[OPINI] Kosmetik dan Representasi Nilai Sosial di Masyarakat

Dalam kajian budaya material, objek tidak hanya dipandang sebagai benda mati, tetapi juga sebagai entitas yang sarat makna sosial dan kultural. Teori tentang objek menempatkan benda—things, artefacts, goods, commodities, hingga actants—sebagai bagian integral dari bagaimana manusia membentuk dan dipengaruhi oleh dunia di sekitarnya. Kosmetik, dalam hal ini, bukan sekadar alat untuk mempercantik diri, melainkan sebuah medium yang kompleks: ia adalah komoditas yang diperjualbelikan, artefak budaya yang mencerminkan nilai-nilai estetika dan gender, serta actant yang memiliki peran dalam membentuk identitas dan relasi sosial.
Pada dasarnya, objek material merupakan sesuatu yang ada secara fisik, dapat dipindahkan, dan dapat divisualisasikan (Woodward, 2007). Objek material dan manusia dapat saling terhubung untuk membentuk makna budaya. Hubungan keduanya saling mempengaruhi, yakni manusia dapat melakukan sesuatu terhadap objek, dan objek melakukan sesuatu untuk kebutuhan manusia. Objek dan manusia melakukan pekerjaan bersama untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh sebab itu, objek memiliki kemampuan untuk memberikan makna sosial kepada manusia.
Salah satu bentuk budaya material untuk mengekspresikan nilai sosial adalah penggunaan kosmetik atau make up. Untuk merias satu wajah, dibutuhkan beragam produk kosmetik dari beragam merek, mulai dari produk berharga puluhan ribu hingga jutaan. Contoh saja dalam tren pemakaian lipstik. Jenis, bentuk, dan warna lipstik terus berkembang pesat.
Produk lipstik pun dapat dikategorikan berdasarkan nilai jualnya, yakni produk lipstik drugstore, high end, dan luxury. Produk lipstik drugstore merupakan produk massa yang mudah dijumpai di beragam supermarket, apotek, dan department store. Terkadang kita menemui bahwa sebuah produk lipstik drugstore merupakan dupes atau tiruan dari produk lipstik high end. Adapun produk lipstik high end dan luxury hanya dapat dijumpai di tempat-tempat ekslusif dengan harga berkali-kali lipat lebih mahal.
Produk-produk lipstik dengan perbedaan nilai tersebut kemudian berpengaruh terhadap cerminan sikap dan perilaku masyarakat khususnya bagi penggunanya. Sebelum tren produk lipstik berkembang pesat, penggunaan produk didasarkan pada selera dan kegunaan, yakni lipstik untuk merias bibir. Namun, dengan munculnya beragam jenis komoditas dan kemampuan konsumsi.
Tujuan penggunaan produk lipstik khususnya high end dan luxury ini bergeser untuk memuaskan individu dalam hal penampilan, kepercayaan diri, dan menumbuhkan rasa bahagia melalui kegiatan konsumsi. Bahkan, produk lipstik mewah dari merek tertentu dengan kemasan yang unik bukan lagi digunakan untuk merias bibir, melainkan untuk koleksi dan pajangan semata.
Berdasarkan studi kasus di India (Ajitha & Sivakumar, 2017), masyarakat yang sadar akan status akan menghabiskan banyak uang hanya untuk merek kosmetik mewah. Sebab, kosmetik tersebut menjadi simbol status sosial mereka. Melalui penggunaan kosmetik mewah, mereka mencoba untuk tampil lebih menarik demi mendapatkan status sosial yang lebih tinggi. Dalam hal ini, kosmetik dapat menjadi representasi sosial atau simbol dari kelompok kelas sosial tertentu. Kosmetik mewah dapat membawa makna penting sebagai dasar tindakan sosial.
Pada akhirnya, sebuah benda bisa memiliki makna sosial tertentu karena benda tersebut telah menjadi simbol. Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya pandangan atau selera yang berkembang di masyarakat. Ketika satu selera menjadi yang paling dominan, selera lain bisa dianggap kurang penting, karena kelompok yang berkuasa memiliki wewenang untuk menentukan apa yang dianggap bernilai secara sosial. Nilai-nilai ini kemudian memengaruhi cara orang diposisikan dalam sebuah struktur sosial.
Pemaknaan terhadap benda seperti kosmetik tidak hanya terbentuk dari fungsi praktisnya, tetapi juga dari bagaimana ia membentuk dan memperkuat identitas sosial, menjadikan tubuh dan penampilan sebagai panggung tempat status dan citra diri seseorang dipertontonkan.