'Mens Sana In Corpore Sano' atau 'Corpore Sano In Mens Sana'?

Lets talk about mental health

Akhir-akhir ini, topik kesehatan mental sering dibahas oleh banyak orang, termasuk oleh artis, influencer, komunitas, kampanye, obrolan di media sosial bahkan karya film telah banyak yang mengulas tentang kesehatan mental.

Berbeda dengan dulu, Indonesia masih menutup mata ketika membahas gangguan jiwa karena dianggap hal yang tabu. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental atau mental health ini semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring perubahan pola pikir dan perkembangan zaman.

Sebelum membahas lebih jauh lagi tentang kesehatan mental, alangkah baiknya kita mengenal apa itu kesehatan mental sebelumnya. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Selain itu, berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri, serta 47,7 persen korban bunuh diri adalah pada usia 10--39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.

Beban kesehatan yang dibawa oleh depresi menjadikan depresi isu kesehatan masyarakat yang penting bagi Indonesia sebagai negara berkembang karena dapat menghalangi pertumbuhan negara. Mengetahui prevalensi depresi di Indonesia menjadi penting untuk memahami kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan serta penyusunan kebijakan.

Perlu diketahui kembali, bahwa pada 1 Desember 2021 Indonesia secara resmi menjadi presidensi G20, hingga pada awal November 2022, meneruskan estafet keketuaan dari Italia.

G20 sendiri merupakan forum global yang beranggotakan 19 negara dan satu Uni Eropa. Forum yang terbentuk sejak 1999 ini menyumbang hingga 80 persen Produk Domestik Bruto dan 75 persen ekspor dunia. Indonesia juga akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang akan digelar di Bali pada November mendatang, dengan mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, yang secara harafiah bermakna pulih bersama, pulih lebih kuat.

Memasuki paruh kedua tahun Presidensi G20, Indonesia semakin mendorong kontribusi aktif kaum muda secara fisik maupun virtual seiring dengan semakin beragamnya kegiatan. Pada pre-summit keempat Y20 Indonesia di Manokwari, Staf Khusus untuk Program Prioritas sampaikan pentingnya peran pemuda sebagai katalis untuk langkah yang diambil oleh para pemimpin G20.

Bersama dengan Menparekraf Sandiaga Uno, Founder Wahid Institute Yenny Wahid, dan Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani, menegaskan 'the power of youth' untuk meningkatkan kesadaran, mendorong diskusi, dan menginisiasi kolaborasi.

Mengenai hal tersebut, tentu saja ada kaitannya antara keinginan pemerintah untuk mendorong kontribusi aktif kaum muda Indonesia dengan kemampuan mereka--baik secara fisik maupun mental--dalam menghadapi keberagaman kegiatan yang akan diselenggarakan selama masa Presidensi G20 ini.

Sesuai dengan pesan Presiden Joko "Jokowi" Widodo sebagai Presidensi G20 Indonesia, dikutip dari laman KEMENKO PMK, mengatakan, “kita harus mulai membangun rasa percaya diri, rasa optimisme sebagai bangsa pemimpin. Jangan sampai kita kehilangan orientasi itu dan itulah yang dinamakan gerakan perubahan, gerakan restorasi, ya di situ. Mental inlander, mental terjajah, mental inferior itu jangan sampai enggak hilang-hilang sampai sekarang, jangan juga ada yang memelihara.”

Pada dasarnya, kesehatan mental mencangkup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial. Sebenarnya, seberapa pentingnya kesehatan mental itu bagi diri sendiri dan kehidupan kita sehari-hari? Seseorang dengan kesehatan mental yang baik cenderung mampu dalam mengatasi stress yang mereka alami. Mereka juga dapat dengan baik mengontrol emosi dan tindakan mereka. Kesehatan mental juga membantu meningkatkan kemampuan konsentrasi dan fokus yang baik, serta agar kita dapat lebih produktif.

Meskipun penting, pada praktiknya kebutuhan akan industri kesehatan mental di Indonesia ternyata masih kurang terakomodasi. Ada beberapa hal yang perlu dijadikan PR bagi kita semua untuk memperbaiki sistem industri kesehatan mental di Indonesia agar masyarakat Indonesia bisa mendapatkan pelayanan kesehatan mental yang layak.

PR yang pertama, yaitu mengenai layanan kesehatan mental di Indonesia yang masih sedikit dan penyebarannya tidak merata. Berdasarkan Data Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK) per bulan Juni tahun 2022, jumlah keanggotaan psikolog yang terverifikasi di 34 provinsi di Indonesia yaitu 3.281 psikolog.

Arti dari angka ini adalah jumlah 3.281 psikolog harus menangani 270 juta orang Indonesia, yang di antaranya sekitar 10--15 persen orang mengalami masalah kesehatan mental yang cukup berat. Belum lagi adanya ketimpangan penyebaran tenaga psikolog atau psikiater di Indonesia yang masih belum merata.

Jumlah psikolog yang sedikit ini pun kebanyakan melakukan praktik di Pulau Jawa, sedangkan di wilayah lain persebarannya masih jarang dan sedikit. Bahkan terdapat 8 provinsi Indonesia yang tidak memiliki rumah sakit jiwa. Walaupun telah ada layanan kesehatan mental online, namun adanya ketimpangan pemerataan jaringan komunikasi dan teknologi masih menjadi hambatan.

Mungkin untuk masyarakat yang tinggal di kota-kota besar dengan ekonomi menengah ke atas mampu mengakses layanan online tersebut melalui ponsel pintar mereka. Namun, bagaimana dengan masyarakat kurang mampu dengan ekonomi menengah ke bawah atau yang tinggal di daerah 3T? Di sinilah muncul permasalahannya.

PR kedua, besaran persentase anggaran untuk pelaksanaan upaya kesehatan mental masih belum jelas dan masih belum menjadi pelayanan yang diprioritaskan. Data kesehatan mental masih sangat minim baik data kasus gangguan mental maupun data program nasional untuk penanggulangan kesehatan jiwa.

Hal-hal tersebut terjadi karena pemerintah belum optimal dalam menjadikan pelayanan kesehatan mental sebagai prioritas pembangunan manusia. Padahal, masalah kesehatan mental yang tidak ditangani serius dapat memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia sehingga berpengaruh pula terhadap tingkat produktivitas manusia (Komara, H. (2018).

Walaupun pelayanan kesehatan mental ini telah memiliki undang-undang, namun pemerintah masih harus menetapkan anggaran khusus untuk kesehatan mental, menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan mental, ketersediaan obat, tenaga kesehatan jiwa yang kompeten melalui pendidikan dan pelatihan, dan segera menghidupkan kembali hotline service kesehatan jiwa melalui perbaikan operasional.

PR ketiga, yaitu kurangnya kesadaran masyarakat terhadap industri kesehatan mental. Kebanyakan masyarakat menganggap isu kesehatan mental sebagai hal yang tabu untuk didengungkan dan memilih untuk menutup mata terhadap masalah ini. Padahal gangguan kesehatan mental sama pentingnya dengan penyakit jantung koroner dan kanker sebagai top up penyakit mematikan di dunia.

Gangguan kesehatan mental merupakan silent killer yang mengintai setiap jiwa manusia tanpa mempertimbangkan usia. Mungkin anak muda, masyarakat kota dengan ekonomi menengah ke atas sudah merasa aware dengan pelayanan kesehatan mental karena mereka telah tersentuh oleh kemajuan teknologi terkait dengan pola pikir yang semakin maju dan modern. Namun, bagaimana dengan masyarakat pedalaman yang memiliki ekonomi menengah ke bawah?

PR keempat, yaitu stigma masyarakat terhadap adanya industri kesehatan mental. Dilansir VOA Indonesia (2019), sesungguhnya rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia mengenai kesehatan mental disebabkan oleh stigmatisasi dan miskonsepsi masyarakat mengenai penderita gangguan psikologis.

Masyarakat Indonesia juga masih melabeli penderita gangguan mental sebagai orang berbahaya dan tidak bisa disamaratakan perlakuannya dengan orang-orang biasa. Masih banyak orang dengan gangguan mental dijuluki “orang gila”, diasingkan oleh masyarakat, dipasung di desa-desa, dibawa berobat ke tempat nonmedis yang belum valid penanganannya, berkeluh kesah di media sosial pun dikatai “lebay” oleh netizen, bahkan orang dengan gangguan mental emosional masih sering dihakimi ketika mereka pergi berobat ke psikolog atau psikiater.

Stigma masyarakat terhadap orang-orang yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan mental masih sering dipandang berbeda dan aneh. Padahal stigma negatif pada gangguan mental bisa membuat orang dengan gangguan mental merasa malu, menyalahkan diri sendiri, putus asa, dan enggan mencari serta menerima bantuan.

Terkait dengan hal tersebut, pemerintah berkomitmen akan terus meningkatkan capaian program Gerakan Nasional Re­volusi Mental (GNRM) untuk tahun 2020--2024. Hal itu menyusul hasil evaluasi capaian program GNRM 2015-2019 yang dinilai telah cukup memenuhi target.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy me­ngatakan ada lima indikator program yang dapat menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam mencapai target GNRM 2015-2019. Yaitu, capaian indikator program Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri, dan Ge­­rak­an Indonesia Bersatu.

Generasi 1000 Aspirasi Indonesia Muda berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, menghapuskan stigma, serta meluruskan prasangka terhadap pengidap gangguan kesehatan mental demi untuk menciptakan Indonesia yang inklusif, di mana orang-orang bisa bercerita dan berdiskusi tentang kesehatan mental tanpa takut akan stigma dan diskriminasi.

Selain itu, juga diperlukan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat termasuk keluarga dalam penanganan kesehatan mental untuk menyelesaikan beberapa PR di atas demi menciptakan kesehatan Indonesia yang maju.

Jadi, sebenarnya mana ungkapan yang prioritas? "Mens Sana In Corpore Sano" atau "Corpore Sano In Mens Sana"? Ungkapan Mens Sana In Corpore Sano atau jiwa yang sehat di dalam tubuh yang kuat dengan Corpore Sano In Mens Sana  atau tubuh yang kuat di dalam jiwa yang sehat adalah sama prioritasnya.

Kondisi jiwa yang kuat akan mempengaruhi produktivitas kita sehari-hari, begitupun sebaliknya. Tidak akan ada gunanya jika kita memiliki jiwa dan kesehatan mental yang baik, namun tubuh dan fisik kita sakit yang malah juga akan berujung pada kemunduran produktivitas. Maka dari itu, sudah saatnya kita membangkitkan self awareness terhadap kesehatan fisik dan mental kita sendiri serta orang lain di sekitar kita.

Baca Juga: Pendidikan Era Gen Z: Perlunya Layanan Kesehatan Mental di Kampus

Putu Winda Photo Writer Putu Winda

"Sastra adalah sebuah kemewahan, fiksi adalah sebuah kebutuhan" - Gilbert Keith Chesterton

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ananda Zaura
  • Cynthia Kirana Dewi

Berita Terkini Lainnya