Chemistry Tuhan di Langgam Jawa

“Kunang-kunang itu kukunya orang mati.”

Saya sedang rebahan di atas bale berlapis kasur kapuk tipis ketika Mas Bas tiba-tiba masuk ke kamar.

“Tarawih, yuk,” katanya.

“Nggak, ah!” sahut saya spontan.

Saya baru tiba di rumah si Mbah pagi tadi. Badan rasanya masih pegal dan kaku semua. Perjalanan 12 jam dengan kereta sungguh melelahkan, apalagi untuk anak kecil seperti saya. Kalau tidak salah, saat itu saya baru kelas 5 SD.

“Ayolah, aku takut kalo jalan sendiri,” Mas Bas merajuk. Usianya hanya dua tahun lebih tua dari saya.

Kampung si Mbah berada di pelosok Cilacap. Akses ke sana lumayan susah karena jalannya belum diaspal. Di desa hanya ada beberapa rumah yang sudah dialiri listrik, itu pun masih sering biarpet.

Kalau malam benar-benar gelap. Selain itu banyak cerita mistis di kampung ini. Sebab, menurut Pakde saya, ada beberapa petilasan di kampung. Petilasan-petilasan ini konon pernah dijadikan tempat bersemedi. Jadi memang angker.

“Saya pernah ketemu Banaspati,” kata Pakde suatu malam saat kami berkumpul. Banaspati adalah setan berwujud bola api. Ia bisa terbang dan bahkan mengejar orang.

“Pakde lari, gak?” kata saya ketika itu.

“Gimana bisa lari, wong kaki saya mendadak kaku,” katanya.

Kami tertawa mendengarnya. Tapi setelah itu kami gak berani tidur sendiri-sendiri.

Jadi saya bisa memahami rasa takut Mas Bas dan karenanya gak tega melepasnya sendirian ke musala.

Lokasi musala sebenarnya berada persis di depan rumah si Mbah. Tapi di antara rumah si Mbah dan musala ada hamparan sawah membentang luas. Ada jalan kecil berbatu di tepian sawah. Tapi hujan yang turun beberapa hari terakhir membuat jalan tersebut jadi blekuk. Selain itu jalannya juga gelap.

“Kita lewat irigasi aja,” kata Mas Bas.

Irigasi yang dimaksud adalah saluran air yang terbuat dari beton. Saluran itu menyuplai air ke setiap petak sawah, termasuk sawah-sawah yang berada di depan rumah si Mbah dan di dekat musala. Jadi saluran irigrasi itu bisa untuk jalan pintas menuju musala.

Hanya saja permukaan saluran tersebut sempit dan licin karena berlumut. Karena itu saya hanya bisa melangkah perlahan, setapak demi setapak, tanpa berani mengalihkan pandangan karena takut terpeleset.

Saat itu Mas Bas tiba-tiba berseru, "Lihat, tuh!".

Saya menoleh dan terpana melihat kunang-kunang beterbangan di langit malam. Kelap-kelip sayapnya seperti menggantikan bintang-bintang yang malam itu tak muncul. Rasanya kunang-kunang itu sengaja menerangi dan menemani kami.

“Kamu tahu gak? Kunang-kunang itu kukunya orang mati,” kata Mas Bas.

“Hus! Mas tadi minta ditemani, sekarang malah nakuti,” saya menatapnya geram. Mas Bas cuma nyengir.

Azan Isya mulai terdengar ketika kami akhirnya tiba di musala. Ternyata musalanya hanya berupa bangunan kecil yang berdiri ditopang semen dan kayu. Jemaahnya pun gak banyak.

Menurut cerita ibu, ada dua golongan warga di kampung ini. Pertama golongan santri, kedua golongan abangan.

Golongan santri adalah warga yang sempat mondok di pesantren atau warga yang sering salat berjemaah di musala. Mereka suka sarungan dan berpeci.

Sementara golongan abangan itu mereka yang jarang muncul di musala tapi sering hadir di acara syukuran, selamatan, atau kendurian. Mereka mendominasi populasi di kampung ini. 

Meski berbeda, kedua golongan ini hidup berdampingan, rukun, adem, tentrem.

Kalau malam takbiran misalnya, warga santri berkumpul di musala. Mereka bertakbir dan memukul beduk. Pada saat bersamaan warga abangan menyalakan petasan di sepanjang jalan desa. Semakin banyak kertas bekas petasan berserak di jalan, semakin bahagia mereka.

Kedua golongan ini saling melengkapi sehingga malam takbir dan lebaran lebih semarak dan bisa dinikmati bersama.

Saya sendiri, bersama bapak dan ibu, termasuk golongan abangan. Tapi kalau bulan Ramadan, apalagi pada malam-malam terakhir seperti ini, saya suka costplay jadi santri. Menemani Mas Bas tarawih ini bagian dari costplay saya.  

Oya, keluarga saya biasa mudik sepekan sebelum lebaran. Alasan bapak ketika itu, biar keretanya gak terlalu penuh. Tapi saya curiga itu hanya alasan agar saya gak rewel minta baju baru.

Jadi, ketika teman-teman saya sibuk beli baju di Ramayana atau Robinson, saya justru diungsikan ke kampung. Tapi saya gak ngambek. Karena ternyata banyak anak di kampung sini berlebaran tanpa baju baru. 

“Wudu dulu di sana,” kata Mas Bas sambil menunjuk dua kendi besar di samping musala. Dari kendi tersebut mengucur air bening. Rasanya segar, bahkan dingin, saat saya memercikkan air tersebut ke wajah.

Meski jemaahnya tidak banyak dan bangunannya kecil, tarawih di musala malam itu terasa begitu syahdu. Surah-surah pendek yang dibacakan imam salat bersahutan dengan derik jangkrik, sesekali diselingi siulan bilah-bilah daun kelapa yang tertiup angin.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya saya mendengar ayat-ayat suci Alquran dilantunkan dengan langgam Jawa. Seperti ada sesuatu yang mengusap hati saya, sesuatu yang membuat saya sejenak termangu lalu tanpa sadar mberebes mili. 

Saya kecil jarang salat dan karenanya malas tarawih. Kalaupun terpaksa tarawih, biasanya saya akan ngabur setelah beberapa rakaat. Tapi malam itu saya tarawih hingga tuntas. Seolah saya menemukan chemistry dengan Tuhan melalui ayat-ayat-Nya yang dilantunkan dengan langgam Jawa.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Jadi, Udah Azan Subuh Apa Belum, sih?

Topik:

  • Dwi Agustiar
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya