[OPINI] Supersemar Lima Puluh Tujuh Tahun

Semar merupakan seorang pembantu para ksatria Pandawa Lima

Intinya Sih...

  • Surat Perintah Sebelas Maret atau "Supersemar" menandai pergantian kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto
  • Soeharto memimpin operasi membersihkan tubuh ABRI dan Pemerintahan dari anggota PKI, serta mengatasi tantangan ekonomi nasional
  • Presiden Soeharto mengumpulkan tim penasehat untuk menangani masalah ekonomi, merestrukturisasi pinjaman luar negara, dan berhasil menurunkan laju inflasi yang sangat tinggi

J. Soedradjad Djiwandono

Guru Besar Ekonomi Emeritus, FEBUI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore

 

Beberapa hari lalu, tepat lima puluh tujuh tahun lalu, Indonesia menyaksikan pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno yang memerintah sejak Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, kepada Presiden Soeharto yang baru, setelah menerima surat perintah penggantian yang terkenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret atau "Supersemar". Surat tersebut diambil dari tokoh pewayangan yang bijaksana, Semar, yang merupakan seorang pembantu dan pengasuh para ksatria Pandawa Lima, membimbing mereka hingga dewasa sebagai pemimpin yang berkompeten dan bertanggung jawab.

Sebelumnya, Presiden Soeharto adalah seorang Jenderal Angkatan Bersenjata yang bertanggung jawab atas keamanan dan pertahanan negara. Pada tanggal sebelas Maret 1966, beliau menjadi Presiden RI dan Panglima Tertinggi.

Dengan kepemimpinan tegas dan bertanggung jawab, Presiden Soeharto langsung menginisiasi operasi untuk membersihkan tubuh ABRI dan Pemerintahan dari sisa-sisa anggota Partai Komunis Indonesia. Dalam hal ini Presiden Soeharto sangat mengandalkan Pasukan khusus, RPKAD dengan komandannya yang dekat dengan mahasiswa dan orang muda, Jenderal Sarwo Edhi Wibowo.

Operasi ini efektif dan cepat, meskipun tidak terhindarkan beberapa kejadian yang berlebihan dalam pembunuhan orang-orang PKI, yang dipicu oleh rasa balas dendam dan kebencian atas perilaku mereka sebelumnya. Akibatnya, PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.

Selain itu, Presiden Soeharto memimpin secara sistematis untuk mengatasi tantangan ekonomi nasional yang melanda pada saat itu, termasuk tingginya tingkat inflasi mencapai 635 persen dalam satu tahun. Presiden Soeharto mengumpulkan sejumlah ekonom dan ahli ilmu sosial lain dalam suatu Tim Penasehat Presiden untuk menangani masalah ekonomi, termasuk merestrukturisasi pinjaman luar negara.

Dengan bantuan para ekonom Indonesia, seorang ahli bank Jerman, Dr. Herman Abs, merestrukturisasi pengembalian pinjaman menjadi sangat panjang yang meringankan buat Indonesia.

Para ahli ekonomi dan sosial ini secara agak sinis diceritakan dalam suatu tulisan oleh David Ransom di majalah “Rampart” Oktober 1970, dengan menyebutkan tim ini sebagai “Berkeley Mafia” karena kebanyakan mengenyam Pendidikan dari University of California, Berkeley. Mereka adalah Prof Widjojo Nisisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Mohammad Sadli, Barli Halim, Sumarlin, dll.

Sebenarnya David Ransom agak ceroboh dalam hal ini, karena tidak semua belajar di Berkeley. Dalam kelompok ini, ada mantan guru mereka semua, Profesor Sumitro Djojohadikusumo yang menyelesaikan studi di Universitas Rotterdam, Radius Prawiro dan Frans Seda yang juga dari Negeri Belanda, Mohammad Sadli dari MIT, Selo Soemardjan dari Cornell, Max Makagiansar dan Sarbini Sumawinata dari Harvard University. Memang mayoritas dari AS.

Saya beruntung mengenal mereka semua, sejak bekerja sebagai peneliti di LEKNAS, LIPI dan mereka adalah anggota Dewan Pembina LIPI, kemudian bekerja menjadi anak buat mereka dan juga menjadi kolega waktu saya menjadi anggota Kabinet. Dan kemudian juga sama-sama menjadi Guru Besar FEB UI.

Saya belajar sangat banyak dari senior-senior saya, siasat bagaimana menjadi patriot dan action intellectual yang tidak hanya mahir dalam teori tetapi juga dalam praktek dengan hasil yang cukup mengesankan. Suatu hal yang jelas, bahwa teknokrat Indonesia tidak menganut paham neolib seperti digambarkan sebagian orang. Professor Widjojo mengambil konsentrasi studi kependudukan yang cepat menyadari perlunya program keluarga berencana, transmigrasi, kesehatan dan gizi.

Prof Ali Wardhana mempelajari kasus-kasus inflasi negara-negara Amerika Latin yang penuh ketimpangan, Prof Emil Salim menstudi perencanaan di Mesir, Prof Sumarlin belajar Public Administration di University of Pittsburgh. Saya yakin sekali teknokrat para senior saya tersebut bukan ‘the Chicago Boys’ di Chile.

Sebagian dari mereka juga masuk dalam Kabinet menduduki portfolio ekonomi seperti Departemen Perindustrian, Keuangan, Perdagangan, BKPM, dsb. Ok, lupakan saja masalah detail yang kurang bener dari penulis tersebut, tetapi Team Penasehat Presiden dan para Menteri dalam Kabinet Presiden Soeharto bekerja keras dan cukup cepat membuahkan hasil. Laju inflasi yang di tahun 1966 adalah 635 persen, di tahun berikutnya telah menjadi 65 persen, dan setahun setelah itu menjadi satu digit. Suatu hasil yang sangat gemilang.

As for myself, yes I studied Monetary Economics and read almost all the academic works of Professor Milton Friedman, the doyen of the neolib, but as someone who gre up in a typical extended family since my father passed when I was only ten years, I learned early that we cannot live on our own, we must work together and we must do our utmost to help others whenever we could, since all are our own brothers and sisters, we should live for the good of others “Bonum Comune”

(Meskipun saya telah mempelajari ekonomi monetaris dan membaca hampir semua karya akademis Profesor Milton Friedman, tetua paham neo liberal, saya tetap memegang nilai-nilai solidaritas dan gotong royong yang ditanamkan oleh keluarga saya sejak kecil. Kita harus saling bekerja sama dan membantu sesama, karena semua adalah saudara kita dan kita harus hidup untuk kebaikan bersama)

(Dradjad, 14/03/2024)

Baca Juga: Sejarah Hari Surat Perintah 11 Maret Atau Supersemar

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya