Belanja Baju Lebaran yang Berakhir dengan Tangis dan Rangkulan

#CeritaRamadan

Jakarta, IDN Times - Ramadan, 2 September 2009 di Bandung. Aku berencana pergi belanja baju Lebaran ke Pasar Baru di Jalan Otista, bersama kedua temanku, Millah, Ike, dan Melda.

Siang usai kuliah, kami pergi ke sana menumpang bus Damri. Tiba di sana, kami langsung berkeliling melihat berbagai model baju yang nge-tren saat itu sampai kelelahan. Setelah bolak-balik di gedung tujuh lantai itu, ada beberapa baju yang belum kami dapat sampai kembali ke lantai satu. Dari dalam, terlihat cuaca di luar gelap. Awan di langit begitu hitam pekat.

"Aduh, aku belum nemu celana nih!" kata Ike.

Melda pun mengusulkan untuk datang ke toko langganannya, tapi dia lupa letaknya. Kami mencari toko itu. Kami juga sempat berhenti ketika melewati toko mukena karena Millah tertarik membeli.

Tak lama, kami melanjutkan pencarian toko langganan Melda. Sampai di pintu keluar sayap kiri gedung, kami masih tak menemukannya. Kebetulan di situ ada toko celana juga, Melda pun mengusulkan untuk melihatnya. Ike setuju.

Aku menemukan kursi kosong di depan sebuah toko dekat situ. Aku duduk di kursi itu. Sementara, Millah berdiri dan Melda tampak masih penasaran dengan letak toko langganannya. Tiba-tiba, aku merasakan getaran yang cukup hebat.

Aku berdiri, "Millah, kok ini kayak gempa?" tanyaku, agak panik.

Millah diam dan mencoba merasakannya. "Iya!" katanya.

Melda mendekat, "Mel, gempa, ayo lari! Ike, gempa, lari! Millah!" teriakku.

Kami segera keluar meskipun sulit karena berdesak-desakan. Orang-orang juga melakukan hal yang sama karena getaran itu sangat mengguncang. Sekuat tenaga kami keluar, pikiranku saat itu adalah aku harus lari ke jalan. Namun, mengapa Melda, Millah, dan Ike menyeberang dan diam di gedung samping gedung Pasar Baru ini?

Entah apa yang ada di pikiran mereka, terlihat jelas Melda melambaikan tangan mengajak bergabung. Aku tidak mau. Aku ingin pergi ke jalan. Ternyata Melda menembus kerumunan orang mengikutiku, sedangkan Ike dan Millah memilih jalur berbeda.

Kami berdua menembus orang-orang dan kendaraan yang menghalangi. Sial, sendalku terlindas Avanza yang ribut pencet-pencet klakson. Aku berteriak dan mencabut sendalku.

Usai gempa mereda, Jalan Otista seketika itu lumpuh total. Kendaraan tak bisa bergerak karena orang-orang menyelamatkan diri. Aku dan Melda sudah berada di tengah jalan, perasaan kacau dan hati tak menentu.

"Ike dan Millah di mana?" tanyaku pada Melda.

"Coba kamu telepon Millah, aku telepon Ike!" kata Melda.

Namun telepon tidak tersambung. Aku mengajak Melda menunggu sambil menghubungi Ike dan Millah di bundaran yang ada di pertigaan. Kami berdiri di bundaran itu bersama orang lain. Aku kembali menelepon Millah, kali ini tersambung.

"Halo, cuy, di mana? Kalian gak apa-apa kan?" tanyaku cemas.

"Iya cuy, kami gak apa-apa. Kami di jalan di depan yang arah stasiun. Kalian di mana? Kalian juga gak apa-apa kan?" tanyanya.

"Iya, alhamdulillah kami juga gak apa-apa. Aku dan Melda ada di bundaran yang di pertigaan itu. Sekarang gimana? Kita pulang!"

"Iya, kalian pulang duluan aja! Nanti ketemu di sana aja. Aku dan Ike juga gak apa-apa kok."

Ketika aku berbalik ke belakang, terlihat Ike melambaikan tangan. "Ike?! Melda, itu Ike, ayo cepet kita ke sana!" Aku dan Melda pun segera berlari ke arah Ike dan Millah yang ternyata tidak terlalu jauh.

"Cuuuuyyy!" teriak kami bersamaan. Kami berempat langsung berangkulan sambil menangis. Tak menyangka akan mengalami hal mengerikan seperti itu.

Gempa 7,3 SR Tasikmalaya ketika Ramadan yang tak akan pernah aku lupakan, dan membuatku tersadar tentang mudahnya manusia dijemput kematian.

 

(Tulisan ini pernah dimuat dalam buku 'Kisah Ramadhan' yang diterbitkan nulisbuku.com dengan judul 'Ramadhan yang Bergetar')

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya