Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Dokter Maruhum Bonar Hasiholan Marbun, Sp.PD, KGH, Konsultan Ginjal dan Hipertensi, Ketua Indonesian Transplant Society. (Dok. Istimewa)
Dokter Maruhum Bonar Hasiholan Marbun, Sp.PD, KGH, Konsultan Ginjal dan Hipertensi, Ketua Indonesian Transplant Society. (Dok. Istimewa)

Intinya sih...

  • Transplantasi ginjal terbukti paling efektif meningkatkan kualitas hidup dan menekan angka kematian pasien gagal ginjal.

  • Indonesia masih tertinggal dalam jumlah transplantasi karena belum ada regulasi donor jenazah dan sistem registri nasional.

  • Reformasi pembiayaan, perluasan fasilitas, dan edukasi publik menjadi kunci sistem transplantasi yang berpihak pada pasien.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Artikel ini ditulis oleh dr. Maruhum Bonar Hasiholan Marbun, Sp.PD, KGH, Konsultan Ginjal dan Hipertensi, Ketua Indonesian Transplant Society (InaTS)

Penyakit ginjal kronis (PGK) kini menjadi salah satu tantangan kesehatan terbesar di dunia, termasuk di Indonesia.

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2025, lebih dari 674 juta orang di dunia, atau sekitar 9 persen populasi global, hidup dengan PGK, dan jumlah ini diperkirakan akan menjadikannya penyebab kematian terbesar kelima pada tahun 2050.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) pada tahun 2022 mencatat lebih dari 42.000 kematian setiap tahunnya akibat penyakit ginjal, menempatkannya sebagai penyebab kematian ke-10 tertinggi di Tanah Air. Angka ini menegaskan bahwa PGK bukan cuma persoalan individu, tetapi merupakan masalah kesehatan publik yang membutuhkan solusi menyeluruh dan berkelanjutan.

Berdasarkan tingkat keparahannya, ada lima stadium pada PGK. Pada kondisi yang paling berat, yaitu stadium 5, fungsi ginjal sudah sangat menurun. Pada stadium ini, fungsi ginjal diperkirakan sudah mencapai kurang dari 15 persen dan umumnya mulai disertai gejala dan keluhan akibat penumpukan cairan, racun dan zat sisa metabolisme serta komplikasi lain akibat gangguan ginjal. Suatu kondisi yang disebut sebagai gagal ginjal atau penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).

Transplantasi ginjal, pilihan terbaik namun masih terbatas

Bagi pasien gagal ginjal, terdapat tiga terapi pengganti ginjal yang tersedia saat ini, yakni cuci darah (hemodialisis), continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan transplantasi ginjal.

Secara medis, transplantasi ginjal merupakan pilihan terbaik karena mampu memulihkan fungsi ginjal sekaligus meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan. Data internasional memperkuat hal ini, bahwa tingkat mortalitas (kematian) pasien transplantasi ginjal jauh lebih rendah dibanding pasien dialisis.

Berdasarkan European Renal Association Registry tahun 2021, angka kematian per 1.000 patient-years mencapai 161 untuk hemodialisis, 131 untuk CAPD, dan hanya 35 untuk transplantasi ginjal. Bahkan, tingkat ketahanan hidup selama sepuluh tahun pada pasien transplantasi mencapai 80–90 persen, terutama pada penerima donor hidup.

Artinya, transplantasi tidak hanya memperpanjang usia harapan hidup, tetapi juga memberi kesempatan bagi pasien untuk kembali produktif.

Sayangnya, di Indonesia, proporsi pasien yang mendapatkan transplantasi masih sangat kecil.

Berdasarkan data BPJS Kesehatan tahun 2024, sebanyak 134.057 pasien menjalani hemodialisis, 3.085 pasien menjalani CAPD, dan hanya 132 pasien yang menerima transplantasi ginjal dengan jaminan BPJS.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan transplantasi ginjal di Indonesia masih belum berjalan secara optimal, dan ini bukan tanpa sebab.

Tantangan sistem transplantasi ginjal di Indonesia

ilustrasi ginjal (IDN Times/Aditya Pratama)

Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dalam memperluas praktik transplantasi ginjal. Sebagian besar prosedur yang dilakukan hingga kini masih bergantung pada donor hidup dari keluarga dekat. Belum adanya sistem hukum yang mengatur mekanisme donor jenazah (cadaveric donor) menjadi salah satu kendala utama. Padahal, di banyak negara donor jenis ini menjadi pilar penting bagi sistem transplantasi yang berkesinambungan.

Selain itu, ketiadaan sistem registri donor–resipien nasional yang terintegrasi dan real-time membuat proses pencocokan donor berjalan lambat, sehingga banyak pasien kehilangan waktu berharga untuk mendapatkan donor yang sesuai.

Tantangan lainnya ada pada tahap pascatransplantasi. Berdasarkan studi “Long-term Outcomes and Prognostic Factors in Kidney Transplant Recipients in Jakarta, Indonesia: A Cohort Study” tahun 2022, sekitar 17 persen pasien mengalami infeksi setelah transplantasi. Hal ini juga terjadi akibat kurangnya edukasi terkait perawatan pascaoperasi dan kepatuhan terhadap obat.

Di sisi lain, banyak pasien masih kesulitan memperoleh obat imunosupresan yang sesuai kebutuhan, baik karena pasokan terbatas maupun masalah biaya.

Fasilitas pemeriksaan imunologi dan laboratorium khusus yang dibutuhkan untuk memantau pasien pascatransplantasi pun masih terpusat di kota besar, sehingga pasien di daerah sering kali harus menempuh jarak jauh untuk mendapatkan layanan lanjutan.

Faktor lain yang masih menghambat perkembangan transplantasi ginjal adalah masalah pembiayaan. Saat ini proporsi biaya transplantasi ginjal yang harus ditanggung langsung oleh pasien di Indonesia mencapai 47 persen. Akibatnya, banyak pasien lebih memilih terapi dialisis karena dijamin penuh oleh BPJS Kesehatan. Padahal, dalam jangka panjang, transplantasi jauh lebih efisien dan memberikan kualitas hidup yang lebih baik.

Ketimpangan ini memperlihatkan perlunya penyesuaian kebijakan pembiayaan yang lebih berpihak kepada pasien.

Membangun sistem transplantasi ginjal yang inklusif dan berkelanjutan

Agar sistem transplantasi ginjal di Indonesia dapat berkembang secara inklusif dan berkelanjutan, perlu langkah konkret yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ini meliputi:

  • Pemerintah perlu membangun sistem registri donor–resipien nasional yang terintegrasi untuk mempercepat proses pencocokan donor.

  • Edukasi masyarakat harus ditingkatkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa transplantasi ginjal adalah terapi yang aman, efektif, dan memberi harapan baru bagi pasien gagal ginjal.

  • Perluasan fasilitas transplantasi di seluruh Indonesia melalui kerja sama antara Kemenkes dan Komite Transplantasi Nasional menjadi langkah penting untuk memastikan layanan ini tidak hanya tersedia di kota-kota besar.

  • Penyesuaian skema pembiayaan BPJS Kesehatan juga menjadi krusial agar transplantasi tidak lagi dipersepsikan sebagai terapi mahal, melainkan sebagai investasi jangka panjang yang mampu menghemat biaya negara sekaligus meningkatkan produktivitas masyarakat.

  • Dukungan terhadap ketersediaan obat imunosupresan yang sesuai harus dijamin agar pasien pascatransplantasi dapat mempertahankan kualitas hidupnya.

Transplantasi ginjal sejatinya bukan sekadar prosedur medis, melainkan investasi bagi masa depan kesehatan nasional. Indonesia memiliki tenaga medis dan infrastruktur yang memadai, tetapi keberhasilan sistem transplantasi bergantung pada koordinasi lintas sektor yang baik, kebijakan pembiayaan yang berpihak pada pasien, serta peningkatan literasi publik tentang pentingnya donasi organ.

Dengan kolaborasi antara pemerintah, rumah sakit, asosiasi profesional seperti Indonesian Transplant Society, dan masyarakat, Indonesia berpeluang besar untuk memperkuat sistem transplantasi ginjal dan meningkatkan kualitas layanan bagi pasien.

Editorial Team