[OPINI] Refleksi Kartini: Feminisme dan Kesalahpahamannya

Feminisme tak hanya memperjuangkan kepentingan perempuan

Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, feminis nasional pertama di Indonesia. Melalui pemikiran-pemikirannya, Kartini mampu membebaskan perempuan dari belenggu tradisi. Perjuangan pahlawan nasional kelahiran Jepara dalam mengangkat harkat dan martabat kaum sebangsanya akan terkenang sepanjang masa.

Di balik hiruk pikuk perayaan Hari Kartini, masih ditemukan segelintir pandangan negatif yang ditujukan pada feminisme. Padahal, feminisme dijadikan Kartini sebagai ujung tombak perjuangannya. Feminisme sejatinya hendak menebas ketimpangan sosial, politik, dan budaya. Namun, apa daya, justru streotip yang melekat padanya. Di bawah ini uraian mengenai beberapa kesalahpahaman yang melingkupi feminisme. Yuk, luruskan!

1. Feminisme hanya membela kepentingan perempuan

[OPINI] Refleksi Kartini: Feminisme dan Kesalahpahamannyailustrasi perempuan (unsplash.com/linkedinsalesnavigator)

Sebagai sebuah ideologi, feminisme memperjuangkan kesetaraan gender. Itu artinya, feminisme tak hanya membela kepentingan kaum perempuan, melainkan juga laki-laki. Sayangnya, sebagian besar masyarakat tak menyadari hal ini. Wajar saja, budaya patriarki telah menempatkan kaum adam pada puncak kekuasaan berabad lamanya. Dengan kata lain, laki-laki telah dininabobokan oleh budaya yang membesarkannya dengan cinta bersyarat.

Cinta bersyarat yang dimaksud ialah tuntuntan untuk menjunjung tinggi nilai maskulinitas. Misalnya, laki-laki dituntut selalu kuat, maka menangis adalah hal yang memalukan dan dianggap simbol kelemahan. Padahal, menangis itu manusiawi, tak ada sangkut paut dengan kelemahan ataupun gender. Isu-isu seperti inilah yang juga digempur oleh feminisme. Jadi, sebagai kaum adam, jangan merasa dianaktirikan lagi, ya?

2. Feminisme digunakan untuk menyerang dan melawan kaum lelaki

[OPINI] Refleksi Kartini: Feminisme dan Kesalahpahamannyailustrasi pertengkaran laki-laki dan perempuan (unsplash.com/javaistan)

Stereotip yang paling populer: feminisme melawan laki-laki. Anggapan tersebut salah besar, ya! Feminisme melawan budaya patriarki, bukan laki-laki. Laki-laki juga bisa jadi korban patriarki, kok! Hanya saja, perempuan mendapat lebih banyak tekanan. Oleh karena itu, perempuan menggunakan feminisme untuk membebaskan diri dan memimpin emansipasi.

Laki-laki dan perempuan tak semestinya saling tendang. Sebab, perjuangan ini bukan perang antar jenis kelamin, tetapi perjuangan untuk menumpas ketimpangan peran. Keseimbangan kehidupan hanya dapat dicapai bila laki-laki dan perempuan saling melengkapi. Jadi, yuk kerja sama!

3. Feminisme menentang kodrat perempuan

[OPINI] Refleksi Kartini: Feminisme dan Kesalahpahamannyailustrasi perempuan dan anak (unsplash.com/huanshi)

Kodrat merupakan sesuatu yang tak bisa diubah, maka kodrat perempuan adalah menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Sejatinya, tak ada kodrat yang bisa dilawan karena bersifat mutlak dan kehendak Tuhan. Melawan kodrat sama artinya dengan menantang Yang Mahan Kuasa, kan? Oleh karena itu, anggapan bahwa feminisme melawan kodrat perempuan adalah gagasan yang konyol dan tak masuk akal.

Feminisme tak pernah menentang kodrat perempuan, tetapi menentang konstruksi sosial-budaya yang menempatkan perempuan pada posisi inferior atau lemah. Misalnya, perempuan tak boleh berpendidikan tinggi, tak boleh mandiri finansial, tak boleh terlalu pandai, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, feminisme tak sepakat bila perempuan dianggap sebagai gender kedua.

Baca Juga: Muda dan Berdaya! Inilah 5 Tokoh Feminisme Muda Inspiratif Zaman Now  

4. Feminisme sinis terhadap peran ibu rumah tangga 

[OPINI] Refleksi Kartini: Feminisme dan Kesalahpahamannyailustrasi ibu rumah tangga (unsplash.com/beccatapert)

Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti tunduk pada nilai patriarkial, apalagi jika dilaksanakan tanpa paksaan. Sama dengan berkarir, pilihan melakukan pekerjaan domestik juga bagian dari kehendak bebas perempuan. Hal ini jelas berbeda dengan domestikasi, lho!

Penganut paham feminisme tentu paham, bahwa menikah itu soal pembagian peran. Selama tugas dibagi secara adil dan rata, tak akan ada lagi pihak yang superior dan inferior. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti membatasi gerak perempuan hanya di kasur, sumur, dan dapur. Siapa bilang jadi ibu rumah tangga tak bisa berdaya? Dewasa ini mulai bermunculan figur ibu rumah tangga yang jadi pemberdaya lingkungan dan masyarakat, bahkan punya kerja sampingan. Dengan demikian, berkarir di ranah publik atau jadi ibu rumah tangga sejatinya hanya soal pilihan!

5. Feminisme adalah ideologi liberal

[OPINI] Refleksi Kartini: Feminisme dan Kesalahpahamannyailustrasi feminisme (unsplash.com/jentheodore)

Siapa yang masih sering sewot dan beranggapan semua feminis itu liberal? Aliran liberal dalam feminisme memang ada, tetapi tidak seluruhnya. Sebagaimana ideologi lain, feminisme punya beberapa aliran, yakni aliran liberal, radikal, marxis-sosialis, eksistensialis, dan beberapa aliran lainnya. Jadi, jangan pukul rata lagi, ya!

Anggapan paling parah soal feminisme ialah ideologi satu ini dinilai bertenatangan dengan nilai rohani keagamaan. Padahal, beberapa cendekiawan muslim juga punya paham feminisme, lho! Kang Husein Muhammad dan Nyai Badriyah Fayumi adalah contoh nyata. Oh ya, tahukah kamu bahwa salah satu organisasi masyarakat islam, Nahdlatul Ulama (NU) punya sayap perempuan? Fatayat NU adalah lembaga otonom yang menaungi para perempuan di lingkungan NU.

Nah, itu dia hal-hal tentang feminisme yang sering disalahpahami. Kalau kamu masih punya pandangan negatif tentang feminisme, jangan dilanggengkan, ya?

Baca Juga: [OPINI] Feminisme dalam Genggaman Patriarki

Himatul Aliyah Photo Verified Writer Himatul Aliyah

Anak mbarep yang lahir otodidak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya