Cerita Ramadan: Menanti Buka Puasa Sama Anak Punk yang Belajar Hijrah

#CeritaRamadan, pernah dengar Tasawuf Underground?

Jakarta, IDN Times - Kalau ditanya kapan Ramadan paling berkesan buat saya, rasanya 2019 menjadi jawabannya. Lahir dan besar sebagai pemeluk agama Kristen, tidak salah kan punya kesan Ramadan sendiri?

Kenangan yang saya punya bukan soal serunya berburu takjil bersama menemani teman-teman muslim berbuka puasa. Tapi soal hangatnya berbuka di bawah kolong jembatan fly over depan stasiun Tebet, Jakarta Selatan.

Pada 2019 lalu, saya berkesempatan untuk berkenalan dengan mereka. Komunitas yang disebut dengan Tasawuf Underground.

Jelas dalam ingatan langit cerah Jakarta kala itu. Setibanya saya di lokasi, tak sulit mencari komunitas ini. Jelang waktu berbuka, sayup-sayup terdengar suara sekelompok orang yang sedang salawatan di sana.

Komunitas ini meninggalkan kenangan manis untuk saya. Kenapa? Karena yang menjadi jemaahnya bukan umat muslim biasa. Mereka adalah anak punk yang dengan caranya sendiri mendekatkan diri untuk lebih mengenal Tuhan dan agama.

Biasanya, anak punk stigmanya cenderung negatif kan? Ya, setidaknya begitu yang biasa saya dengar hingga 2019 lalu. Tapi di sini berbeda.

Mereka tetap tampak seperti anak punk biasa. Pakaian, gaya bicara, hingga aksesorinya, semua seperti bagaimana anak punk biasa digambarkan. Tapi semua citra negatif yang melekat pada diri mereka sirna di mata saya ketika saya melihat bagaimana mereka bersikap di depan ustaz mereka dan berbagi di bulan yang fitri.

Waktu itu, saat saya datang kebetulan mereka sedang membuat acara untuk memberi santunan dan buka puasa bersama anak yatim. Tato di tubuh mereka, anting di telinga dan anggota tubuh mereka lainnya, dan manisnya sikap mereka kala itu menjadi hal kontras yang menarik untuk saya.

Sepengetahuan saya, waktu itu mereka mengumpulkan uang dari tiap anggota anak punk yang ada disana. Ditabung dan dikumpulkan untuk diberikan ke anak yatim.

Seperti tradisi di bulan Ramadan pada umumnya, mereka juga menggelar buka bersama. Saya yang saat itu hanya melihat-lihat sembari menunggu untuk bisa wawancara, dihampiri salah seorang anak punk.

Sebuah nasi kotak dan air mineral diberikan kepada saya dengan sapaan ramah dan hangat. Tak berhenti di situ. Di bawah kolong fly over itu, mereka juga salat bersama yang menjadi penutup kegiatan mereka.

Banyak cerita di bulan Ramadan, juga untuk saya yang tidak merayakannya. Tapi, ntah kenapa, pengalaman saat itu jadi salah satu yang paling membekas untuk saya.

Rasanya seperti ditampar di depan mata soal betapa kita memang tidak layak mencap seseorang hanya dari tampilan dan statusnya.

Stigma terhadap anak punk kala itu mungkin negatif. Tapi yang saya tahu, orang-orang baik di Tasawuf Underground yang kala itu saya temui, tidak layak untuk dicap jelek.

Siapa yang menjamin orang yang tidak punk punya usaha yang sama seperti mereka untuk lebih dekat dengan Tuhan-nya, kan?

Toh, pada akhirnya, di hadapan Tuhan semua umat manusia itu sama. Apapun agamanya, apapun rasnya, apapun komunitasnya.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Tarawih di Masjid demi Uji Nyali Main Perosotan Alami

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya