Sesulit Inikah Puasa di Usia Dewasa?

Padahal sudah diberi fasilitas yang nyaman

Saat kecil, beranjak remaja, hingga menjelang dewasa, puasa menjadi salah satu ibadah yang paling saya suka. Saya berpuasa sejak kelas 2 SD, sekitar usia 8 tahun. Dua hari pertama berpuasa setengah hari, dan kemudian berpuasa full pada hari ketiga dan seterusnya. Hal ini berlangsung hingga dewasa. Tak ada yang menyuruh atau memaksa, semua atas kesadaran dan keinginan saya sendiri. 

Menurut saya, puasa di bulan Ramadan menjadi kenikmatan tersendiri. Selain karena dianggap bulan penuh berkah dan berlipat pahala atas segala ibadah, bulan Ramadan terasa sangat menyenangkan, karena hampir semua orang di sekitar saya ikut berpuasa. 

Tak hanya itu, beberapa tradisi unik hanya ada saat bulan puasa. Tradisi-tradisi keluarga pun termasuk, seperti memasak untuk buka puasa, berbuka dengan keluarga, sahur bersama, hingga "kerja bakti" dengan keluarga besar untuk menyambut Lebaran. Semua terasa menyenangkan.

Beranjak remaja, saya semakin suka berpuasa. Tak hanya puasa Ramadan, saya juga sering berpuasa Senin dan Kamis, serta pada bulan-bulan Hijriah tertentu. Bagi saya, berpuasa memberikan kenikmatan tersendiri. Saya pun bisa berlatih menahan diri dalam hal apa pun, termasuk emosi. 

Namun, "hobi" puasa tersebut memudar ketika sudah bekerja. Bahkan, kenikmatannya perlahan memudar. Puncaknya, saya justru merasa trauma dan membenci puasa, terutama puasa Ramadan dan Lebaran. Hal ini saya rasakan sejak sepeninggalan ibu, 2017 lalu.

Puasa tak lagi nikmat. Bulan Ramadan tak lagi spesial di mata saya. Bahkan, saya cenderung ketakutan mendengar kata puasa, Ramadan, dan Lebaran. Hingga saya menulis cerita ini pun, saya merasa sesak. Semua terasa berat bagi saya. 

Ada beberapa kejadian tak mengenakkan, bahkan buruk, di kehidupan saya, yang kebetulan selalu terjadi pada bulan Ramadan. Atau terjadi jauh sebelum itu, tetapi hal tersebut me-recall saat Ramadan. Saya sempat mengalami depresi pada 2021.

Sebulan penuh puasa, saya tak pernah bisa tidur malam. Ketika saya memejamkan mata pada malam hari, bayangan dan mimpi-mimpi buruk tentang orangtua saya menghantui. Badan dan pikiran saya sakit. Saya baru bisa tidur ketika matahari sudah terbit. Saya merasa aman tidur ketika matahari sudah terbit. Bayangan dan mimpi buruk itu tak lagi datang ketika ada matahari. Entah kenapa.

Meski demikian, saya tidak bisa tidur nyenyak pada waktu itu. Saya hanya bisa tidur pukul 06.00–08.00 pagi. Selebihnya saya terjaga. Secapek dan sengantuk apa pun, saya gak bisa tidur. Berbagai macam olahraga dan yoga saya lakukan, hasilnya nihil. Saya pun membeli obat tidur, hasilnya sama. 

Anehnya, ketika hari terakhir puasa dan mendengar takbir berkumandang tanda Lebaran, saya bisa tidur lebih awal. Ada perasaan lega, "Ah, akhirnya Ramadan selesai juga." Apakah ini normal? Saya tidak tahu. 

Hal berbeda terjadi pada tahun lalu, 2023. Saya merasa "trauma" saya terhadap puasa dan Ramadan perlahan pulih. Hampir tiga pekan pertama saya menjalankan puasa dengan lancar. Namun, memasuki pekan terakhir, saya kembali "relaps." 

Seorang teman baik di kantor meninggal bersama ayah dan ibunya karena kecelakaan. Tanpa saya sadari, hal ini menjadi trigger trauma saya. Sebab, saya pernah kecelakaan H-1 Ramadan yang akhirnya saya tidak bisa ke mana-mana. Alasan utamanya jelas karena trauma, baik secara fisik maupun psikis.

Saya termasuk anak motor, dalam artian selalu naik motor ke mana pun. Stress release saya adalah motoran. Namun, sejak kecelakaan itu, saya ketakutan naik motor. Seolah semua orang akan menabrak saya. Dalam jarak kurang dari 2 kilometer pun, kepala saya berdenyut hebat. Alarm badan saya masih cukup trauma.

Kembali soal "relaps," saat itu saya merasa benar-benar sendiri. Saya tidak berani cerita kepada siapa pun, termasuk kepada psikolog saya. Di pikiran saya, menjelang Lebaran adalah masa-masa quality time bersama keluarga dan orang tersayang. Saya tidak mungkin merusak momen bahagia itu dengan cerita depresi saya. 

Ya, bisa diduga, kondisi saya semakin parah, karena saya merasa terisolasi seorang diri. Insomnia kembali kambuh. Kerjaan saya hanya nangis setiap hari. Tentu saja akhirnya merembet ke sakit fisik. Asam lambung saya cukup parah. Segala jenis obat terasa sia-sia. Bahkan, berlangsung intens hingga tiga bulan setelah Lebaran. 

Baca Juga: Cerita Ramadan: Puasa demi Imbalan hingga Antre Tanda Tangan Ustaz

Sesulit Inikah Puasa di Usia Dewasa?Ilustrasi wanita melompat dari tebing (pixabay.com)

Hampir 7 tahun terakhir saya struggling dengan puasa, Ramadan, dan Lebaran. Saya dibantu seorang psikolog dua tahun terakhir untuk proses pulih. Yang baru saya sadari kemudian, saya kehilangan memori tentang puasa Ramadan dan Lebaran beberapa tahun setelah ibu saya meninggal. Saya benar-benar tidak bisa mengingatnya, ke mana saya, ngapain aja, dan sebagainya. Ingatan saya hanya hal-hal buruk sebagai highlight Ramadan.

Saya mencari berbagai dokumentasinya di galeri foto pribadi, hasilnya nihil. Tak ada satu pun foto atau video yang tersisa. Anehnya, saya memiliki dokumentasi berbagai kegiatan saya sepanjang tahun, kecuali Ramadan dan Lebaran. Alhasil saya kesulitan untuk mengingat. Psikolog saya menganjurkan untuk bertanya kepada orang-orang terdekat. Tentu saja, mereka juga tidak tahu dan tidak ingat.  

Ada beberapa kejadian kurang menyenangkan lainnya yang tak bisa saya ceritakan. Terlalu panjang hehehe...

Pada intinya, berbagai pengalaman kurang menyenangkan tersebut memengaruhi kecintaan saya terhadap puasa dan bulan Ramadan. Sesuai aturan agama Islam, seorang muslim wajib berpuasa Ramadan, kecuali berhalangan seperti sakit, menyusui, melahirkan, lansia, dan gila. Namun, tetap harus menggantinya di hari lain.

Dengan memegang prinsip ini, sejak kecil saya berusaha keras untuk tak melewatkan puasa dengan alasan apa pun. Ketika merasa tak enak badan pun, saya merasa tetap wajib puasa. Saya hanya absen puasa ketika haid. Memasuki bulan Syawal, saya langsung membayar utang puasa saya, kemudian lanjut berpuasa sunah Syawal. 

Hal baik tersebut terasa begitu berat dalam beberapa tahun terakhir. Saya tak pernah lagi membayar utang puasa. Kita diberi kesempatan selama hampir 11 bulan untuk membayar utang tersebut, tapi saya selalu gagal untuk menunaikannya. Badan saya ogah, bahkan untuk memikirkannya saja, saya sudah lelah.

Yang saya lakukan akhirnya hanya membayar fidyah. Ya, saya tahu, seharusnya tak boleh membayar fidyah ketika fisik masih kuat. Namun, hanya itu yang bisa saya lakukan, daripada tak melakukan apa-apa. Allah Maha Tahu, pikir saya. 

Jelang Ramadan tahun ini, ada perasaan khawatir dan takut yang kembali mampir. Semakin mendekati bulan puasa, ada beberapa "mantra" yang terus saya gaungkan. "Just be present. No need to worry about yesterday or tomorrow."

Saya menulisnya di papan kecil di kamar saya. Setiap hari saya melihatnya, membacanya, dan melantunkannya, berharap semua akan baik-baik saja. Kita hanya punya hari ini, lakukan yang terbaik untuk hari ini. Soal besok, kita pikirkan besok lagi. Soal kemarin, tak perlu ada yang disesali, disyukuri saja. 

Memasuki Ramadan, "mantra" saya berganti menjadi,

"Happy fasting. Enjoy your fasting. Make it simple. Make it easier. Make it comfortable." 

Hanya ini yang saya pegang. 

Hal ini sejalan dengan pesan psikolog saya. Dia mengatakan, syarat wajib berpuasa adalah sehat. Namun, sehat seharusnya bukan hanya soal fisik. Sakit fisik akan mudah ketahuan dan terdeteksi, tetapi sakit mental sangat sulit diukur. "Padahal sama-sama sakit," kata dia. Dia pun berpesan saya boleh berhenti berpuasa kapan pun ketika saya merasa tidak kuat, relaps, atau apa pun itu. Ambil jeda untuk nanti berjalan kembali.

Ajaibnya, dengan adanya validasi saya boleh berhenti kapan pun ketika merasa tak sanggup, justru itulah yang sangat membantu saya. Mungkin selama ini saya terlalu "ambisius" dengan puasa Ramadan, karena datangnya hanya setahun sekali. Sayang jika harus melewatkannya.

Di pengalaman sebelumnya pun saya terkesan memaksakan diri berpuasa ketika tak enak badan, atau jelas sedang sakit. Padahal aturan puasa bukanlah seperti itu. Saya jadi sadar, bahwa Allah tak mungkin memaksakan hambanya untuk tetap berpuasa dalam kondisi sakit. 

Dalam ibadah utama salat saja, banyak sekali kemudahan yang bisa kita dapatkan. Bukankah prinsip Islam juga memudahkan setiap umatnya? Ibadah salat dan puasa memang wajib, tetapi pilihlah yang memudahkan bagimu.

Sesulit Inikah Puasa di Usia Dewasa?Ilustrasi pekerja kantoran (pexels.com)

Mungkin selama ini saya mematok standar zaman nabi. Saat zaman Nabi Muhammad, mereka bahkan berperang dalam kondisi berpuasa. Kenapa sekarang kita yang sudah banyak kemudahan ini itu justru tidak bisa menjalankannya dengan baik? Saya lupa kalau Islam itu kontemporer, artinya selalu mengikuti perkembangan zaman. 

Saya sempat ada di masa tak berani bercerita kepada siapa pun tentang kesulitan berpuasa ini. Hingga akhirnya mulai terbuka, dan surprisingly saya tidak sendirian. Beberapa orang yang saya temui juga mengungkapkan hal sama. Sulitnya berpuasa di usia dewasa. Padahal rata-rata kami para pekerja kantoran dengan fasilitas AC di ruangan yang nyaman. Seharusnya lebih mudah, bukan? 

Kami lantas membandingkan dengan berbagai profesi yang lebih sulit dibanding kami, seperti para pekerja seni di dunia hiburan, pelatih di pusat kebugaran yang harus mengajar 3-4 kelas high intensity dalam kondisi berpuasa, hingga orang-orang yang bekerja di outdoor dan kepanasan. Apa kabar mereka, ya?

Kembali soal puasa tahun ini. Memasuki hari ke-10 puasa tahun ini, Alhamdulillah saya merasa happy dan lancar. Saya benar-benar mindfull menjalani puasa kali ini. Di hari pertama berpuasa, saya merasa sangat haru ketika berbuka. "Yeay berhasil, Alhamdulillah berhasil." Seperti anak kecil, ya? Hahahaa...Tidak ada respon buruk dari badan dan mental. Saya senang sekali.  

Setiap hari saat berbuka puasa, saya selalu berucap syukur, karena dapat melewati hari ini dengan berpuasa lancar, bekerja lancar, dan berbuka puasa dengan proper. Sungguh nikmat luar biasa. The power of mindfulness. Saya tak lagi khawatir dan ketakutan berlebihan, saya berusaha sekuat tenaga untuk memusatkan perhatian di momen kini dan menghargai segala proses yang saya jalani, sekecil apa pun itu.

Semoga puasa kita semua lancar dan penuh berkah, ya. Buat kamu yang juga sedang kesulitan atau bahkan sakit, tak apa ya untuk bernapas sejenak. Kita mulai kembali ketika sudah siap berjalan dan berlari lagi. 

Baca Juga: Cerita Ramadan: Non Muslim Coba Ikut Puasa, Keterusan Sampai 10 Tahun!

Topik:

  • Dewi Suci Rahayu
  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya