Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pendidikan Era Gen Z: Perlunya Layanan Kesehatan Mental di Kampus

layanan kesehatan mental (unsplash.com/micheile dot com)

Pernah mendengar istilah "bonus demografi"? Istilah itu barangkali sudah tidak asing lagi di telinga kita sebagai masyarakat Indonesia, karena negara kita tengah mengalami periode tersebut.

Masa ketika populasi usia kerja lebih besar dibanding populasi bukan usia kerja. Hal ini mengacu pada diagnosis dan analisis yang dilakukan oleh beberapa kalangan dan berlandaskan Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik.

Hasil sensus penduduk pada tahun 2020 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia berasal dari Gen Z dengan persentase sebanyak 27,94 persen. Gen Z sendiri merupakan generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 sampai dengan tahun 2012.

Pernyataan ini kemudian memunculkan perspektif kita bahwa Gen Z memiliki peran dan pengaruh yang signifikan untuk membawa Indonesia menjadi negara yang semakin progresif.

Program Sarjana Didominasi oleh Gen Z

Jika dilihat dari dunia pendidikan, program sarjana saat ini sebagian besar diikuti oleh Gen Z. Sebagaimana data yang dikemukakan oleh Jaja Suteja (2020) dalam artikelnya yang berjudul Pendidikan Tinggi di Era Generasi Z, bahwa dengan asumsi kuliah di perguruan tinggi selama 4 tahun, bisa dibilang kalau mahasiswa sarjana saat ini didominasi oleh para Generasi Z dengan persentase sebanyak 75 persen.

Kondisi itu turut merepresentasikan bahwa Indonesia punya peluang yang cukup besar untuk berkembang karena banyaknya pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Menarik, bukan?

Namun, kita juga perlu menilik karakter yang melekat pada Gen Z. Salah satu karakter yang melekat pada Gen Z adalah keterbukaan tentang isu kesehatan mental. Hal ini tentu menjadi poin plus karena isu yang dahulu dirasa tidak lazim, kini dapat dinormalisasikan.

Menariknya lagi, di tengah-tengah kepedulian tentang kesehatan mental, generasi ini justru dilabeli memiliki masalah kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya, yaitu generasi millenial. Jadi, dapat dikatakan kalau Gen Z adalah generasi yang paling lemah dan paling tertekan.

Mengapa demikian? Dari berbagai sumber yang penulis baca, kondisi tersebut rasa-rasanya dapat terjadi karena pada dasarnya Gen Z tumbuh bersama kemajuan teknologi, termasuk saat media sosial terus berkembang. Hal itu memungkinkan Gen Z mudah terdistraksi. Di samping desakan hidup dan ekspektasi sosial yang semakin tinggi, faktor lingkungan lain juga berpengaruh memunculkan perasaan cemas dan stres pada Gen Z.

Pentingnya Layanan Kesehatan Mental di Kampus

Kembali pada dunia pendidikan, menjadi mahasiswa memang dirasa penuh tantangan, terlebih mahasiswa di era saat ini, mahasiswa Gen Z. Di tengah-tengah kreativitas yang terus bermunculan, terdapat tuntutan yang juga semakin besar, terdapat arus kehidupan yang juga semakin cepat.

Kondisi tersebut lantas membuat beberapa dari mereka mengalami kecemasan atau bahkan depresi. Badan Pengembangan dan Pengkajian Keilmuan Nasional ILMPI pernah melakukan survei terhadap 4.485 mahasiswa berkaitan dengan permasalahan mental.

Hasil survei periode 2019-2020 tersebut menyatakan bahwa perasaan cemas terus menerus menjadi permasalahan mental yang paling banyak dialami oleh mahasiswa, yakni sebanyak 1470 responden. Sementara permasalahan mental yang lain seperti merasa tertekan, merasa tidak berguna, tidak berminat dalam berkegiatan, ataupun mengalami sedih hingga mengganggu aktivitas sehari-hari.

Beberapa tahun terakhir, kita juga kerap mendengar berita tentang tindakan commit suicide yang dilakukan oleh mahasiswa di perguruan tinggi, terlepas mahasiswa tersebut memiliki rekam jejak akademis yang baik ataupun tidak. Kabar tersebut tentu sangat menyayat hati.

Kasus demikian lantas membuka pandangan kita bahwa peran lingkungan pendidikan sangat penting untuk membantu mahasiswa memiliki mental yang baik dan memahami kondisi dirinya di usia dewasa awal. Sayangnya, layanan kesehatan mental di lembaga pendidikan di Indonesia masih sangat terbatas, termasuk di perguruan tinggi.

Banyak perguruan tinggi yang tidak memiliki layanan kesehatan mental. Dosen wali ataupun dosen pembimbing normatifnya hanya berperan besar dalam membantu mahasiswa mencapai tujuan akademik. Kalaupun mahasiswa memiliki masalah non akademik, dosen wali ataupun dosen pembimbing tidak banyak terlibat secara intens.

Pendidikan kita seakan masih hanya berpusat pada peningkatan prestasi belajar akademik. Pelayanan di bidang akademik gencar diadakan untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Namun, kita melupakan bahwa hakikatnya kewajiban lembaga pendidikan bukan hanya pada peningkatan aspek kognitif, tetapi juga berkewajiban dalam membentuk karakter dan mental pelajar yang baik dan sehat.

Adanya layanan kesehatan mental di perguruan tinggi menjadi upaya preventif dalam mengurangi risiko gangguan mental yang dialami oleh mahasiswa, pun seluruh jajaran civitas academica, terlebih di masa pandemik COVID-19 saat ini.

Mengapa harus perguruan tinggi? Bukankah sudah banyak layanan kesehatan mental berbasis teknologi yang dapat diikuti? Memang. Namun, lembaga pendidikan memiliki peran distingtif untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental bagi pelajar atau bahkan pendidik, terlebih kampus saat ini mencakup lintas generasi, yang tentunya perlu pendekatan tersendiri untuk dapat menciptakan suasana yang nyaman dalam diri setiap civitas academica selama proses pembelajaran terjadi.

Pemuda sejatinya adalah agent of change, mereka memiliki keterlibatan yang besar dalam memajukan bangsa. Keberadaan layanan kesehatan mental di lingkungan kampus menjadi bentuk dukungan tersendiri untuk menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

Kesehatan mental itu penting, layaknya kesehatan fisik. Isu tentang kesehatan bahkan menjadi salah satu isu prioritas dalam Presidensi G20. Sebagaimana yang kita ketahui, KTT G20 memfokuskan tiga isu prioritas yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi digital dan ekonomi, serta transisi ekonomi berkelanjutan. Puncak Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 ini akan diselenggarakan di Bali pada tanggal 15-16 November 2022 mendatang dengan mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”.

Kesempatan Indonesia menjadi tuan rumah memberikan peluang besar bagi negara untuk membentuk generasi muda yang bermutu, termasuk memiliki mentalitas yang baik. Adanya 1000 Aspirasi Indonesia Muda diharapkan dapat memperkuat pondasi negara untuk terus bertumbuh.

Yuk, ciptakan generasi muda yang bernilai, sebagaimana dikatakan bahwa kemajuan suatu bangsa tidak dilihat dari melimpahnya Sumber Daya Manusia, tetapi dilihat dari kualitas Sumber Daya Manusia yang dimilikinya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ananda Zaura
Cynthia Kirana Dewi
Ananda Zaura
EditorAnanda Zaura
Follow Us