam hidupnya, then so be it. Apapun yang akan dia pilih, kegagalan pasti sudah siap menerkamnya dari segala sisi kehidupan. At one point or another, we will experience failure and that’s fine. Dia menyadari bahwa yang akan bertanggung jawab sepenuhnya atas dirinya adalah dia dan hanya dia sendiri, bukan orang lain, bukan cercaan dan tatapan merendahkan dari orang lain.

Pasti ada jalan.

Dia memutuskan untuk meninggalkan sekolah agar bisa lebih fokus “belajar”. Dia memutuskan untuk menjadi penanggung jawab penuh atas “pendidikan”-nya.

Dia drop out.

 

Belajar

Anak itu bernama Arfian Adam Urfi. Anak itu adalah saya sendiri.

Dulu saya sempat bersekolah di SMP Negeri 12 Surabaya, SMA Negeri 5 Surabaya dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember di prodi Desain Komunikasi Visual. Saya dropout di tahun 2013, hanya sebulan sejak saya merasakan bangku kuliah. Sejak itu, saya berkelana, belajar dan menjelajahi kehidupan saya sendiri tanpa bimbingan pihak manapun. Di perjalanan itu, sampai sekarang, saya menemui banyak orang hebat yang turut membantu perkembangan pribadi saya. Rekan bisnis, rekan kerja dan beberapa sahabat dekat selalu mendukung apa yang saya yakini dan bahkan kami banyak bertukar ilmu mengenai kehidupan maupun bidang-bidang keahlian yang kami geluti.

Saya juga pernah bekerja secara remote di sebuah perusahaan di Singapur. Disana saya mengerjakan sebuah platform yang menampilkan real time data tentang kondisi pencahayaan jalan-jalan di Singapur yang ditampilkan dalam bentuk grafis di atas peta. Tidak hanya dari Singapur, rekan kerja saya berasal dari mancanegara seperti USA, Malaysia dan India.

Sekarang saya berprofesi sebagai Front End Web Engineer, membangun IDN Media bersama orang-orang hebat dari seluruh Indonesia. Proyek yang sedang saya kerjakan adalah sebuah platform dimana brands dan advertisers dapat memilih konten ads yang tepat sasaran dan efektif. Semacam Facebook for Business dan Google DoubleClick.

Saya masih mencintai membaca, hell, saya masih kegirangan ketika melihat buku ensiklopedia dimanapun. Hal-hal yang saya pelajari sekarang lebih mengerucut di bidang teknologi, khususnya di web development. Namun masih super antusias ketika melihat artikel-artikel dengan tema apapun di internet. Sampai sekarang saya tidak pernah membatasi apa yang saya baca. Saya ingin mempelajari banyak hal, bagaimana sesuatu berkerja, bagaimana masa depan dari suatu teknologi, apapun itu, sejak kecil dan sampai sekarang saya masih begitu.

Memang, jalan yang saya tempuh ini tidak mudah, super susah malah. Sudah tidak terhitung berapa kali saya diremehkan secara langsung maupun tidak langsung, bahkan oleh keluarga saya sendiri. Sudah tidak terhitung berapa kali saya mengalami kegagalan. Namun jalan inilah yang saya yakini, jalan inilah yang sesuai dengan apa yang saya inginkan.

Sebaliknya, saya tidak pernah menganggap remeh orang-orang yang ingin, sedang atau telah menjalani masa perkuliahan. Tidak sama sekali. Mereka juga adalah orang-orang hebat yang akan membangun peradaban kita. Yang saya sesali dan anggap kurang pantas adalah orang-orang yang mencontek, orang-orang yang meremehkan orang tidak “berpendidikan”, orang-orang yang menganggap “belajar” adalah hanya alat untuk mencari uang. Saya benci sekolah, bukan orang-orang yang bersekolah.

Tulisan ini tidak bertujuan untuk memojokkan pihak tertentu. Tulisan ini hanya bertujuan untuk memberikan perspektif lain dalam kehidupan yang kebetulan saya jalani sendiri. Saya ingin banyak orang mengerti bahwa “belajar” tidak sesempit duduk di bangku sekolah. Saya ingin encourage banyak orang untuk selalu belajar dan menjadi lebih baik. Saya ingin lingkaran setan kesalahpahaman tentang “belajar” ini berhenti. Saya ingin tidak ada lagi anak yang merasa terpaksa untuk belajar, saya ingin tidak ada lagi orang-orang tua yang menuntut anaknya terhadap parameter-parameter tertentu yang bahkan tidak memiliki esensi, saya ingin tidak ada lagi ada anak yang merasa bodoh hanya karena angka-angka yang ada di buku rapor mereka.

Tolong, hentikan pembodohan mengatasnamakan “pendidikan” ini.

Mari kita ciptakan dunia yang lebih baik untuk anak cucu kita nanti.

 

Arfian Adam - Pembelajar sampai mati

 

[Baca: BAGIAN 1]

Arfian Adam Photo Writer Arfian Adam

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya