Kota Shanghai di malam hari (pexels.com/. what)
Kalau mau belajar sesuatu tidak harus ke lokasi, cukup kita lihat dan amati. Bahkan kalau bisa tiru dengan hal-hal yang baik dan sesuai pada penyelesaian masalah.
Kalau mau mencoba ATM (Amati, Tiru, Modifikasi), lihat saja apa yang dilakukan pemerintah Hubei, Tiongkok. Waktu membangun jalan tol sepanjang 126 km, mereka pilih bikin jalan melayang (flyover) agar tanah subur di bawahnya tetap utuh. Mereka nggak utak-atik peta, tapi cari solusi agar pembangunan tetap patuh pada tata ruang. Itu bukan cuma soal teknologi, tapi soal konsistensi dan keberanian memegang prinsip.
Bandingkan dengan proyek Tol Tanggul Laut Semarang–Demak (TTLSD). Di atas kertas, proyek ini terdengar mulia dengan tujuan utama untuk menyelamatkan kawasan pesisir dari ancaman rob yang makin parah setiap tahun. Tapi di balik narasi penyelamatan itu, yang muncul justru ironi. Banyak masyarakat pesisir merasa tidak pernah benar-benar diajak bicara apalagi dilibatkan secara bermakna dalam proses perencanaan. Dialog yang terjadi lebih sering bersifat simbolis, sekadar sosialisasi sepihak setelah semua keputusan final.
Lebih jauh dari sekadar proyek infrastruktur, pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang–Demak meninggalkan dampak ekologis yang signifikan. Kawasan mangrove, yang selama ini berfungsi sebagai pelindung alami dari abrasi dan penyangga ekosistem pesisir harus tergerus oleh ekspansi konstruksi. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, total luas hutan mangrove yang terdampak mencapai 42,6 hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 14,1 hektare mengalami dampak langsung akibat pembangunan, sementara 28,5 hektare lainnya terdampak secara tidak langsung karena terganggunya keseimbangan ekologis di sekitarnya (DKP Jateng, 2023).
Akibatnya, ekosistem pesisir yang sudah rentan kini berada di ambang krisis. Proyek yang awalnya digagas untuk mengatasi banjir rob justru menimbulkan konsekuensi baru: nelayan kehilangan jalur tangkap, masyarakat kehilangan ruang hidup, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah mulai runtuh. Alih-alih menjadi solusi jangka panjang, proyek ini memperkuat anggapan bahwa pembangunan seringkali berjalan dengan mengorbankan alam dan komunitas lokal yang paling terdampak.
Fakta yang lebih menyakitkan, trauma sejarah pun kembali menghantui. Banyak warga mengingat bagaimana Selat Muria yang dulunya memisahkan Pulau Muria dengan Jawa perlahan menghilang akibat sedimentasi yang tak terkendali, dipicu oleh pembangunan yang abai terhadap lanskap alam. Dulu laut bisa hilang jadi daratan, sekarang daratan bisa hilang jadi jalan tol. Pola yang sama terulang: ruang diubah atas nama kemajuan, tapi meninggalkan jejak kerusakan yang panjang.
Temuan dari kajian Maleh Dadi Segoro (2022) memperkuat kekhawatiran ini. Studi tersebut menyoroti bahwa proyek Tol Tanggul Laut justru berpotensi mempercepat proses genangan di wilayah pesisir Semarang–Demak, terutama karena perubahan drastis pada aliran hidrologi dan hilangnya ruang-ruang tampungan alami. Dalam laporan itu ditegaskan bahwa keberadaan infrastruktur skala besar yang tidak selaras dengan karakteristik kawasan pesisir, hanya akan memperparah ketergantungan masyarakat terhadap sistem buatan yang sangat rentan ketika gagal berfungsi. Alih-alih menyelesaikan masalah rob, proyek ini bisa menciptakan ketidakpastian baru dalam jangka panjang, baik secara ekologis maupun sosial.
Masalahnya bukan semata pada proyeknya, tapi pada cara kita membangun. Sifat terburu-buru, tertutup, dan sering kali tak berpijak pada kearifan lokal atau daya dukung lingkungan. Seolah-olah air rob adalah musuh, bukan gejala dari kerusakan yang lebih dalam. Padahal, kalau saja kita mau belajar dari komunitas pesisir yang selama ini hidup berdampingan dengan laut, mungkin pendekatannya akan berbeda. Lebih bijak, lebih lestari, dan tentu saja, lebih adil.