Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi trotoar (dok. Pribadi/Januar Wijaya)
ilustrasi trotoar (dok. Pribadi/Januar Wijaya)

Intinya sih...

  • Tata ruang di Indonesia seringkali tidak tuntas karena implementasinya setengah hati dan banyak daerah membuat RTRW hanya karena kewajiban administratif.
  • Revisi RTRW rawan ditunggangi konflik kepentingan, minim transparansi publik, dan masih jadi ladang subur korupsi.
  • Pembangunan infrastruktur seringkali berjalan dengan mengorbankan alam dan komunitas lokal yang paling terdampak, serta kurang memperhatikan kearifan lokal atau daya dukung lingkungan.

Pernah nggak sih kamu lihat peta rencana kota baik pola ruang maupun struktur ruang kita warnanya cakep, polanya rapi, zonasinya lengkap, dan bahkan spesifik banget sampai hal-hal kecil juga ada. Ada kawasan lindung, ada ruang terbuka hijau, ada kawasan industri, sampai istilah-istilah keren kayak “Kawasan Peruntukan Industri” atau “Kawasan Perlindungan Setempat” . Tapi begitu turun ke lapangan….. yang ada cuma kafe, klaster, dan mal baru yang berdiri di tepi sungai. Yaaa, kayaknya kita semua tahu bahwa tata ruang di Indonesia, makin ke sini tuhh rasanya makin nggak tuntas.

Padahal di atas kertas, dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) itu ibarat kitab suci pembangunan. Dokumen tersebut menentukan mana yang boleh dibangun, mana yang harus dijaga, bahkan mana yang mesti disiapkan buat generasi selanjutnya. Tapi seringkali RTRW hanya berfungsi sebagai etalase: ditampilkan, dipuji, tapi dilanggar diam-diam. Kayak skripsi yang dipajang di lemari, tapi nggak pernah dibaca lagi setelah wisuda. Atau mungkin kaya laporan praktikum yang udah dijilid rapih, tapi cuma jadi bahan ganjel meja.

Kamu punya kuasa? Ubah saja petanya

Potret kota Phnom Penh di Kamboja. (unsplash.com/Vanna Phon)

Coba deh perhatikan pola yang muncul bila satu proyek besar masuk, satu kawasan bisa langsung berubah nasib. Kawasan lindung mendadak jadi kawasan bisnis, Sempadan sungai jadi taman privat milik perumahan elit, dan semua itu “resmi” lewat revisi RTRW yang kadang mulus banget jalannya. Kayaknya cuma butuh satu tanda tangan penting dan alasan “investasi strategis nasional” dan boom zonasi berubah. Lalu kita tanya, siapa sebenarnya yang pegang arah pembangunan? Pemerintah daerah? Atau mereka yang pegang modal besar?

Kondisi ini bukan tanpa akar sejarah, coba kita tilik bentar kebelakang. Penataan ruang di Indonesia mulai diformalkan lewat UU No 24 Tahun 1992, lalu diperkuat oleh UU No 26 Tahun 2007. Payung hukumnya jelas, bahkan sudah lengkap secara sistematis. Diperbaharui lagi lewat aturan turunannya yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dengan kewajiban penyusunan berdasar PP No 21 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang. Tapi implementasinya sering…… setengah hati. Kadang kek bodo amat anjirrr…Banyak daerah bikin RTRW bukan karena sadar pentingnya ruang, tapi karena kewajiban administratif belaka. Begitupun dengan RDTR, faktanya tidak semanis laporannya. Dokumen ada, tapi tidak dijalankan. Bahkan antara RTRW dan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) saja sering tidak sinkron, kasusnya memang ga banyak tapi ada gitu. Yang satu bicara tata ruang, yang satu lagi bicara visi politik kepala daerah. 

Kita ambil contoh yang sempat heboh, sempet viral pas masanya yaitu revisi RTRW DKI Jakarta tahun 2014. Kawasan lindung di Teluk Jakarta berubah jadi permukiman mewah. Serupa juga kasus di Kalimantan Timur tahun 2023, RTRW dirombak, kawasan hutan lindung direvisi dan banyak pihak curiga ini jadi pemulus jalan tol bagi masuknya kepentingan korporasi. Dalam banyak kasus, revisi RTRW lebih mirip pintu belakang dari pada proses evaluasi yang objektif.

Hal ini bukan sekadar soal estetika tata kota, tapi sudah mencakup perampasan hak masyarakat. Mencakup soal ruang hidup, bahkan meliputi kewajiban daerah untuk mempertahankan kawasan lindungnya sebagai salah satu unsur penghidupan. Ketika sawah produktif dijadikan kawasan industri dalam hitungan bulan atau sungai dikapling jadi pemandangan privat, kita sedang bicara soal perampasan ruang publik yang dilegalkan. Mungkin hal ini seperti tidak asing, pesisir Tanggerang yang dikapling bahkan tidak cuma daratannya tapi lautannya juga.

ICW pernah menyoroti ini dalam laporan tren korupsi tahun 2023  sektor tata ruang dan perizinan masih jadi ladang subur korupsi. Proses revisi RTRW rawan ditunggangi konflik kepentingan dan sayangnya transparansi publik masih minim. Kalau pun ada pelanggaran? Hukumannya kalah jauh dari untungnya proyek. Ibarat bayar parkir buat gundulin taman kota, cuma enak bagi pejabatnya tapi rakyatnya menderita.

Belajar dari luar, refleksi ke dalam

Kota Shanghai di malam hari (pexels.com/. what)

Kalau mau belajar sesuatu tidak harus ke lokasi, cukup kita lihat dan amati. Bahkan kalau bisa tiru dengan hal-hal yang baik dan sesuai pada penyelesaian masalah.

Kalau mau mencoba ATM (Amati, Tiru, Modifikasi), lihat saja apa yang dilakukan pemerintah Hubei, Tiongkok. Waktu membangun jalan tol sepanjang 126 km, mereka pilih bikin jalan melayang (flyover) agar tanah subur di bawahnya tetap utuh. Mereka nggak utak-atik peta, tapi cari solusi agar pembangunan tetap patuh pada tata ruang. Itu bukan cuma soal teknologi, tapi soal konsistensi dan keberanian memegang prinsip.

Bandingkan dengan proyek Tol Tanggul Laut Semarang–Demak (TTLSD). Di atas kertas, proyek ini terdengar mulia dengan tujuan utama untuk menyelamatkan kawasan pesisir dari ancaman rob yang makin parah setiap tahun. Tapi di balik narasi penyelamatan itu, yang muncul justru ironi. Banyak masyarakat pesisir merasa tidak pernah benar-benar diajak bicara apalagi dilibatkan secara bermakna dalam proses perencanaan. Dialog yang terjadi lebih sering bersifat simbolis, sekadar sosialisasi sepihak setelah semua keputusan final.

Lebih jauh dari sekadar proyek infrastruktur, pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang–Demak meninggalkan dampak ekologis yang signifikan. Kawasan mangrove, yang selama ini berfungsi sebagai pelindung alami dari abrasi dan penyangga ekosistem pesisir harus tergerus oleh ekspansi konstruksi. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, total luas hutan mangrove yang terdampak mencapai 42,6 hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 14,1 hektare mengalami dampak langsung akibat pembangunan, sementara 28,5 hektare lainnya terdampak secara tidak langsung karena terganggunya keseimbangan ekologis di sekitarnya (DKP Jateng, 2023).

Akibatnya, ekosistem pesisir yang sudah rentan kini berada di ambang krisis. Proyek yang awalnya digagas untuk mengatasi banjir rob justru menimbulkan konsekuensi baru: nelayan kehilangan jalur tangkap, masyarakat kehilangan ruang hidup, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah mulai runtuh. Alih-alih menjadi solusi jangka panjang, proyek ini memperkuat anggapan bahwa pembangunan seringkali berjalan dengan mengorbankan alam dan komunitas lokal yang paling terdampak.

Fakta yang lebih menyakitkan, trauma sejarah pun kembali menghantui. Banyak warga mengingat bagaimana Selat Muria   yang dulunya memisahkan Pulau Muria dengan Jawa perlahan menghilang akibat sedimentasi yang tak terkendali, dipicu oleh pembangunan yang abai terhadap lanskap alam. Dulu laut bisa hilang jadi daratan, sekarang daratan bisa hilang jadi jalan tol. Pola yang sama terulang: ruang diubah atas nama kemajuan, tapi meninggalkan jejak kerusakan yang panjang.

Temuan dari kajian Maleh Dadi Segoro (2022) memperkuat kekhawatiran ini. Studi tersebut menyoroti bahwa proyek Tol Tanggul Laut justru berpotensi mempercepat proses genangan di wilayah pesisir Semarang–Demak, terutama karena perubahan drastis pada aliran hidrologi dan hilangnya ruang-ruang tampungan alami. Dalam laporan itu ditegaskan bahwa keberadaan infrastruktur skala besar yang tidak selaras dengan karakteristik kawasan pesisir, hanya akan memperparah ketergantungan masyarakat terhadap sistem buatan yang sangat rentan ketika gagal berfungsi. Alih-alih menyelesaikan masalah rob, proyek ini bisa menciptakan ketidakpastian baru dalam jangka panjang, baik secara ekologis maupun sosial.

Masalahnya bukan semata pada proyeknya, tapi pada cara kita membangun. Sifat terburu-buru, tertutup, dan sering kali tak berpijak pada kearifan lokal atau daya dukung lingkungan. Seolah-olah air rob adalah musuh, bukan gejala dari kerusakan yang lebih dalam. Padahal, kalau saja kita mau belajar dari komunitas pesisir yang selama ini hidup berdampingan dengan laut, mungkin pendekatannya akan berbeda. Lebih bijak, lebih lestari, dan tentu saja, lebih adil.

Lalu, kita harus bagaimana?

Ilustrasi sampah (IDN Times/Wira Sanjiwani)

Tentu kita nggak bisa hanya mengeluh dari pinggir lapangan. Ada banyak hal yang bisa dan seharusnya kita dorong agar tata ruang benar-benar berpihak pada masyarakat, bukan cuma pada investor. 

Kalau Kata Kak Gem, singkat saja!!

Pertama, transparansi dan partisipasi publik itu harga mati. Dokumen RTRW dan revisinya harus mudah diakses, dibuka untuk kritik, dan tidak disahkan diam-diam. Undangan diskusi bukan cuma seremoni formalitas.

Kedua, penegakan hukum tata ruang harus nyata. Harus ada jalur pengaduan masyarakat yang aman dan serius, bukan sekadar papan larangan yang jadi hiasan. Karena ini bukan cuma soal melanggar aturanini soal nyawa dan keberlanjutan hidup.

Ketiga, RPJMD dan RTRW harus nyambung. Kalau RPJMD adalah kendaraannya, RTRW adalah petanya. Tapi di banyak daerah, kepala daerah bikin rute sendiri tanpa lihat peta, lalu marah kalau jalannya buntu atau longsor.

Dan terakhir yang paling penting, literasi spasial harus naik kelas. Kita harus mulai paham bahwa ruang bukan cuma tempat tinggal, tapi juga bentuk kekuasaan. Ketika kampung tergusur demi klaster, atau rawa jadi pelabuhan industri, itu bukan takdir, itu keputusan politik. Keputusan itu bisa dilawan, asal sesuai prosedur.

Selama ruang diperlakukan sebagai komoditas, bukan sebagai hak, maka yang akan menikmati ruang hanyalah mereka yang punya kuasa. Sementara masyarakat hanya diberi peta yang indah di atas kertas, tapi dijauhkan dari kenyataan. Maka dari itu, menyelesaikan urusan tata ruang bukan hanya soal membuat dokumen yang lengkap atau peta yang presisi, tapi tentang memperjelas kembali. 

Siapa yang punya suara, dan siapa yang punya kuasa dalam pembangunan?

Karena kota dan ruang hidup bukan etalase investasi. Dari dalamnya harus jadi tempat semua orang bisa hidup layak, bukan hanya mereka yang punya akses ke ruang rapat dan meja kekuasaan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team