[OPINI] "Terima Kasih, Pak Ahok..."

Dari seorang Cina Kristen yang awam politik

Pak Ahok, saya tidak pernah tahu saya berdarah Cina sampai usia saya 9 tahun, ketika anak kelas sebelah memberitahu saya kalau saya Cina. Bukan hanya karena saya tidak tampak seperti warga Indonesia keturunan Cina kebanyakan, tapi karena orangtua saya sukses membesarkan saya tanpa memperkenalkan saya pada konsep "orang Indonesia tapi Cina". Saya betul-betul mengira semua teman-teman saya di sekolah sama seperti saya; konsep ras tidak pernah saya pahami.

Saya kira mereka pun menerima angpao setiap Imlek. Saya hanya tahu agama saya Kristen dan yang saya sembah itu Yesus. Teman-teman saya macam-macam lainnya. Sahabat saya dari kelas 2 SD sampai 6 SD? Muslim Sunda, dan kami berbicara tentang apa saja, kecuali fakta bahwa kami berbeda. Temen nge-bolang saya di jalanan? Tiga bersaudara anak Pak RT yang semuanya Muslim tapi membukakan pintu rumahnya untuk saya pinjam komik dan ngobrol soal Backstreet Boys.

Pak Ahok, sampai Mei 1998, saya kira semua serba serupa. Orangtua saya berhasil menunjukkan kalau yang penting itu menghormati dan menghargai semua orang. Sampai keluarga saya nun jauh di Makassar, yang putih kulitnya dan di depan rumahnya ornamen bernuansa Cina masih bergelantungan, telepon untuk menyampaikan kalau rumah mereka dilempari batu dan salah seorang anak tetangga diperkosa lantas hamil anak yang dia tidak tahu hasil sperma pemerkosa yang mana. Hingga kini, rumah di Makassar itu masih dilapisi pintu tebal baja ala brankas, kalau-kalau peristiwa upaya memusnahkan Cina terjadi lagi.

Saya bangga sama Indonesia yang julukannya land of diversity

Pak Ahok, majunya Bapak bersama Pak Jokowi jadi wakil gubernur ibukota bikin saya bangga bahwa seorang Cina beragama Kristen ternyata bisa diterima jadi pemimpin negara mayoritas Muslim. Saya pribadi belum pernah ketemu orang Muslim yang rasis, jadi saya nggak tahu rasanya jadi Pak Ahok. Saya berteman dengan baik tanpa prasangka, dan sahabat saya yang sudah seperti belahan jiwa sendiri adalah seorang Muslim Padang. Saya bangga sama Indonesia yang julukannya land of diversity.

Ketika Pak Jokowi kemudian naik, dan Pak Ahok juga naik, saya optimis negara ini siap jadi lebih baik. Saya selamanya akan mengingat foto Pak Ahok yang menunggui jamaah yang lagi sholat di salah satu masjid di Belitung. Pencitraan? Boleh jadi demikian, tapi warga Belitung tidak berpikir demikian. 

Pak Ahok, kemudian 4 November 2016 terjadi. Saya dan beberapa teman-teman kantor sudah merencanakan liburan keluar kota untuk perpisahan salah satu teman yang mau berangkat ke luar negeri. Tapi, karena isu unjuk rasa merebak ke mana-mana, teman saya yang Cina Katolik batal berangkat. Orangtuanya tidak tenang. Orangtua saya pun was-was. Untunglah, Pak, kota tujuan kami tidak ada apa-apa, aman terkendali. Wajah saya yang suka disalahartikan sebagai orang asli Indonesia juga jadi aset. Sayang rasanya, Pak, karena teman saya yang juga berlatar belakang sama seperti Bapak harus berkorban memori indah bareng-bareng teman terdekat. Apakah Pak Ahok juga harus berkorban karena jadi minoritas? Saya harap tidak.

Kemudian, persidangan absurd tanpa kasus dimulai untuk mengadili Pak Ahok. Media berlomba menayangkan, yang bersirkulasi di media sosial terpecah antara mendukung dan menista. Track record Pak Ahok jadi tidak penting. Kebhinekaan yang diagung-agungkan waktu kampanye Jokowi-Ahok dulu luntur. Media internasional mengopinikan kemunduran Indonesia karena kefanatikan belaka pada agama. Di sini, di luar Jakarta, agama apa saja dan ras apa saja bisa berdiskusi dengan damai, Pak Ahok. Seandainya saja Bapak bukan bagian dari Jakarta, mungkin hidup Bapak sekeluarga lebih tenang, ya, Pak. 

Apalah, Pak, arti ras kalau bukan label semata. Si Cina, si Ambon, si Batak, si Jawa, dengan sadar kita melabeli satu sama lain dan lupa mengakui satu kesamaan yang tidak terbantahkan: sama-sama manusia fana. Saya paham mengapa Pak Ahok mengutip ayat Alkitab "..., mati adalah keuntungan (Filipi1:21)" Semua manusia memang pasti mati, dan itulah yang membuat hal-hal seperti ras dan perbedaan yang hanya sebatas kulit jadi gagal relevan. Ujung-ujungnya juga jadi debu tanah, mbok ya hidup sebaik-baiknya. 

Saya di-bully karena Cina tapi paling hitam sendiri di sekolah SMP saya dulu.

Terang-terangan, Pak, sama mereka yang Cina dan putih-putih. Saya jadi paham kenapa adik saya takut matahari. Daripada hitam dan dikucilkan di komunitas Indonesia keturunan Cina, mungkin. Saya pun berteman dengan sahabat saya yang Batak dan Manado, karena mereka minoritas di sekolah swasta kami dulu. Efeknya, sampai sekarang, nih, Pak, kalau harus ketemu atau ngobrol sama orang yang putih-putih dan kelihatan banget Cina-nya, saya masih minder, Pak, merasa ada di bawah mereka. Saya masih bertanya-tanya, akan diterimakah saya? Padahal, saya Cina. 

Sama halnya ketika saya ada di antara orang-orang non-Cina. Tetap ada rasa kurang pede karena meski di luarnya tampak serupa, saya tetap Cina. Tapi, dari pengalaman saya, ada di lingkungan dengan mayoritas non-Cina di dalamnya terbukti lebih baik dan ramah bagi saya, yang secara fisik tidak masuk kriteria Indonesia keturunan Cina pada umumnya. Bagi seorang Pak Ahok untuk bisa bertahan, berhasil dan berkarya, membuat fisik Bapak tidak lagi relevan karena Bapak lebih mencintai Indonesia ketimbang oknum-oknum yang mencoreng indahnya agama mereka sendiri, selamanya akan jadi inspirasi bagi saya. 

Saya mau belajar mencintai diri saya sebagai seorang Indonesia, bukan Cina yang gak terlihat seperti Cina, tapi karena apa yang saya percayai mengajarkan saya untuk mencintai negeri di mana saya ditempatkan, seperti Pak Ahok.

Pak Ahok, kalaupun di Pilkada putaran berikutnya nanti Pak Ahok dan Pak Djarot --yang senyum dan gerak-gerik kocaknya saat debat menghangatkan hati (salam, ya, Pak!) tapi wawasan politiknya bikin keder lawan yang jauh lebih muda-- tidak terpilih (kans-nya kecil kok, Pak), Pak Ahok sudah jadi pahlawan, terutama bagi ras keturunan dan bagi agama minoritas di Indonesia. Terima kasih, Pak, karena sudah mempraktekkan ajaran agama dengan integritas ksatria, mengesampingkan agenda politik demi kesejahteraan sosial. Saya bukan warga Jakarta, tapi izinkan saya mengucapkan terima kasih, Pak, karena Bapak menunjukkan pentingnya melakukan apa yang sudah Bapak ucapkan. Terima kasih, Pak, karena menunjukkan tindakan kecil seperti mendengarkan dan show up when it's needed or even when it's not, adalah contoh kepemimpinan dengan hati. 

Buat saya, yang seorang minoritas di Indonesia seperti Bapak, menyaksikan gerak-gerik Bapak di panggung politik sudah cukup membuat saya kembali berkaca pada diri saya sendiri. Saya belum mempraktekkan ajaran agama saya yang minoritas itu dengan benar, padahal saya tidak sedang memimpin ibukota dan tidak sedang difitnah sana-sini. Saya belum fasih mengikis prasangka dan label-label, dan belum memberikan 100% yang terbaik dari diri saya dan apa yang saya punyai sebagai seorang minoritas untuk negara saya.

Saya belum mendengarkan, saya belum belajar, saya belum berdoa, saya belum difitnah, saya belum bertahan setulus dan sekuat Pak Ahok. Dan Pak Ahok, itu saja sudah menjadi tanda dampak yang Bapak hasilkan benar nyata, karena satu orang Indonesia saja sudah mau berubah jadi lebih baik karena melihat Bapak. Saya yakin saya tidak sendirian.

Kami terus berdoa, Pak, untuk Bapak, kiranya Bapak dibiarkan menyelesaikan apa yang sudah Pak Ahok mulai di Indonesia.

Prisca Akhaya Tenggono Photo Writer Prisca Akhaya Tenggono

Making Mechanicopy.com happens.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya