Makin Dekat dengan COVID-19: Dari Tidak Kenal hingga Tak Ingin 

#SatuTahunPandemik COVID-19

Pandemik masuk usia setahun, awal kedatangannya ke Indonesia jarak Tangerang Selatan–Ancol mulai sering kulalui. Kala itu Maret 2020, informasi tentang COVID-19 semakin semarak, sebagai jurnalis, mata dan jari ini juga diarahkan ke sana. RSPI Sulianti Saroso jadi sasaran setelah dua warga negara Indonesia pertama kali dinyatakan positif COVID-19 karena berita tertular lewat kronologi dansa yang viral di media massa. Di sanalah peliputan COVID-19 mulai kujalani.

Setelahnya, momen mencari, membagikan, menelan informasi tentang COVID-19 dimulai dengan perlahan. Pelan-pelan kerja kaki ini di rumahkan, aturan pemerintah membuat diri ini semakin akrab dengan istilah Work From Home (WHF) yang muncul setelah pandemik datang.

Pekerjaan sebagai jurnalis jadi mudah tak mudah, mata kadang dirayu untuk sayu, mendekatkan diri dengan tidur siang, karena meja kerja dan tempat tidur jaraknya hanya 30 sentimeter. Namun, terkadang aku jadi lupa rasanya “gegolekan” karena banyak hal yang perlu diinformasikan.

Kesehatan mental jadi masalah yang hampir setara dengan kesehatan fisik. Di tengah momen bekerja dari rumah saat pandemik, kerisauan kanan kiri mulai menghampiri, dari urusan sosialisasi, keuangan hingga komunikasi, baik dengan keluarga satu atap, atau keluarga satu layar gawai. Pandemik memutuskan ku dengan dunia luar, walau tak jarang sesekali bercengkrama dengan kawan sembari pergi ke swalayan membeli kebutuhan ibu bapak.

Setelah berjalan hampir setahun, hati ini mulai merasa bahwa tiap orang pasti bakal kena virus corona, karena pelan-pelan kerabat mulai berbagi pesan WhatsApp bahwa mereka terkonfirmasi COVID-19. Akhirnya di awal 2021, virus itu mendekat ke keluarga inti, bapak u jadi penyumbang angka baru kasus COVID-19 yang ditampilkan di layar TV nasional.

Lima rumah sakit kulalui, namun bapak ditolak karena ruangan ICU penuh. Rumah sakit memang mau menampung, namun hanya menunggu di IGD tanpa kepastian kapan bisa menggunakan alat bantu oksigen dan hanya dirawat seadanya.

Pengalaman ini tak membuat enak, pekerjaan jadi kutinggalkan, aku meminta ibu berdiam di rumah karena rentan tertular. Seluruh urusan rumah sakit kulakukan walau tak paham seluk-beluknya, hingga bapak akhirnya bisa dapat satu tempat di ICU, napasku baru lega.

Tiga minggu perawatan bapak bukan tanpa masalah, berkali-kali telepon berdering jelang tengah malam saat dia mulai meracau seperti orang mau pergi dari dunia, atau bahkan sekadar memberi informasi bahwa dadanya sesak dan lapar. Perpindahan bapak dari IGD ke ICU jadi momen terakhir aku melihatnya secara langsung, sebelum diisolasi sebagai pasien COVID-19 dan tak bisa bertatap muka.

Tiga minggu perawataan bapak membuat psikisku terguncang, tidur tidak tenang karena takut kabar duka menghampiri. Dering telepon yang biasa hanya mode getar, kini diatur hingga volume maksimal. Makan enak pun jadi pantas tak pantas karena aku memikirkan bapak yang makannya dibatasi di sana dan tak bisa lihat wajahnya apalagi mengurusnya secara langsung.

Pemulihannya lama, badannya banyak mengeluarkan reaksi, mulai dari sesak, trombosit turun, dan gula darah yang tiap pagi naik. Aku dan ibu hanya bisa pasrah, tangan dokter dan perawat kala itu kami percayakan jadi perantara Tuhan. Obat apapun untuk bapak, bagiku pasti diarahkan demi kebaikannya. Bapakku masuk kategori lansia, perawatannya lebih lama dan rumit, apalagi dia mengidap diabetes melitus, apapun yang dimakannya akan dipertimbangkan dan punya konsekuensi.

Setelah 19 hari dirawat, bapak bisa pulang, badannya menjadi gemuk dan kulitnya lebih putih, namun beberapa bagian tubuhnya membengkak. Kepulangannya tak jadi akhir bahwa COVID-19 di keluarga kami sudah hilang, badannya masih lemas, jalan pun sempoyongan. Aku dan ibu harus berbagi tenaga dan pikiran mengurusnya karena ini kali pertama bapak di rawat di rumah sakit selama hidupnya.

Pandemik ternyata jadi sejarah buat keluarga kecil kami, karena bapak jadi penyintas. Kisah ini akan kuceritakan pada cucu-cucunya nanti. Tahun-tahun pandemik jadi waktu yang paling kubenci, karena banyak memakan hati, mulai dari hilangnya waktu bersosialisasi, menyulitkan pekerjaan, timbulkan kekhawatiran, dan lainnya.

Namun banyak hal juga yang kusyukuri, karena tangan dan kaki ini masih berdiri, menyaksikan proses semesta alam dan isinya bercengkrama, hingga entah bagaimana jadinya nanti.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya