[OPINI] Terpaksa Menjadi Tulang Punggung Keluarga Itu Berat 

Beratnya beban perempuan tulang punggung keluarga

Rumah tangga yang baik adalah yang dibangun berdasarkan cinta dan tujuan hidup yang sama. Namun untuk mempertahankan rumah tangga, cinta saja tidak cukup. Perlu penghasilan yang dapat memenuhi semua kebutuhan. Suami sebagai kepala keluarga bertanggung jawab untuk mencari nafkah. Sedangkan istri bertugas mengelola penghasilan suami, bersama suami mengasuh dan mendidik anak-anak.

Pada kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak istri yang akhirnya harus berganti peran dari tulang rusuk menjadi tulang punggung. Ada dua kondisi yang menyebabkan hal ini harus dijalani seorang istri. Pertama karena suami tidak lagi bersama, entah meninggal atau perceraian. Yang kedua suami ada tapi tidak  menjalankan kewajibannya.

Jika kondisi pertama yang terjadi, mau tidak mau istri harus mengambil peran tersebut. Karena meninggalnya suami maka otomatis beban untuk memenuhi kebutuhan harus dipikul oleh istri seorang diri. Untuk kasus perceraian sebenarnya suami masih mempunyai tanggung jawab menafkahi anak-anak. Namun belum tentu mantan suami mau terus bertanggung jawab. Meski anak tetap anak. Ada bekas istri, tapi tidak ada bekas anak.

Untuk kasus kondisi kedua, dapat terjadi karena beberapa sebab. Pertama suami kehilangan pekerjaan. Entah karena PHK atau usaha yang menurun dan akhirnya tutup. Kedua, karena penghasilan istri yang lebih dominan sehingga sebagian besar kebutuhan keluarga harus ditutup dari penghasilannya. Ketiga, karena suami tidak bekerja dan menyepelekan kewajibannya untuk menafkahi keluarga. Dalam kondisi seperti ini mau tidak mau, suka tidak suka istri terpaksa harus mengambil alih peran.

Menjadi tulang punggung keluarga bagi seorang perempuan bukan hal yang menyenangkan dan mudah. Menjalankan peran yang bukan kodratnya tentu sangat melelahkan dan menyiksa batin. Akan tetapi anak-anak harus tetap diberi makan, biaya sekolah harus tetap dibayar, token listrik harus tetap diisi. Ini yang membuat istri terpaksa menanggung beban yang sebenarnya bukan kewajibannya.

Bekerja sekaligus mendidik dan mengurus rumah merupakan hal yang berat. Istri harus pandai membagi waktu, pikiran dan tenaga. Meski suami membantu pekerjaan rumah atau mengasuh anak-anak, hal ini bukanlah solusi yang tepat.

Dalam hal mencari pekerjaan saat ini peluang bagi perempuan cukup besar. Banyak perusahaan yang memberi kesempatan berkarya. Bahkan tidak sedikit perusahaan yang memberi kuota bagi perempuan.

Perempuan yang harus berfungsi ganda sebagai ibu sekaligus tulang punggung keluarga, beban yang ditanggung sangat besar. Bukan hanya beban fisik tapi juga psikis. Terlebih lingkungan tidak selalu mendukung. Pertanyaan kenapa mau bekerja, suaminya ke mana, kenapa tetap bertahan dengan suami yang tidak bertanggung jawab? Ini merupakan pertanyaan yang dapat menjadi beban psikologis bagi istri yang menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan bisa membuat tertekan dan akhirnya menjadi insecure.

Tentu seorang istri mempunyai alasan untuk tetap bertahan dalam perkawinannya meski harus berubah kodrat dari tulang rusuk menjadi tulang punggung. Masih sayang pada suami, menjaga nama baik keluarga, atau karena faktor anak-anak.

Alasan yang ketiga ini banyak terjadi. Seorang istri mengorbankan perasaannya demi menjaga  keutuhan keluarga. Ada ayah, ibu dan anak. Agar anak-anak tetap mendapatkan sosok seorang ayah. Pilihan untuk bercerai juga bukan persoalan yang mudah.

Perceraian sering dianggap aib. Dan lagi-lagi perempuan menjadi pihak yang sering dipersalahkan. Seorang istri yang juga menjadi tulang punggung keluarga perlu mendapat support dari lingkungan. Beban pekerjaan dan beban pikiran jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi masalah bagi kesehatan, baik fisik maupun psikis. Seorang istri yang menanggung beban terlalu berat akan lebih mudah emosi, marah dan depresi.

Jika hal ini tidak ditangani dengan baik dapat berdampak pada perilakunya terhadap anak-anak dan lingkungan. Anak-anak bisa menjadi korban ketidakstabilan emosi si ibu. Support berupa kata-kata, “Kamu pasti bisa, kamu kuat, semua akan segera membaik” cukup ampuh untuk menenangkan pikiran dan membuat rileks. Hal ini jauh lebih baik dibanding sekedar “menghakimi” dan menyalahkan si istri karena terus mempertahankan perkawinannya.

Sri Nur Isnaini Photo Writer Sri Nur Isnaini

Ibu dua anak yang gemar menulis dan merajut

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya