Habiskan Sisa Ramadan 1996 Sebagai Penyintas Gempa Tsunami Biak

Rayakan kemenangan dalam keprihatinan

17 Februari 1996

  • 13:00 WIT

Siang itu, di sebuah rumah di Samofa, Biak, aku yang masih kecil mulai kehabisan energi usai bermain dengan kedua kakakku sepanjang pagi. Maklum, aku sangat excited karena selama ini keduanya bersekolah di Jawa Tengah. Beberapa hari menjelang Idul Fitri 1416 H, mereka berkunjung ke Biak, pulau tempat orangtua kami berdinas sekaligus tempatku lahir itu. Senang rasanya berkumpul dengan saudara tercinta.

Saking lelahnya, aku sampai tertidur dalam gulungan selimut saat petak umpet dengan mereka. Ditambah perut yang kenyang usai makan siang (maaf ya, aku masih puasa setengah hari kala itu), pelan-pelan rasa kantuk mulai menggelayuti mata ini.

  • 15:00 WIT

Hingga akhirnya suara ibu yang menjeritkan namaku disertai guncangan besar membuatku tersadar dari lelap. Begitu gulungan selimut disingkap, aku semakin sadar bahwa yang membahana di sekitarku tak hanya pekikan suara ibu, tapi juga banyak orang lain diiringi riuh gemuruh tanah yang bergerak.

Aku masih ingat, aku tak bisa berlari lurus siang itu. Semua bergoyang, dinding rumah kami berayun bagaikan dibangun dari kartu remi. Seluruh air dari bak kamar mandi tumpah ruah membanjiri lantai rumah. Membuatku terpeleset beberapa kali hingga akhirnya terpaksa merangkak menuju pintu keluar.

Sesampainya di halaman, fenonema itu belum kunjung berhenti. Tetangga dan masyarakat sekitar tampak berhamburan ke ruang terbuka. Untuk pertama kalinya sepanjang hidupku yang masih seumur jagung itu, mataku menyaksikan tiang listrik meliuk bak daun nyiur diterpa angin. Aku melihat tanah yang kami pijak bergeser hebat layaknya berdiri di atas ayunan. Aku menatapi rumah-rumah kokoh yang mendadak seolah berdansa.

  • 16:00 WIT

Alhamdulillah, walau sempat terpisah, aku bisa kembali berkumpul dengan orang tua dan kakak-kakakku. Aku yang masih belia belum bisa memproses betapa mengerikannya kejadian itu. Di kepalaku peristiwa tadi adalah sesuatu yang mendebarkan, tapi tak menakutkan. Semua orang berkumpul di halaman, ramai-ramai menyaksikan hal yang tak awam.

Sampai kemudian pelan-pelan si kecil aku paham. Keluargaku termasuk beberapa yang beruntung bisa selamat dari gempa bumi hebat dengan skala 8,2. Spontan saluran listrik dan komunikasi putus total. Rumah kami masih berdiri, tapi banyak bangunan lain yang tak bernasib sama di seantero kota Biak. Beberapa gedung termegah, seperti STIA Yapis Biak hingga Masjid Agung Baiturrahman Biak, berakhir luluh lantak.

Beberapa menit kemudian, kami kembali diterpa informasi menyakitkan bahwa gempa ini menimbulkan gelombang tsunami setinggi 7 meter yang menghajar garis pesisir Biak Numfor. Walau tempat tinggalku saat itu jauh dari pantai, namun kengerian yang dibawa berita bencana itu tetap mencekam para warga. Belakangan diketahui bahwa gempa dan tsunami Biak Numfor pada 1996 ini menyebabkan166 orang meninggal dunia, 432 orang terluka, dan 5 ribu lebih orang kehilangan tempat tinggal.

  • 19:00 WIT

Kami sekeluarga dan juga banyak penyintas lain tak lagi berani lagi masuk ke dalam rumah. Beberapa membangun tenda dari terpal di lapangan terbuka tak jauh dari kediaman dan bermalam di sana. Keluargaku dan beberapa tetangga tidur di pekarangan kami masing-masing. Sumber informasi hanyalah sebuah radio yang ditenagai 4 biji baterai.

Malam itu, suasana Ramadan yang biasanya meriah harus berubah prihatin. Tak lagi bisa aku berlarian di lapangan masjid bersama teman-temanku. Ikut salat tarawih sambil diselingi cengkrama (namanya juga anak kecil). Buka puasa pun harus seadanya dalam temaram cahaya lilin.

Di sisi lain, mati listrik total membuat langit jadi semakin terang malam itu. Bintang-bintang terhampar indah di angkasa. Kunang-kunang berkerlap-kerlip di sekeliling matras tempatku berbaring. Tak ada yang tahu kapan gempa susulan akan terjadi, atau bagaimana nasib kami tanpa listrik dan suplai makanan selama beberapa hari ke depan. Tapi hanya ada satu pertanyaan yang mengusik kepalaku saat itu.

"Bapak, kitorang jadi Lebaran ka tidak?" tanyaku polos kepada ayahku.

20 Februari 1996

Selama tiga hari terakhir Ramadan tahun itu, aku mengalami sebenar-benarnya esensi dari berpuasa. Menahan nafsu, menahan emosi, mengerahkan energi untuk hal bermanfaat.

Ketiadaan listrik dan hiburan membuat aku dan keluarga makin dekat karena tak terdistraksi game dan televisi. Tentu saja, aku sempat gusar karena tak bisa nonton Doraemon. Tapi aku justru  jadi belajar menghargai setiap hal yang selama ini mungkin terlewatkan. Betapa indahnya solidaritas antara aku dan para tetangga yang berasal dari berbagai suku dan agama berbeda. Selalu berbagi dan bahu membahu melalui bencana bersama.

Saat akhirnya Idul Fitri 1416H tiba, listrik di lingkunganku akhirnya diperbaiki dan kembali menyala. Sepulang salat Ied aku kembali bisa menyaksikan acara tv favorit. Sambil mendengarkan lagu-lagu Islami anak-anak yang kasetnya baru dibelikan bapak sepulang dari Jawa. Tapi yang paling penting, aku jadi semakin menghargai makna dari Hari Kemenangan.

Baca Juga: Balada Food Writer di Bulan Ramadan: Ngiler dengan Tulisan Sendiri

Topik:

  • Triadanti
  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya