Apa yang Berkembang di LPEI?

Apa yang terjadi saat Menkeu menemui Jaksa Agung

Apa kiranya yang terjadi dan berkembang di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), sehingga Ibu Menkeu Sri Mulyani Indrawati mendatangi Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di kantornya, melaporkan kemungkinan terjadi tindak pindana korupsi di LPEI yang menyangkut jumlah Rp3 triliun?

Dari segi jumlah uang tentu ini suatu berita yang tidak main-main mengagetkan. Bagaimana persisnya pelanggaran yang dilakukan belum jelas diungkap. Dan, segera atas laporan tersebut kedua instansi ini membentuk suatu tim penyelidikan untuk mempelajari tindakan tersebut. Bagaimana rencana operasi, siapa yang tersangkut, dan seterusnya. Tim tersebut terdiri dari pejabat Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Jampidsus Kejagung dan Kepolisian.

Jaksa Agung menyebutkan bahwa ini baru tahapan pertama karena tampaknya masih ada satu kasus lagi yang jumlahnya juga sekitar sama dengan jumlah nilai
ini. Jadi perkembangan lain masih akan menyusul.

Saya masih sulit menggambarkan bagaimana operasi ini direncanakan. Namun saya dapat sedikit menebak, mungkin tidak jauh seperti apa yang pada waktu saya menjabat Menteri Muda Perdagangan di tahun delapan puluhan lalu, saya dapat sedikit menceritakan. Kasus yang kami dapati waktu itu bahwa telah dilakukan penarikan dari dana pinjaman LPEI kepada suatu perusahaan ekspor, tetapi kemudian ternyata perusahaan ekspor ini fiktif, yang dikirim sejumlah kotak yang isinya batu kali.

Saya sangat terkejut dan marah waktu itu, karena di satu pihak merasa bersama para pejabat Depdag diremehkan oleh eksportir fiktif ini, di pihak lain merasa gemas melihat pencoleng yang mengaku eksportir yang berani menipu pejabat dengan cara yang sangat menyakitkan tersebut. Ya, kasus ini kemudian diserahkan pihak kepolisian untuk menyelesaikannya secara hukum.

Namun sebagai kelanjutannya, karena beberapa bulan sesudahnya saya dipindah tugaskan menjadi Gubernur Bank Indonesia, saya meneliti kasus tersebut lagi dan dengan berat hati saya mengusulkan kepada Bapak Presiden bahwa fasilitas tersebut kita hentikan saja, minimal untuk sementara, dan itulah yang terjadi.

Saya ingin mengembalikan citra pengusaha ekspor kita di dunia perdagangan yang tercoreng akibat ulah pencoleng ini. Kembali, saya tidak tahu persisnya bagaimana kasus yang sekarang dilaporkan Menkeu kepada Jaksa Agungkali ini. Kita berharap agar semua diselesaikan dengan baik dan citra eksporir kita bisa dipulihkan di dalam hubungan perdagangan dunia. Buat saya rasanya ya seperti harus menelan ludah sendiri, tetapi saya tahu itu harus saya lakukan buat pelajaran kita bersama.

Para pejabat agar lebih berhati- hati dan waspada, dan buat para pengusaha agar belajar menghormati ketentuan secara benar, bukan seenaknya cari duit gampang tetapi berakhir masuk penjara. Suatu pelajaran mahal agar pengusaha jangan cari jalan pintas yang merusak citra pengusaha kita sendiri dan pejabat Indonesia. Kebiasaan jelek ini sekali dibiarkan akan mencoreng citra pengusaha Indonesia yang sangat susah kita bersihkan kembali. Jadi ya mereka harus benar-benar dihilangkan dari bumi Indonesia. Dan buat pejabat Indonesia, kita dianggap bodoh atau mudah disogok, atau keduanya. Jadi harus dibuang jauh dan kita mulai dengan lembaran baru yang tanpa cacat dan bersih, profesional dan disegani.

Sebenarnya waktu saya bertanya-tanya dengan rekan pengusaha yang bergerak di bidang ekspor-impor, kalau kita bekerja dengan tekun dan jujur, kegiatan ini tidak sulit
mendatangkan keuntungan yang lumayan dalam usaha. Karena itu mungkin juga
sebenarnya fasilitas seperti disediakan oleh LPEI justru tidak harus diberikan, kecuali
mungkin untuk usaha pionir yang lebih berisiko. Mugkin buat ekportir-importir pemula dan kecil hal ini bisa diberikan, dan nantinya dihentikan waktu mereka sudah bisa berjalan baik.

Saya infoin berbagai suatu cerita yang agak lucu dalam tugas saya di Bank Indonesia dalam kegiatan semacam ini. Ada seorang Menteri yang mempunyai pet project dan ingin dikembangkan. Beliau bercerita bahwa usaha ini relatif baru dan yang penting usaha tersebut sangat menguntungkan (lucrative). Nah, Menteri ini datang ke saya, berapi-api menceritakan pet project-nya, saya kira saking berapi-apinya menyebutkan bahwa kegiatan usaha ini sangat menguntungkan. Jadi saya sedikit dengan tersenyum menjawab, "Wah bagus itu kalau dikembangkan pak, tetapi kalau memang sangat menguntungkan kok mengapa Bapak merasa perlu menggunakan kredit bersubsidi KLBI?"

Beliau tentu sadar bahwa telah bikin argumennya jadi melemah. Jadi ya saya bilang, Kita tunggu dulu ya, biar berkembang dulu dengan menganjurkan mereka mengajukan pinjaman saja kepada bank komersial biasa, wong usaha yang sangat menguntungkan kok. Jadi batallah pemberian fasilitas yang memang tidak perlu tersebut. Ini bukan cerita bohong tetapi suatu kenyataan. Tugas berat memang ada juga aspek lucunya, ya kita harus mensyukurinya saja. Anggap saja itu semacam hiburan gratis dalam kerjaan.

Terakhir ini, cerita serupa. Ada pengusaha yang mengusulkan agar saya setuju memasukkan hasil rotan untuk furnatur yang pengusaha ini punya hubungan dekat dengan Presiden, partner main golf katanya. Dia bilang usulnya sudah diterima Presiden, jadi minta agar saya mau menggunakan kredit murah BI yang disebut KLBI.
Tapi saya bilang, "Maaf Pak." Saya tidak bisa bohong, wong gampang sekali menunjukkan ini bukan barang jadi, tetapi masih proses. Jadi kalau dikategorikan barang jadi agar bea masuknya rendah yaitu penipuan, saya tidak bisa.

Waktu dia ngotot, dan bilang bos sudah setuju, saya tahu ini bluffing, saya ganti bilang, tapi Dradjad belum setuju. Jadi pertemuan selesai tanpa hasil konkrit. Ini semua cerita benar, bukan bohong, tapi saya lebih baik berhenti di sini saja dulu berbagi pengalaman yang lucu-lucu sebagai pejabat. (Dradjad, 29/03/2024).

Guru Besar Emeritus FEBUI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore.

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya