Pengalaman Jadi Minoritas Bikin Saya Lebih Toleran

#CeritaRamadan Toleransi bikin dunia lebih nyaman ditinggali

Di tengah dunia yang makin akrobatik, toleransi jadi hal yang bisa dibilang langka saat ini. Apapun bisa mengundang pro dan kontra, mulai dari beda pilihan dalam hal politik, beda pilihan gaya hidup, hingga yang masih dan selalu memancing perdebatan adalah perbedaan dalam hal agama. Untuk itu sikap menghargai dan menganggap pilihan orang lain setara dengan apa yang kita pilih memang wajib ditanamkan dalam diri setiap individu.

Beruntungnya, pelajaran budi pekerti ini bisa saya dapatkan sejak kecil. Tanpa memberikan teori panjang tentang toleransi, orangtua saya langsung mencemplungkan saya dalam praktik toleransi yang riil di mana mereka mendaftarkan saya untuk menempuh pendidikan di salah satu sekolah swasta Katolik yang ada di Malang.

Bagi mereka yang berasal dari Kota Dingin Malang, pasti pernah mendengar Cor Jesu. Yayasan pendidikan Katolik kenamaan di bawah naungan Ordo Santa Ursula ini punya bentuk bangunan sekolah mirip Hogwarts yang mencolok dengan letaknya yang strategis di jalan protokol kota Malang. Sehingga siapapun yang kebetulan lewat di depan sekolah ini, pasti akan langsung menoleh.

Cor Jesu Malang sendiri memayungi banyak jenjang pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA, serta SMK. Dan kebetulan saya menghabiskan 9 tahun masa pendidikan saya di sekolah yang juga punya gereja historikal di dalamnya itu. Ya, saya menjalani masa pendidikan SD dan SMP saya di sekolah ini meski saya beragama Islam.

Saat duduk di sekolah dasar, pelajaran agama Katolik yang diajarkan membuat saya hafal doa Bapa Kami dan doa Salam Maria, sebagaimana saya juga hafal Al Fatihah dan surat-surat pendek Al Quran lainnya. Sebab, meskipun di jam 7 pagi sampai 4 sore saya sekolah seperti biasa, orangtua juga mengantarkan saya untuk mengaji di TPQ dekat rumah di sore harinya. Kemudian karena piket kelas, saya pun kebagian untuk memimpin Doa Angelus yang dilaksanakan setiap jam 12 siang begitu bel gereja selesai berbunyi. Tak hanya itu, karena Cor Jesu punya dasar agama yang kuat sekali, saya juga ikut misa 3 bulanan atau misa hari-hari besar agama Katolik yang selalu diadakan di gereja sekolah. Saya sih senang-senang saja karena biasanya setelah misa, ada waktu luang yang saya dan teman-teman pakai untuk bermain atau sekadar ke perpustakaan dan membaca buku Lima Sekawan kesukaan.

Lulus dari sekolah dasar, ternyata orangtua saya juga masih enggan untuk memindahkan saya dari Cor Jesu. Alasannya karena sekolah ini mengajarkan kedisiplinan yang diperlukan untuk dasar kehidupan. Alhasil saya pun kembali menjalani masa pendidikan saya di SMPK Cor Jesu.

Di usia aqil baligh tersebut saya pun mulai belajar untuk berpuasa Ramadan. Tanpa ada pikiran atau privilege apapun dari sekolah, ya sudah saya lakukan saja salah satu kewajiban agama saya ini. Saya tetap menjalani full day school, tetap mengikuti pelajaran olahraga, dan tetap berlatih untuk paduan suara gereja hingga sore hari. Rasa lapar dan haus memang ada, namun saya tidak "menuntut" lingkungan di sekitar saya untuk mengerti keadaan saya yang berpuasa.

Saat teman-teman saya di sekolah negeri lainnya mendapatkan jatah libur puasa selama 1 bulan full, saya tetap bersekolah seperti biasa. Berangkat pukul 6.45 dan pulang ke rumah (kalau tidak ada kegiatan tambahan) pukul 15.45. Semua saya jalani dengan biasa saja meski lucunya kadang teman-teman saya sendiri yang sungkan kalau makan atau minum di depan saya ketika mereka tahu bahwa saya sedang puasa.

Lambat laun ketika saya dewasa, saya menyadari bahwa apa yang saya alami di masa sekolah membentuk saya jadi manusia yang punya tingkat toleransi dan pemahaman yang tinggi akan agama orang lain. Konflik baik vertikal maupun horisontal karena agama sungguh tidak bisa masuk di akal saya. Sebab pengalaman mengajarkan saya bahwa semua agama itu punya sumber yang sama yakni kebaikan hati yang sebenarnya sudah tertanam dalam hati masing-masing manusia. Tinggal bagaimana kita mengolahnya.

Tanpa kebaikan dan toleransi yang ada, saya tidak akan bisa menjalani ibadah puasa saat masih bersekolah dengan bebas dan biasa saja jika teman-teman saya tidak berusaha memahami agama saya. Atau, saya juga tidak akan duduk diam di gereja untuk mendengarkan khotbah pendeta jika saya tidak menganggap bahwa agama orang lain punya kedudukan yang setara. Well, nilai-nilai itulah yang hingga saat ini masih saya bawa.

Pengalaman menjadi minoritas yang menjalankan ibadah puasa di sekolah Katolik memberikan saya pelajaran bahwa selain melihat dan mendengar, we need to aknowledge the hidden experiences and be curious about context as much as circumstance of others. Bagi saya, kemampuan melihat, mendengar, dan memahami itu diperlukan untuk menciptakan dunia yang lebih nyaman untuk ditinggali. Semoga setiap orang mau mengusahakan kemampuan tersebut untuk tumbuh di dalam dirinya.

Baca Juga: Petaka Sekeluarga Keracunan Urap, Gak Lagi-Lagi Lebaran di Rumah Sakit

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya