Cerita Ramadan: Jadi Korban Perang Sarung

#CeritaRamadan kala mata lebam jadi korban perang sarung

Once upon a time, Ramadan entah kapan, mungkin tahun 2007 atau 2008, saya masih kuliah semester akhir.

Sebetulnya itu adalah semester kesembilan alias semester ekstra, yang terpaksa harus saya ambil untuk memperbaiki ketertinggalan semester ganjil sebelumnya sekaligus mengerjakan skripsi.

Bayangkan dengan beban kelas dobel, riset, pengerjaan, dan bimbingan skripsi, hampir setiap hari pada semester itu saya full di kampus dari pagi sampai malam.

Suatu Kamis malam, kelas terakhir selesai jam 7 malam. Saya memutuskan untuk pulang karena lelah, revisi skripsi yang harus diselesaikan untuk disetor esok harinya ke dosen pembimbing, dan bangun ekstra pagi untuk sahur.

Untuk bisa pulang dari kampus saya harus naik beberapa kendaraan umum. Pertama naik bus menuju terminal bus Kampung Melayu, setelahnya lanjut naik angkot menuju arah pulang.

Dari kampus sampai rumah, rata-rata saya menghabiskan perjalanan sekitar 1,5 jam, bisa lebih jika pulang saat jam puncak pulang kerja atau kalau ada kejadian tak terduga.

Jam sudah menunjukkan pukul 8.20 malam saat saya duduk manis di dalam angkot. Sekitar 15 menit sampai rumah. Namun, tiba-tiba sopir menghentikan angkotnya, minta maaf kepada penumpang dan meminta penumpang turun karena ia tidak bisa melanjutkan perjalanannya.

Ternyata, sekitar 150 meter di depan ada kerumunan yang memadati satu jalur. Jalur saya pulang. Dengan kesal saya keluar angkot, mulai berjalan mendekati kerumunan, dengan harapan melewatinya dan melanjutkan perjalanan pulang.

Entah kenapa saya yang biasanya terus pakai kacamata (mata saya rabun jauh lumayan, BTW) namun malam itu memutuskan untuk melepasnya dan menaruhnya di tas. Mungkin karena mata lelah mengerjakan tugas dan kuliah seharian.

Terus berjalan, saya tidak sadar sebenarnya kerumunan apa yang saya dekati karena tanpa kacamata penglihatan saya buram, apalagi ada malam hari.

Suara kerumunan makin jelas. Ada suara teriakan, ada suara tertawa. Remaja, pikir saya.

Makin dekat kerumunan, saya mulai melihat jelas remaja-remaja tersebut. Kebanyakan mengenakan sarung, sementara beberapa lainnya memegang sarung di satu tangannya. Melihat jam tangan, saya yakin remaja-remaja tersebut baru pulang tarawih.

Namun, makin saya dekat kerumunan, makin saya sadar beberapa dari mereka sibuk membungkus sesuatu dengan sarungnya. Makin dekat, makin jelas. Yang mereka bungkus adalah batu! Saat saya sadar apa yang sedang terjadi, semuanya sudah terlambat. Ternyata itu adalah "perang sarung".

Sedetik kemudian saya merasakan hentakan di mata kiri dan selanjutnya disertai rasa panas.

"AAAAARRRH! SAKIIIIIIT! TOLOOOOONG," saya berteriak berulang-ulang.

Suara gaduh perlahan memudar dan tak lama langkah seribu. Posisi saya waktu itu jongkok, mencoba melindungi diri sambil menutupi wajah dengan tangan.

Tak lama kemudian ada dua bapak membawa saya menepi. Salah satunya bertanya, "Adik nggak apa-apa? Boleh lihat mukanya?"

Saat itu saya menangis tersedu-sedu karena kesakitan dan syok. Makin syok ketika bapak itu bertanya, "Mau diantar ke rumah sakit?"

Saya ketakutan. Apakah kondisi mata saya parah? Apakah mata saya rusak?? Apakah bola mata saya masih di tempatnya??? Apalagi saya melihat bercak darah di tangan bekas menutup mata tadi.

Entah kenapa yang ada di pikiran saya waktu itu adalah melaporkannya ke polisi, dengan harapan orang yang bertanggung jawab bisa ditangkap. Pertimbangan lainnya adalah kalau ke rumah sakit, mau bayar pakai apa?!

"Boleh antar ke kantor polisi terdekat, Pak?," saya menjawab.

Kebetulan tak jauh, sekitar 300 meter, ada polsubsektor. Dibonceng motor, bapak itu mengantar saya.

Sesampainya di sana, ada dua petugas. Mereka bertanya apa yang terjadi sambil dan saya menceritakannya sambil menangis. Di situ saya diminta untuk duduk dan satu petugas mengeluarkan kotak P3K dan meminta saya memperlihatkan luka di mata kiri yang terkena sarung berisi batu.

Petugas satu lagi memberikan cermin kecil. Melihat ke cermin, tampak area mata kiri saya ada beberapa goresan berdarah, didominasi kemerahan, kemungkinan besar karena benturan. Tidak seburuk yang saya perkirakan. Penglihatan pun sama antara mata kiri dan kanan. Cuma, ya, sakit!

Dari situ petugas bilang kalau tawuran sarung tersebut sudah berkali-kali terjadi. Mereka juga bilang akan mencari tahu pelakunya karena ini bukan kejadian pertama kali. Setelah menandatangani laporan, saya juga menuliskan nomor telepon agar mereka bisa memberi tahu jika ada perkembangan.

Saya mengucapkan terima kasih. Entah laporan saya akan ditindaklanjuti atau tidak, saya tidak banyak berharap. Yang saya mau saat itu cuma pulang dan tidur.

Beberapa hari kemudian, saya menerima telepon dari petugas tersebut, memberi tahu bahwa mereka sudah menangkap pelakunya. Saya juga ditanya apakah mau ke polsubsektor. Tanpa pikir panjang, saya bergegas.

Sesampainya, saya melihat dua remaja laki-laki duduk dengan dua petugas di depannya. Seorang petugas bicara dengan mereka dan menyuruh mereka minta maaf. Saya tidak ingat persis respons saya waktu itu, yang saya ingat cuma makian yang keluar dari mulut. Rasanya lega. Lega karena mereka ditangkap dan karena ternyata polisi benar-benar menindaklanjutinya.

Nilai moralnya, buat yang punya rabun jauh, jangan pernah melepaskan kacamata jika sedang di luar rumah dan jangan pernah mendekati kerumunan tanpa tahu apa yang sedang terjadi.

Baca Juga: Kenangan Indah dalam Tradisi Nyadran Sebelum Ramadan

Topik:

  • Nurulia R F
  • Achmad Fatkhur Rozi

Berita Terkini Lainnya