[OPINI] Demokrasi Takkan Membiarkan Satu Agama Berkuasa Atas Agama Lain

Selamat Hari Hak Asasi Manusia Internasional!

Hari ini, Sabtu (10/12), merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Kita diingatkan untuk melihat kembali sejauh mana perkembangan penegakan HAM di negara kita, terutama dalam hal kehidupan beragama.

Indonesia dibangun dengan ideologi Pancasila.

[OPINI] Demokrasi Takkan Membiarkan Satu Agama Berkuasa Atas Agama LainNyoman Budhiana/ANTARA FOTO

Indonesia dibangun bukan hanya atas dasar semangat ketuhanan yang maha esa. Negara ini juga memiliki fondasi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sayangnya, memasuki usia 71 tahun ini, kita justru sering melupakan hal itu. Indonesia pernah disebut-sebut sebagai contoh bahwa demokrasi dan agama itu bisa hidup berdampingan. Bahkan, negara ini baru saja menggelar Bali Democracy Forum pada tanggal 8 dan 9 Desember lalu yang menggarisbawahi pentingnya toleransi beragama demi kelangsungan demokrasi.

Baca Juga: [OPINI] Seharusnya Indonesia Itu Seperti Ini, Penuh dengan Toleransi

Terjadi peningkatan intoleransi yang semakin meresahkan.

[OPINI] Demokrasi Takkan Membiarkan Satu Agama Berkuasa Atas Agama LainMoch Asim/ANTARA FOTO

Namun, beberapa hari sebelumnya, yaitu pada 6 Desember, kita justru menyuguhkan potret intoleransi dengan membiarkan sejumlah massa dari ormas PAS masuk ke dalam gedung tempat digelarnya acara kebaktian di Sabuga dan memaksa menghentikan kegiatan tersebut. Padahal, kebaktian itu bersifat legal karena dijamin oleh Undang-undang. (Keterangan tertulis dari panitia acara kemudian menyanggah pernyataan Wali Kota Ridwan Kamil bahwa panitia hanya punya izin acara hingga pukul 16.00 WIB)

Kelompok fundamentalis yang menggunakan kebebasan berekspresi di media sosial pun tak mau kalah. Setelah produsen Sari Roti memberi klarifikasi bahwa pihaknya tak terlibat dalam aksi 212, mereka justru dianggap tak memihak Islam dan menyerukan pemboikotan. Ini diikuti dengan menginjak dan membuang roti Sari Roti ke tempat sampah.

Masih banyak lagi kasus-kasus intoleransi yang dengan bangga dipertontonkan oleh sekelompok orang yang anehnya mengaku sebagai umat beragama. Misalnya, tragedi meledaknya bom di depan Gereja Oikumene yang menewaskan seorang balita pada 13 November lalu. Kemudian, aksi perusakkan delapan vihara di Tanjungbalai karena ada satu warga yang protes terhadap suara adzan dari masjid di depan rumahnya.

Demokrasi itu tak membiarkan satu agama berkuasa atas agama lain.

[OPINI] Demokrasi Takkan Membiarkan Satu Agama Berkuasa Atas Agama LainYudhi Mahatma/ANTARA FOTO

Kita sudah memilih demokrasi sebagai sistem yang berlaku di Indonesia. Dalam demokrasi, kita diberi kesempatan untuk bebas mengungkapkan ide dan gagasan -- sesuatu yang dinilai haram oleh sistem lain yang lebih otoriter. Namun, tentu saja kebebasan ini pun ada batasnya karena hak kita dibatasi oleh hak orang lain. Oleh karena itu, tenggangrasa dan komunikasi yang baik adalah jembatannya.

Dalam demokrasi memang suara mayoritas menang, tapi kita wajib bersikap kritis bahwa setiap kasus tak bisa digeneralisir sebab demokrasi juga menjunjung tinggi perlindungan terhadap hak kelompok minoritas. Untuk kasus ini, demokrasi tak bisa membiarkan satu agama mayoritas -- apapun agama itu -- berkuasa atas agama lain.

Asumsi dasarnya adalah bahwa hak beragama itu setara dengan hak-hak lainnya seperti menyatakan pendapat, memperoleh pendidikan, mendapat perlakuan sama di depan hukum, maupun untuk mendapat pekerjaan. Demokrasi juga tak seharusnya mengeliminasi faktor agama secara total. Misalnya, larangan memakai burkini atau hijab di tempat umum itu tak mencerminkan demokrasi sama sekali. Begitu pun dengan memprovokasi masyarakat untuk tak memilih seseorang hanya karena ia beragama lain.

Dalam demokrasi, negara tak boleh memberikan hak istimewa kepada satu kelompok karena mereka memeluk satu agama tertentu. Posisi mereka setara dengan pemeluk agama lain. Bahkan, demokrasi yang memungkinkan kebebasan meyakini suatu agama juga sewajarnya menjamin kebebasan untuk tak meyakini agama apapun. Mengapa kebebasan beragama harus diberikan kepada yang meyakini agama, sementara orang yang dengan damai, tak mencederai siapapun, harus dipenjara hanya karena ia mengaku atheis?

Demokrasi kita memang masih jauh dari kata ideal. Pekerjaan kita masih menumpuk. Hari ini mungkin kita menjadi bagian dari golongan mayoritas dan merasa jumawa karena kita punya banyak massa. Namun, bukankah dulu Manchester United juga jadi anggota kelompok elit bersama Real Madrid dan Barcelona? Lalu, lihat kini apa yang terjadi. Kita bisa menjadi bagian dari "kalangan biasa" kapanpun. Maka, belajarlah untuk tak menjadikan agama sebagai satu-satunya mata uang yang berlaku.

Baca Juga: Keberingasan Oknum Aparat saat Berhadapan dengan Para Petani, Pantaskah?

Topik:

Berita Terkini Lainnya