Ketika Anak Muda Bicara Soal Khilafah

Apakah ide tentang khilafah relevan?

Khilafah paling mudah diartikan sebagai sebuah negara Islam yang dipimpin seorang tokoh muslim dengan kekuatan mendekati absolut, di mana hukum yang dipakai untuk mengawal kehidupan sehari-hari adalah hukum Islam.

Karena menyinggung soal agama dan ancaman pasal penodaan agama, mayoritas anak muda yang saya temui sangat keberatan untuk mengutarakan pendapatnya tentang khilafah, terutama dalam konteks Indonesia.

Tak sedikit pula yang mengaku tak mengerti soal khilafah — bahkan ketika saya menjabarkannya seperti di atas — sehingga tetap menolak berkomentar. Memang ini adalah topik yang terbilang rumit dan sensitif.

Namun, melihat ribuan mahasiswa berkumpul di Institut Pertanian Bogor pada 2016 berikrar mendukung berdirinya khilafah. Isu ini semestinya juga tak kalah penting bagi anak muda bila dibandingkan dengan, misalnya, pertunangan Raisa atau apakah BTS adalah grup terbaik di industri K-Pop.

Superioritas Islam di atas agama lain.

Ketika Anak Muda Bicara Soal KhilafahPeta Kekhalifahan ISIS

Dalam kelamnya sejarah, perebutan kekuasaan tak pernah lepas dari klaim pihak mana yang paling berhak atas sesuatu, termasuk yang melibatkan agama. Ada kalanya Kristen mengaku sebagai yang berkuasa. Kemudian, Islam juga mengklaim hal yang sama.

Bahkan, sebuah survei yang dilakukan di Myanmar menemukan 85 persen dari 500 responden sangat anti terhadap muslim karena takut mereka akan mengambil alih negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Buddha. Padahal, ini didasarkan pada ketakutan yang tak beralasan.

Ide mengenai khilafah, secara kasat mata, lahir dari keyakinan atas superioritas Islam di atas agama-agama lain. Di era modern, ini seperti American exceptionalism di mana Amerika Serikat mengklaim sebagai negara yang ditakdirkan menjadi yang terkuat dan paling luar biasa di dunia.

Ini bukan hal baru. Nurullah Ardic, dalam bukunya yang berjudul "Islam and the Politics of Secularism: The Caliphate and Middle Eastern Modernization in the Early 20th Century", menyebutkan para pendukung Kekaisaran Ottoman kerap membandingkan institusi Islam dengan Eropa, muslim dengan non-muslim, dan meyakini pihaknya yang paling dominan.

Menurut mereka, orang-orang Eropa (yang secara tak langsung juga merujuk kepada non-muslim) adalah kolonialis yang hanya menyebabkan pertumpahan darah dan kemunduran ekonomi. Sedangkan khilafah Islam, dalam hal ini Ottoman, justru mendukung kesetaraan dan hak asasi manusia.

Pertanyaan tentang asal mandat mendirikan khilafah.

Ketika Anak Muda Bicara Soal KhilafahSultan Abdulhamid II yang merupakan salah satu khalifah Ottoman - W&D Downey/Jebulon via Foreign Affairs

Ada perdebatan mengenai khilafah dalam Islam. Kelompok seperti Hizbut Tahrir mengatakan bahwa khilafah ada dalam ajaran Islam sehingga wajib untuk diwujudkan. Titik. Namun, seorang akademisi Islam dari Al Azhar, Mesir, pada 1925 mempertanyakan asal mandat pendirian khilafah dan individu yang mendapat legitimasi untuk menjadi khalifah, kepala negara dalam sistem khilafah.

Ia adalah Ali Abd al-Raziq. Dalam bukunya, ia menulis:

"Karena muslim menyerahkan semua kekuasaan kepada khalifah, mempercayakan segala otoritas kepadanya, dan ia diangkat ke titik tertinggi, maka mereka wajib menjelaskan kepada kita tentang sumber kekuasaan yang menganugerahkan itu kepadanya, dari mana asalnya dan siapa yang menganugerahkannya."

Menurut al-Raziq, tak ada satu kata pun dalam kitab suci Al Quran dan Hadits Nabi Muhammad yang menyebutkan tentang pendirian khilafah atau negara Islam. Padahal, lagi-lagi menurutnya, Al Quran tak meninggalkan satu jenis persoalan pun di dunia ini. Al-Raziq kemudian berkata para pendukung khilafah justru mencari-cari pembenaran dari sumber lain.

Baca Juga: [EKSKLUSIF] Di Balik Video Reaksi Veteran Melihat Sumpah Khilafah

Perebutan klaim siapa yang paling berhak menjadi khalifah.

Ketika Anak Muda Bicara Soal KhilafahReuters

Setidaknya saat ini ada tiga kelompok yang terlibat dalam pertarungan dalam mengklaim kekhalifahan. Mereka adalah ISIS, Al Qaeda, dan Hizbut Tahrir. Ketiganya bisa dikatakan saling bermusuhan dan memiliki pandangan serta jalan sendiri untuk mewujudkan khilafah.

Misalnya, ISIS adalah yang paling brutal. Kelompok ini seakan membuat Al Qaeda menjadi lebih humanis. Pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, bahkan secara terang-terangan menolak otoritas Al Qaeda, dan secara sepihak mendeklarasikan diri sebagai khalifah yang sesungguhnya.

Artinya, di mata al-Baghdadi, ISIS adalah khilafah yang sah saat ini. Pemimpin Al Qaeda, Ayman al-Zawahiri, merasa terancam dengan bengisnya ISIS dalam meraih tujuannya. Sementara itu, di antara ketiganya, cukup aman dikatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah yang paling terstruktur dan dengan lumayan gamblang menjelaskan khilafah yang diaspirasikan.

Lain dengan ISIS dan Al Qaeda, Hizbut Tahrir tak menggunakan jalan kekerasan, melainkan konferensi dan pamflet, untuk menyebarkan mimpi tentang khilafah. Organisasi ini pun diyakini memiliki jauh lebih banyak kaum intelektual dibandingkan ISIS maupun Al Qaeda.

Namun, seperti Al Qaeda, Hizbut Tahrir juga menganggap al-Baghdadi bukan khalifah yang sah. Pasalnya, organisasi ini mempercayai bahwa seorang khalifah harus dipilih oleh semua muslim secara ikhlas melalui proses bai'at, bukan lewat pemaksaan dan menggunakan kekerasan.

Relevansi khilafah saat ini.

Ketika Anak Muda Bicara Soal KhilafahDarwin Fatir/ANTARA FOTO

Sebagai anak muda, saya sendiri merasa keinginan mewujudkan kekhalifahan justru akan berakhir dengan penjajahan dan diskriminasi. Meyakini bahwa satu agama adalah yang paling benar di atas agama lainnya, di level personal, itu sah-sah saja.

Namun, mengimplementasikannya dalam sebuah sistem bernegara yang mengatur semua perilaku orang-orang di dalamnya tak ubahnya seperti penjajahan itu sendiri. Contohnya, ketika kita sudah mulai berjalan menuju pengakuan terhadap kebebasan berekspresi dan kesetaraan gender, dalam sistem khilafah perempuan justru harus memakai jilbab dan pakaian tertutup. 

Beberapa pendukung khilafah menyebutkan bahwa pemerintahan Islam di Andalusia, Spanyol, pada abad 8 hingga tahun 1031 adalah bukti khilafah yang benar tak mengenal diskriminasi. Faktanya, klaim ini bisa diperdebatkan. Ini sering dijadikan rujukan agar orang-orang tak panik dan takut terhadap ide khilafah.

Realitanya, mereka meyakini hanya pria Muslim yang boleh menjadi khalifah. Saat Indonesia tengah berjuang mewujudkan kesamaan hak sipil dan politik bagi semua ras, gender, agama dan golongan. Ide khilafah itu tentu berlawanan dengan cita-cita tersebut.

Ada yang masih berani buka suara.

Ketika Anak Muda Bicara Soal KhilafahIDN Times

Seperti yang saya sebutkan di awal, banyak anak muda yang saya ajak berbincang menolak untuk berkomentar mengenai ide pendirian khilafah. Setidaknya, tiga anak muda berikut ini mau membagi pendapat mereka terkait isu kekhalifahan yang ingin diwujudkan di Indonesia.

Hanum dan Lely adalah dua orang mahasiswi yang saya jumpai di Masjid Nasional Al-Akbar, Surabaya, pada 28 Juni 2017 lalu. Mereka sama-sama memandang bahwa kekhalifahan bukan solusi untuk persoalan di Indonesia.

"Penduduk Indonesia itu nggak Islam aja. Jadi, kurang tepat kalau diterapkan syariat Islam," ujar Lely. Ia kemudian melanjutkan,"Kalau di Arab mungkin bagus, tapi kalau di sini kan kita hidup dengan beragam agama. Ya kalau sudah Pancasila, ya tetep aja (memakai Pancasila)."

Ketika Anak Muda Bicara Soal KhilafahIDN Times

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Handoko yang saya temui di Masjid Manarul Ilmi di kompleks Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, pada 29 Juni 2017. Alumni ITS asal Denpasar, Bali, ini juga tak setuju dengan ide tentang pendirian khilafah di Indonesia.

"Ingat dasar negara kita itu bukan negara Islam. Dasar negara kita Pancasila. Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, kita harus saling menghormati antar pemeluk agama," tegasnya. "Aku sendiri orang Islam, aku nggak setuju bila ada yang mengatakan Indonesia (adalah) negara Islam."

"Kalau memang dulu kita mau bikin negara Islam, harusnya dulu ketika Sukarno atau waktu kita bentuk Indonesia ini, seharusnya sudah dilandasi dengan basis Indonesia negara Islam," tambahnya.

Saya sendiri meyakini bahwa masih banyak anak muda di luar sana yang berkomitmen terhadap konsep Bhinneka Tunggal Ika dan Indonesia sebagai negara majemuk yang saling menghormati. Kita memang masih jauh dari kata sempurna, tapi setidaknya kita terus mau berusaha.

Baca Juga: [OPINI] Demokrasi Takkan Membiarkan Satu Agama Berkuasa Atas Agama Lain

Topik:

Berita Terkini Lainnya