Core Memory Unlocked saat Menjalankan Puasa Ramadan di Perantauan

Kehangatan Ramadan juga bisa ditemukan di luar rumah

Duduk melingkar di meja makan, menyantap hidangan pelepas rasa lapar bersama, dan riuh suara anggota keluarga ketika buka puasa bersama adalah gambaran yang muncul sebagai core memory saya akan Ramadan. Sebagai orang yang tinggal bersama keluarga selama 17 tahun berturut-turut, Ramadan saya tidak pernah sepi. Selalu penuh cerita dan rasa kebersamaan dengan ayah, ibu, serta saudara-saudara. 

Namun di usia saya yang hampir memasuki kepala 2 saat itu, tepatnya pada tahun 2015, saya harus meninggalkan rumah untuk melanjutkan studi ke luar kota. Di 2 tahun pertama, saya tidak mempermasalahkan apa pun karena pada saat itu, Ramadan jatuh tepat pada saat kampus sedang libur semester. Kebersamaan yang melekat selama 17 tahun itu tetap ada, karena saya bisa pulang sebelum bulan suci ini dimulai. 

Tahun pertama, tahun kedua, lalu memasuki tahun ketiga perkuliahan. Karena sistem pertanggalan Hijriah yang selalu maju dibandingkan kalender biasa, tibalah saat di mana saya harus menjalani puasa Ramadan di tanah rantau. 

Pada awalnya, saya tidak ambil pusing karena ini adalah tahun ketiga saya. Dengan rasa percaya diri yang sedikit terlalu tinggi, saya berpikir, "Alah gak bakal ada bedanya dengan hari-hari biasa."

Ekspektasi saya terhadap diri sendiri mungkin terlalu tinggi saat itu. Ternyata, puasa pertama jauh dari keluarga cukup menantang. Yang paling sulit untuk saya saat itu adalah mengatur makanan saat sahur dan buka puasa. Awalnya, saya mengusahakan masak sendiri, sedangkan sayur saya beli di warung sekitar kost. Kadang lauk juga beli, sih, kalau bingung. Namun lama kelamaan, saya kesulitan mengatur waktu karena perkuliahan sedang sibuk-sibuknya, begitu pula dengan organisasi. 

Karena cukup kewalahan dengan kesibukan sehari-hari, saya mulai kurang menjaga kesehatan. Saat buka puasa, sering kali saya masih di kampus sehingga cuma sempat makan makanan ringan yang tersedia di koperasi mahasiswa. Kalau sempat beli makanan berat pun, dengan menu seadanya yang tidak bergizi. 

Sahur apalagi. Saya hanya bisa beli lauk dari tempat makan yang saya lewati di jalan pulang. Paling berkisar antara ayam kremes, pecel ayam, ayam goreng, atau makanan warteg. Kalau pulang terlalu larut, saya akhirnya hanya bisa mempersiapkan frozen food atau yang lebih parah lagi, mi instan. Dengan pola makan ala anak kost yang awur-awuran ditambah stres karena UAS, akhirnya tubuh ini pun tumbang.

Saya masih ingat, saat itu pintu kamar kost saya diketok-ketok kencang oleh ibu penjaga di Minggu sore menjelang azan magrib. Dia juga memanggil-manggil nama saya dari luar dengan panik.

Perut saya lagi sakit-sakitnya saat itu karena asam lambung yang kambuh. Lalu saking sakitnya, saya memutuskan untuk tidur dan akhirnya tidak menjawab panggilan dari ibu saya sama sekali. Beliau pun menelepon ibu penjaga kost yang memang sudah cukup dekat dengan kami untuk menanyakan kabar saya. 

Saat saya membuka pintu, ibu penjaga kost makin panik karena wajah saya menurutnya tampak seperti mayat hidup. Ia bahkan sudah siap untuk memanggilkan ojek pangkalan di depan kost untuk mengantarkan saya ke rumah sakit, tapi saya menolak karena takut diopname. Saya hanya titip beli obat asam lambung karena tidak kuat untuk keluar kost. Sesuai dugaan, saya menghabiskan setidaknya 5 hari untuk beristirahat dan tidak puasa. Untungnya, saat itu saya masih kuat menjalani badai UAS di tengah Ramadan.

Di momen sakit itu, semua ingatan tentang Ramadan di tahun-tahun sebelumnya pun menghampiri. Ramadan jauh dari keluarga memang tidak mudah, rasa homesick yang sebenarnya sudah memudar karena ini adalah tahun ketiga saya, tak bisa dimungkiri kembali lagi.

Rasa rindu akan kebersamaan dengan keluarga sangat besar. Rindu akan masakan ibu, rindu beribadah bersama, rindu dengan sepupu-sepupu kecil saya yang datang dengan ramai ketika bukber. 

Ditambah lagi dengan kondisi yang sakit dan stres, saya harus tetap mengusahakan semuanya sendirian. Masih banyak tugas dan tanggung jawab yang menanti, apalagi sebenarnya ini terjadi di minggu UAS. Di momen itu, saya bertekad untuk segera pulih karena bagaimanapun, saya cuma bisa bergantung pada diri sendiri. 

Untungnya, Ramadan saya berangsur-angsur membaik seiring dengan pulihnya kondisi tubuh. Jika sebelumnya tak acuh, saya jadi sangat memperhatikan kesehatan. Stop makan makanan tidak sehat, stop makan pedas, dan menambahkan sayur ke menu makan setidaknya saat sahur.

Saya juga bersyukur punya sahabat-sahabat yang care, selalu menemani, dan membantu saya dalam banyak hal. Berkat mereka, Ramadan di perantauan jadi terasa jauh lebih hangat, walaupun kami juga sama-sama dilanda stres karena UAS. Setelah ujian selesai, kami pun memutuskan untuk selebrasi kecil-kecilan dengan buka puasa di luar demi melepas stres. Bercerita, makan, berfoto, dan shopping tipis-tipis jadi momen sederhana yang membekas di benak saya sebagai core memory baru di bulan Ramadan. 

Semua perjuangan itu terbayar saat momen mudik tiba. Saya pulang ke kampung halaman kira-kira seminggu sebelum Lebaran tiba. Kembali menyantap masakan ibu, tarawih bersama, sahur yang lebih sehat dan terjamin, dan suasana Ramadan yang familier itu pun jadi terasa jauh lebih berharga. 

Baca Juga: Cerita Ramadan: Ikut Mudik Gratis saat Lebaran Ternyata Bikin Encok

Topik:

  • Izza Namira
  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya